(Menggugat Rasa Keadilan dalam Kepemimpinan ASET)
Oleh: Paulus Yohanes Yorit Poni
Pembangunan infrastruktur merupakan isu menarik yang menghiasi ruang publik dalam satu dekade terakhir. Terutama ketika presiden Jokowi masif membangun sejumlah infrastruktur di seluruh wilayah Indonesia dengan spirit “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Komitmen Indonesia centrisme presiden Jokowi terpahat jelas melalui realitas pembangunan infrastruktur di Indonesia yang nyaris tanpa diskriminasi.
Seperti gayung bersambut, sejumlah daerah di Indonesia pun ikut gencar membangun infrastruktur, tidak terkecuali di NTT dan Manggarai Timur khususnya. Jokowi efek memang memberi arti dan warna tersendiri bagi trend dan gaya kepemimpinan di Indonesia. Bahkan secara gamblang dapat dikatakan presiden Jokowi mampu menyatukan pemikiran semua pemimpin di Indonesia bahwa tidak ada pilihan lain menggenjot pertumbuhan ekonomi kecuali dengan membangun infrastruktur.
Pembangunan infrastruktur, terutama infrastruktur transportasi dan komunikasi memang menjadi isu sentral dan menjadi program primadona di banyak daerah dewasa ini. Demikian pula Kabupaten Manggarai Timur, saat ini sedang gencarnya mendorong percepatan pembangunan infrastruktur trasnportasi.
Paket ASET, yang populis dengan slogan “Seber”, dalam sesi debat kandidat pada kontestasi pilkada 2018 lalu berkomitmen “akan” Membangun 100 Km lapen yang bersumber dari APBD dan dana Desa serta 50 Km hotmix pertahun ( https://www.nttsatu.com/cara-aset-bangun-infrastruktur-di-manggarai-timur/ ).
Komitmen politik yang patut diapresiasi, walau dalam prakteknya sudah hampir tiga tahun memimpin komitmen tersebut masih jauh panggang dari api.
Good will pemerintah mendorong pembangunan infrastruktur memang patut diapresiasi, apalagi jika berkaca pada data statistik, pada tahun 2017 panjang jalan di kabupaten Manggarai Timur sejumlah 1.543, 45 Km dengan klasifikasi kondisi baik sepanjang 671,06 Km, kondisi sedang 259,01 Km, kondisi rusak 197,3 Km dan kondisi rusak berat sepanjang 416,08 Km (BPS 2020).
Data di atas menunjukan bahwa aksesibilitas antar wilayah di Manggarai Timur masih sangat buruk. Dapat dipastikan lebih dari 50 % jalan memerlukan sentuhan pembangunan pemerintah.
Untuk memastikan terealisasinya komitmen pemerintah daerah tentu banyak strategi yang bisa digunakan, salah satunya melalui skema Pinjaman Daerah. Konon, skema itu yang sedang dipakai pemerintah Kabupaten Manggarai Timur untuk kepentingan belanja pembangunan infrastruktur.
Tulisan ini mencoba memeriksa rasa keadilan kepemimpinan paket ASET dalam realitas kepemimpinannya. Untuk itu, penulis menggunakan kacamata alokasi Dana Pinjaman Darah untuk pembangunan infrastruktur untuk mengukur komitmen keadilan pembangunan dalam politik anggaran pemerintah daerah, sebab hampir semua wilayah kecamatan di Manggarai Timur membutuhkan pembangunan infrastruktur.
Skema Pinjaman Daerah
Awal Januari 2021 kemarin ruang publik Manggarai Timur ramai soal isu Pinjaman Daerah Kabupaten Manggarai Timur ke PT SMI sebagai kreditur yang dipilih pemerintah daerah. Percepatan pembangunan infrastruktur menjadi alasan Pemerintah meminjam 150 Miliar .
Wacana tersebut semakin nyata menyusul pernyataan Wakil Ketua DPRD Manggarai Timur, Damu Damianus di sejumlah media online. Bahkan secara rinci Damu menjelaskan alokasi anggaran yang bersumber dari dana pinjaman daerah itu (https://voxntt.com/2020/12/28/apbd-2021-ini-proyek-sedang-dan-besar-di-manggarai-timur/73737/).
