Ruteng, Vox NTT- Polemik pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Desa Rego, Kecamatan Macang Pacar, Kabupaten Manggarai Barat masih menjadi diskursus hangat.
Kritik tajam pun menyasar kepada Romo Marsel Hasan, pihak yang disebut-sebut paling bertanggung jawab di balik gagalnya pembangunan PLTMH di desa itu.
Romo Marsel Hasan, imam Keuskupan Ruteng dituduh telah mengibuli warga miskin di Desa Rego.
Tuduhan itu disampaikan Ketua Forum Diskusi Cendekiawan Asal Manggarai-Maumere (FORDICAMM) Pater Alexander Jebadu melalui siaran pers yang diterima VoxNtt.com, Jumat, 8 Januari 2021 lalu.
Tuduhan tersebut berawal dari gagalnya Romo Marsel memenuhi janjinya untuk menghadirkan listrik bagi warga setempat. Sementara warga harus menanggung utang kredit bank demi membayar pembangunan PLTMH yang ditangani Romo Marsel dan Budi, rekannya.
Bahkan Pater Alexander menilai Romo Marsel Hasan tidak jujur dalam pengelolaan keuangan proyek PLTMH di Desa Rego.
Baca Juga: Dituduh Kibuli Warga Karena Gagal Bangun PLTMH, Romo Marsel Hasan Bungkam
Menanggapi polemik tersebut, pihak Keuskupan Ruteng pun angkat bicara. Vikjen Keuskupan Ruteng RD. Alfons Segar membuat surat klarifikasi di balik polemik PLTMH di Desa Rego per tanggal 15 Januari 2021, yang kemudian salinannya diterima VoxNtt.com.
Romo Alfons menjelaskan, proyek PLTMH yang dikembangkan oleh RD. Marsel Hasan bermula dari keprihatinan pastoralnya sebagai pastor paroki Bea Muring tahun 2012.
Pastoral integral dan kontekstual tidak hanya berkaitan dengan hal rohani tetapi juga jasmani, menyangkut kesejahteraan manusia secara keseluruhan.
Keprihatinan krusial yang dialaminya adalah masalah penerangan masyarakat pedesaan.
la terpanggil dan beritikad baik untuk mencari jalan keluar dan tidak hanya melakukan pastoral as usual.
“Dia (Romo Marsel Hasan) mempelajari secara mandiri tentang PLTMH di internet dan berkenalan dengan seorang yang berpengalaman dengan proyek tersebut bernama Bapak Budi Yuwono. Setelah komunikasi yang panjang, tahun 2012 mereka merintis sebagai pilot project PLTMH Wae Rina di Bea Muring,” jelas Romo Alfons.
Ia menambahkan, proyek PLTMH di Bea Muring menjadi tanggung jawab RD. Marsel Hasan selaku Pastor Paroki dan berjalan atas persetujuan pimpinan Keuskupan pada waktu itu, Mgr. Hubertus Leteng.
Baca Juga: Warga Rego Nilai Romo Marsel Hasan Tidak Jujur dalam Pengelolaan Keuangan Proyek PLTMH
Intensi utama dari proyek tersebut adalah untuk melayani kebutuhan penerangan masyarakat di daerah pedesaan yang pada gilirannya menunjang kehidupan ekonomi dan sosial secara keseluruhan.
Proyek PLTMH adalah murni swadaya masyarakat setempat. RD. Marsel bertindak selaku koordinator dan dibantu tenaga teknis Budi Yuwono.
Untuk menopang keberlangsungan proyek telah dibuat kontrak kerja sama antara RD. Marsel Hasan selaku Pastor Paroki dan Budi Yuwono selaku tenaga teknis pada tanggal 15 Maret 2012, yang disaksikan oleh pimpinan Keuskupan Ruteng pada masa itu.
Kemudian pada tahun 2015, lanjut Romo Alfons, proyek yang dikerjakan oleh RD. Marsel Hasan mendapat perhatian dari UNDP, Kementerian Lingkungan Hidup dan Bappeda Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Dengan dukungan dari tiga lembaga tersebut mulai dirintis sebuah program bernama SPARC (Strategic planning and action to strengthen climate resilience of Rural Communities in Nusa Tenggara Timur Province).
Program ini bertujuan untuk memperkuat ketahanan masyarakat terhadap perubahan iklim baik dari segi pangan, air dan mata pencaharian melalui kegiatan adaptasi.
Salah satu kegiatan adaptasi dalam menghadapi perubahan iklim adalah pemanfaatan energi terbarukan seperti PLTMH.
Dengan demikian program PLTMH yang dicanangkan sejak tahun 2012 di Bea Muring menjadi satu kesatuan dengan SPARC.
Romo Alfons mengatakan, untuk mengkoordinasi program tersebut, pimpinan keuskupan Ruteng pada waktu itu menugaskan RD. Marsel Hasan selaku koordinator umum SPARC dan PLTMH, dengan surat tugas no 168/V.1/lV/2016.
Selaku koordinator umum, RD. Marsel Hasan tidak terikat dengan komisi tertentu di Keuskupan Ruteng namun langsung berkonsultasi dan bertanggung jawab kepada uskup.
Selanjutnya, pada tahun 2016 Urbanus Nenga, seorang warga masyarakat dari Rego mendekati RD. Marsel Hasan untuk membuka PLTMH di Wae Leming demi memenuhi kebutuhan penerangan masyarakat di sana yang belum terjangkau oleh PLN.
Untuk merintis PLTMH Wae Leming Rego ada proses survei dan sosıalisasi kepada masyarakat.
Prinsip proyek swadaya adalah tidak ada ganti rugi lahan; masyarakat sendiri membiayai pembelian jaringan, pemasangan instalasi, dan Nolan Lampu.
Masyarakat juga menanggung secara swadaya pengeıjaan bendungan, saluran, jalur pipa dan rumah turbin.
Keıja harian merupakan bagian dari swadaya masyarakat. Sedangkan untuk pengadaan turbin, dinamo, sazis, pipa dan panel control tidak dibebankan kepada masyarakat.
Menurut Romo Alfons, RAB untuk pelaksanaan proyek PLTMH diinformasikan secara terbuka dalam proses sosialisasi, dan secara teknis perhitungannya bisa dipertanggungjawabkan.
Peserta yang sepakat kemudian menandatangani berita acara yang memuat kesepakatan tentang kewajiban dan hak dalam mengikuti proyek PLTMH tersebut, pada tanggal 27 Mei 2017.
Romo Alfons melanjutkan, pelaksanaan proyek PLTMH Wae Leming didukung oleh panitia setempat yang melibatkan pastor paroki, tua gendang, kepala desa, ketua stasi, dan kepala sekolah SDK Rego.
PLTMH Wae Leming berfungsi sejak bulan November 2017, namun beberapa bulan kemudian ada masalah teknis terutama karena kurangnya debit air dan belum dikerjakan saluran yang menghubungkan Wae Leming dan Wae Nara untuk penambahan debit air.
“Juga sekarang ini ada masalah kredit macet pada bank NTT dan permasalahan tata kelola yang perlu diperbaiki. Untuk berbagai persoalan dimaksud RD. Marsel Hasan dengan pendampingan keuskupan sedang mengupayakan proses penyelesaian,” tukas Romo Alfons.
Penulis: Ardy Abba