Cerpen
Oleh: Fersi Darson
Andreas, seorang lelaki genap 17 tahun pada Desember lalu. Ia mempunyai seorang adik laki-laki berumur 10 tahun dan sudah sangat mengerti arti kehilangan. Akhir-akhir ini mereka sering menangis. Pagi, siang, dan malam mereka akan menangis dan menyesali kekhilafan ibu mereka. Mereka akan merasa lebih bersedih lagi ketika membayangkan wajah tulus sang ayah yang telah pergi ke pangkuan Bapa.
Dulu ayah mereka hanya seorang pendatang dari bagian Timur Indonesia dan telah lama mencari kemurahan hidup di Jakarta. Bertahun-tahun lamanya menggantungkan hidup di kota itu dan jatuh cinta kepada seorang wanita asli Jawa. Ia berhasil menikahinya. Itu, kurang lebih 18 tahun lalu. Berkat pernikahan itu, Andreas dan Anelis ada di dunia ini.
Ia bekerja sebagai supir di prusahan swasta milik orang luar negeri. Pendapatannya lumayan dan bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Gaya hidupnya yang hemat dan tidak terlalu tertarik dengan dunia hiburan yang menggiurkan di kota itu, membuatnya bisa menyisihkan uang sedikit demi sedikit. Manajemen keuangan yang bagus itu membuatnya bisa membeli tanah dan membangun rumah bergaya minimalis dan tampak lumayan bagus di ibu kota itu.
Ia seorang pekerja keras. Selain itu, ia mempunyai sikap jujur serta tanggung jawab untuk keluarga dan pekerjaannya. Nama baiknya itulah yang membuatnya sangat diperhatikan oleh bosnya. Ia salah satu supir terlama di perusahan itu dan mulai bekerja sejak pertama kali tiba di kota itu. Karena dipercaya, beberapa bulan lalu bosnya tidak sungkan-sungkan memberikan pinjaman uang dengan jumlah besar kepadanya.
Ia juga mengharapkan suatu saat nanti, kedua anaknya menjadi orang besar. Bermimpi kedua anaknya bisa sekolah tinggi dan suatu saat bisa mencari pekerjaan sendiri yang lebih baik dari kesehariannya sebagai supir prusahan.
Mimpi besar itu menjadi penyemangatnya dalam berkeja. Karena itu pula, ia menyekolahkan Andreas di sekolah swasta level Internasional. Biaya sekolahnya tentu sangat mahal. Namun, karena kelihaian memanajemen uang hasil keringatnya, seluruh kebutuhan dan biaya pendidikan anaknya terpenuhi.
***
Beberapa bulan kemudian, mimpi itu terasa percuma, duka terlebih dahulu menimpa keluarga itu. Ajal menjemputnya sebelum sempat mewujudkan mimpi akan masa depan anak-anaknya. Ia meninggal dunia akibat serangan jantung. Kejadian tragis yang merenggut nyawanya itu terjadi tepat di usia 39 tahun.
Kehilangan itu telah membawa serta mimpi besarnya dan segala upaya yang pernah ia lakukan untuk masa depan anak-anaknya. Penghasilan yang menjadi sumber segala-galanya bagi keluarga ikut hilang ditelan bumi. Segala-galanya pun ikut berubah.
Keluarga yang ditingalkan kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Lagi pula, ia pergi sebelum sempat melunasi utang kepada bosnya. Itu menjadi beban bagi anak-anak dan istrinya. Namun, karena ingin membalas hati baiknya, bosnya menghapus begitu saja utang itu.
“Mbak, soal pinjaman itu, tak usah dipikirkan. Itu sebagai sumbangan keluarga saya kepada keluarga Mbak yang berduka.” kata pemilik perusahaan kepada istrinya setelah beberapa minggu dalam suasana duka.
Tak ada kata-kata selain tangisan kesedihan dan terima kasih atas hati baik orang itu.
Andreas tidak melanjutkan pendidikannya. Bagaimanapun cita-cita besarnya, tanpa ada pilihan lain selain putus sekolah dan tidak menamatkan pendidikan jenjang SMA yang baru saja ia mulai.
Ia sadar statusnya sebagai anak yatim. Sebagai kakak dan anak tertua, ia berusaha mencari pekerjaan meskipun usianya masih remaja. Ia berusaha untuk mencari pekerjaan apa saja agar bisa mewakili sang ayah untuk menghidupi keluarganya.
