LEHER INDAHMU
Kau menyingkap rambut,
Yang gemulai kala angin,
Membelai dengan begitu syahdu,
Kau pamerkan leher indahmu,
Tepat di depan mataku yang kaku,
Merongrong nafasku membuas liar,
Mengundang hasrat datang untuk bercumbu,
Menikmati hati yang jatuh di atas pelukan,
Sang perindu.
Jakarta, 2021
LAMPU LALU LINTAS
Lampu lalu lintas bicara;
Merah: berhenti, kuning: hati-hati,
Hijau: silakan jalan.
Di luangnya jalan raya, kuingat,
Kala masih jemari lentik itu, menyentuh bahuku,
Menceritakan kisah-kisah romantik. Aku terlena.
Di sini kulaju bersama hari tak tentu,
Kini cerita itu luntur, dan membentuk kasih yang baru.
Tentang lampu lalu lintas yang meretas semua ingatan haru.
Jakarta, 2020
PUISIMU
Aku adalah puisi yang tercipta,
Kala air matamu berceceran di notula,
Isinya tiada lain adalah amarah yang rekat,
Saat anjing liar menyalak dan menerkam,
Jiwamu yang rapuh.
Emosi terlepas dari raga nan resah,
Pena telah menari di atas kertas lusuh,
Dan ia meronta untuk segera dilukis,
Dengan diksi dan majas penuh estetis,
Sebab aku adalah puisimu,
Yang ingin bangkit dari bayang semu.
Jakarta, 2021
TUKANG TISU
Di perempatan jalan,
Hijau, kuning, dan merah,
Berdiri kukuh memimpin,
Setiap kendara yang lalu lalang,
Dengan mesin selalu siap mendesah.
Di situ pula, Ia menebar harap,
Tisu-tisunya mampu mengusap,
Keringat dan air mata.
Meski ia tahu bahwa peluh ada pada diri,
Bukan pada tubuh orang yang asik.
Menyendiri dalam mobil pribadi,
Ia teguh meski melenguh,
Dengan tisu ia menyeka keluh.
Jakarta, 2021
TENGAH MALAM
Tengah malam mata sulit terpejam,
Pula jantung terus berdebar,
Tanpa peduli bahwa jam dinding,
Tergas melangkah lantam,
Di heningnya malam.
Suara lirih itu kembali datang,
Mengetuk pintu dengan rintih dan tawa,
Remang bulu kuduk, bangkit,
Getarkan rasa dan raga yang sakit,
Jendela terasa gigil begitu jua dada,
Membeku dan bibir lekas membisu,
Ia beranikan kaki membelai lantai sendu,
Dan membuka pintu; berharap sang ibu,
Berhenti ganggu anaknya yang rindu.
Jakarta, 2021
ORANG HILANG
Pada dinding tua secarik kertas,
Merekat erat dengan tubuh nan getas.
Barisan wajah muda senyum menyapa,
Di tiap raga lalu lalang ia sebar tanda tanya,
Dalam kepala yang bergumul sendu dan lara.
Asal muasal raga terhempas,
Tak lebih sebab terlalu binal,
Gejolak kata-kata dari bibir dan akal,
Yang berlumur kritis memenggal,
Penguasa nakal.
Angka di badan kalender meranggas,
Langkah jarum jam gesit dan lekas,
Memagas memori dari waktu ke waktu,
Senyuman itu tegar terpampang dalam kertas tua,
Dalam dinding yang terlumat masa,
Entah kapan kembali bersua.
Jakarta, 2020
KAU BEGITU PUNK ROCK
Lusuh wajah ramai di tepi jalan,
Debu adalah kawan sejati yang menuai,
Api yang membakar saku seorang pencundang.
Lagu-lagu dilangitkan dan nada kritis kian sadis,
Memekis langkah sapatu mahal terlaris.
Celana dan jaketnya telah robek,
Diterkam cadas aspal jalan,
Caci maki kerap terlempar dari mulut,
Para moralis yang menjual etis.
Tiada peduli, kaki tetap menendang,
Sedang jantung berdebar tak gentar,
Untuk melawan penguasa sangar,
Lewat tulisan di tembok kusam,
Lewat irama cepat begitu kelam.
Jakarta, 2020
BIODATA
Ardhi Ridwansyah kelahiran Jakarta, 4 Juli 1998. Tulisan esainya dimuat di islami.co. terminalmojok.co, tatkala.co, nyimpang.com, nusantaranews.co, pucukmera.id, ibtimes.id., dan cerano.id. Puisinya “Memoar dari Takisung” dimuat di buku antologi puisi “Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival 2019”. Puisinya juga dimuat di media seperti kawaca.com, catatanpringadi.com, apajake.id, mbludus.com, kamianakpantai.com, literasikalbar, ruangtelisik, sudutkantin.com, cakradunia.co, marewai, metafor.id, scientia.id, LPM Pendapa, metamorfosa.co, morfobiru.com, Majalah Kuntum, Radar Cirebon, koran Minggu Pagi, Harian Bhirawa, Dinamika News, Harian SIB, dan Harian BMR Fox. Penulis buku antologi puisi tunggal Lelaki yang Bersetubuh dengan Malam. Salah satu penyair terpilih dalam “Sayembara Manuskrip Puisi: Siapakah Jakarta”. E-Mail: ardhir81@gmail.com, Instagram: @ardhigidaw, FB: Ardhi Ridwansyah, WA: 089654580329.