Ia tidak ingin seperti remaja-remaja lain yang suka mengemis dan mengamen di jalanan, di pintu toko, atau di beranda rumah warga yang kadang dianggap pembawa kebisingan dan pengganggu tidur siang. Setiap hari ia berjalan keliling kota, dari toko ke toko, dari restoran ke restoran, dari satu tempat ke tempat lain untuk membawa lamaran pekerjaan.
“Maaf, tidak ada pekerjaan yang cocok untuk Anda. Semua pekerjaan berstandar ijazah SMA.” Jawab seoarang pemilik pekerjaan di sebuah restoran.
Bukan hanya di tempat itu, jawaban semacam itu ia terima setiap kali ia menjual tenaganya di berbagai tempat. Mereka memepersoalkan ijazahnya. Dan, tidak satu pun tempat kerja yang menerimanya dan membuat semangatnya terasa hampa.
Di kota itu, tidak ada pekerjaan yang cocok untuk remaja yang tidak berijazah standar. Remaja-remaja yang tidak sekolah sampai selesai SMA akan selamanya menjadi penganggur dan mengemis di jalanan tak jarang menjadi gelandangan.
Ia baru menyadari bahwa remaja-remaja lain yang setiap hari mengemis dan menjadi gelandangan di jalanan, ternyata bukanlah pilihan semata. Melainkan, keterbatasan pilihan bagi mereka karena tidak mengenyam pendidikan tinggi.
***
Ibunya, hanya seorang janda yang masih kelihatan awet. Ia tidak punya pekerjaan apa pun. Sebagai perempuan yang lahir besar di kota, ia masih terus kelihatan muda meskipun umurnya hampir 40 tahun. Penampilannya tidak kalah dengan gadis-gadis di kota itu. Sebagai orang yang hidup di kota, ia selalu menjaga penampilannya.
Ia bawa kebiasaan saat suaminya masih hidup. Tidak punya jiwa kreatif untuk mencari uang seperti ibu-ibu tetangga yang menjual gorengan di pinggir jalan dan menghasilkan uang lalu bisa menyekolahkan anak-anak mereka. Dari dulu, pekerjaan suami satu-satunya penghasilan mereka.
“Andreas, Anelis, besok pagi kalian jangan mencari ibu, ibu ada keluar.” kata ibunya dengan muka datar.
“Ibu, mau ke mana?” Tanya Andreas.
“Kalian tak perlu tahu. Ini urusan ibu untuk hidup kalian” di wajahnya tergambar beban tentang dosa akan keputusannya.
Begitulah awalnya Ibu Andreas berpesan kepada anak-anaknya sebelum keluar rumah. Andreas tahu ibunya tidak bekerja. Setiap kali ditanya oleh anak-anaknya, jawabannya ketus.
“Kalian tak perlu tahu, ini urusan ibu untuk hidup kalian.”
Jawaban itu yang membuat mereka tidak bertanya lagi di hari-hari berikutnya. Sampai sekarang mereka tetap tidak tahu ke mana ia pergi.
Hari-hari berikutnya sampai sekarang tidak ada lagi pesan sebelum pergi. Ia selonong. Sebelum keluar, yang pasti dandanan menor dan bau parfum tancap melekat pada dirinya.
Di rumah, kadang ia senyum dengan layar HP-nya, kadang bertelepon entah dengan siapa, meskipun malam-malam. Ketika anaknya bertanya siapa yang menelepon, dia tidak pernah memberitahu yang sebenarnya. Anak-anaknya mulai mencurigainya.
Akhir-akhir ini, Ibu Andreas sering keluar malam. Ia dijemput lelaki, kadang pake mobil kadang pake motor. Bunyi motor atau mobil yang menjemputnya selalu membangunkan Andreas yang sudah tidur bersama adiknya.
Awalnya, Andreas tidak gubris dengan ibunya yang sering keluar malam dan bersama siapa. Namun, sebenarnya, ia tetap kepikiran tentang ke mana ia pergi dan dengan siapa. Rasa curiga mengalutkan pikirannya. Sementara adiknya tidak pernah tahu tentang itu karena tidak terganggu oleh bunyi mobil atau motor yang setiap malam datang menjemput ibunya.
Suatu hari, Andreas memutuskan untuk mengintip ibunya lewat jendela. Ketika mobil itu datang, tampak ibunya menyambut seorang lelaki dan mereka bermesraan sebentar lalu pergi meninggalkan rumah. Setiap kali lelaki datang menjemput, Andreas selalu terbangun dan membiarkan adiknya tidur. Ia mengintip ibunya dari balik jendela. Ibunya bersama lelaki itu akan bermesraan dan pergi meninggalkan rumah. Setelah melihat itu ia merasa kecurigaannya benar.
Malam-malam berikutnya, ia selalu terbangun ketika bunyi motor atau mobil di depan rumah. Setiap kali ia melihat, yang datang bukan lelaki yang sama. Setiap malam, yang datang lelaki yang berbeda. Andreas kadang menangis penuh sedih karena menyesali tingkah ibunya. Ia tidak pernah membayangkan ibunya bersikap seperti pelacur yang selalu keluar dan dibawa oleh laki-laki entah ke mana.
Suatu malam, Andreas mendengar bunyi mobil dari kamarnya, ia tahu mobil itu menjemput ibunya entah untuk dibawa ke mana lagi. Sebelum mobil itu datang, Andreas sudah berjaga-jaga. Ia punya rencana untuk mencari tahu yang sebenarnya tentang ibunya.
Mobil itu sudah sampai, ibunya keluar lalu pergi meninggalkan rumah bersama laki-laki itu. Tanpa membangunkan adiknya yang sedang tidur pulas, Andreas keluar dan ingin mengikuti ke mana ibunya pergi.
Motor peninggalan ayahnya masih terparkir dengan baik di depan rumah. Ia akan menggunakan motor itu untuk mengikuti ibunya. Setelah beberapa puluh meter mobil yang ditumpangi ibunya pergi meninggalkan rumah, Andreas menyalakan motor itu dan cepat-cepat pergi mengikuti mobil itu. Situasi kota yang tidak pernah kenal siang dan malam membuat kendaraan berlalu-lalang pada waktu itu. Itu cukup membuat keberadaannya tidak dicurigai. Dengan jarak yang aman ia mebuntuti mobil itu dari belakang, dan terus memfokuskan perhatian agar tidak kehilangan jejak.
Setelah jauh meninggalkan rumah, mobil itu tiba-tiba berbelok di persimpangan jalan dan mengambil jalur pada gang kecil. Untung, Andreas tidak kehilangan jejak. Ratusan meter melewati gang kecil itu, sampailah di sebuah tempat bangunan berlampu kedap kedip. Mobil itu berhenti. Andreas terkejut melihat mobil itu berhenti di sebuah tempat hiburan. Andreas berhenti di tempat yang agak jauh dari perhentian mobil itu. Ia penuh hati-hati agar tetap aman dan tidak diketahui oleh ibunya.
Ibunya turun dari mobil dan masuk ke dalam gedung itu. Andreas tahu itu adalah sebuah tempat hiburan orang-orang berpasangan. Semua orang yang berkunjung ke tempat itu adalah orang-orang yang membutuhkan hiburan dengan pasangannya. Semua orang akan mabuk-mabukan, tanpa kecuali, perempuan dan laki-laki. Setelah bosan menikmati minuman keras, mereka mencari kenikamatan lain dengan pasangannya. Begitulah yang Andreas lihat di tempat itu. Tidak luput ibunya seperti pasangan-pasangan lain. Setelah beberapa jam ia melihatnya dari jarak yang tidak mencurigakan, Andreas pulang dengan hati yang bersedih dan tangisan.
***
Hari berganti hari. Bulan pun begitu. Ibunya mengalami sakit. Seluruh badannya terasa lemah, dan sering keringat dingin. Semakin hari, kondisi tubuhnya semakin menurun dan kurus sekali. Ia pun dibawa ke rumah sakit.
Setelah diperiksa, seorang dokter memberitahu kepada Andreas bahwa ibunya terjangkit HIV/AIDS. Andreas yang sedikit tahu tentang penyakit HIV/AIDS menangis penuh sedih. Adiknya yang sudah mengerti kehilangan pun sangat bersedih dan selalu menangis. Ia membayangkan bahwa tidak lama lagi ibunya akan meninggal dunia seperti ayahnya. Banyangan wajah ayah pun selalu hadir untuk menambah kesedihan mereka.
Penulis adalah mahasiswa UNIKA Ruteng. Ia suka menikmati karya sastra dan suka menulis cerpen di bebagai media lokal.