Pernyataan Damu dalam kapasitasnya sebagai Wakil Ketua DPRD tentu memberikan asa bagi masyarakat Manggarai Timur, bahwa tiba saatnya kebutuhan infrastruktur jalan terjawab. Public Manggarai Timur tentu yakin bahwa Pemerintah dan DPRD sudah sepakat meminjam dana untuk keperluan belanja pembangunan infrastruktur. Bahkan pernyataan wakil ketua DPRD sekaligus memastikan bahwa pembahasan bersama DPRD sudah selesai dan Pemerintah daerah telah mengantongi rekomendasi kemendagri sebagai salah satu syarat pengajuan ke pemerintah pusat (cq Kemenkeu) .
Telepas dari diskursus plus minus dana pinjaman daerah. Barangkali pemda Manggarai Timur yakin bahwa skema pinjaman daerah merupakan satu-satunya jurus jitu mengejar target RPJMD di tengah badai Covid seperti sekarang ini. Secara regulasi, terbuka lebar bagi daerah menggunakan skema pinjaman, sepanjang memenuhi syarat.
Peraturan Pemerintah 54 tahun 2005 dan PP 30 tahun 2011 sebagai turunan dari UU 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintahan Daerah memang memberikan ruang bagi daerah untuk itu.
Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan desentalisasi fiskal, alternatif bagi daerah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat, maka daerah melakukan pinjaman.
Berangkat dari pemikiran di atas, pemerintah daerah tentu secara matang telah mempertimbangkan segala konsekuensi pinjaman dimaksud, seperti risiko kesinambungan fiskal, suku bunga pinjaman, risiko pengembalian terhadap target–target pembangunan daerah serta petimbangan-pertimbangan lain. Bahkan sebagian kalangan menilai yang paling penting adalah untuk apa dana itu digunakan.
Menggugat Rasa Keadilan
Potret keadilan pembangunan menjadi diskursus menarik akhir-akhir ini dalam pembangunan. Disparitas antar wilayah terjadi di mana-mana akibat devisit rasa adil pemimpin. Kesenjangan antara timur- barat menjadi pemandangan lazim yang dapat jumpai dalam realitas pembangunan di mana-mana, tidak terkecuali di Manggarai Timur.
Realitas ketidakadilan dimaksud dapat dicermati dalam alokasi dana pinjaman daerah sejumlah 130 miliar untuk pembangunan infrastruktur jalan. Bagaimana tidak, dari total angka tesebut hanya dialokasikan untuk 7 kecamatan. Persis dalam alokasi anggaran tersebut minus Kecamatan Elar dan Elar Selatan.
Mengutip pernyataan Wakil Ketua DPRD dalam wawancara bersama Derana.Id (30/12/2020) soal rincian anggaran pembangunan yang bersumber dari Dana Pinjaman Daerah, totalnya sebesar 130 miliar.
Pembagiannya sebagai berikut: pembangunan Ruas Bentengjawa-Satarteu Kecamatan Lambaleda ( Rp 25 miliar), Dangka Mangkang-Watu Nggong, Pocoranaka Timur (Rp 25 miliar), Kembur-Metuk, Kota Komba (Rp 20 miliar), Sok-Wae Care, Ranamese (Rp 15 miliar), Nanga Baras-Watu Nggong, Sambirampas (Rp 20 miliar) dan Simpang Tangkul-Bentengjawa, Pocoranaka (Rp 25 miliar).
Realitas demikian merupakan potret devisit rasa adil kepemimpinan ASET di Manggarai Timur. Ironis memang, Pemda Manggarai Timur melakukan pinjaman daerah yang dibayar melalui pajak dan retribusi daerah, didalamnya ada pajak dan retribusi daerah dari rakyat Elar dan Elar Selatan, namun tidak dinikmati, dirasakan oleh rakyat di dua kecamatan tersebut.
Bagaimana mungkin, rakyat Elar dan Elar Selatan turut terlibat membayar hutang daerah yang hanya dinikmati oleh 7 kecamatan lain. Sementara di lain sisi, jika dilihat dari tingkat kerusakan dan panjang jalan, kedua kecamatan di atas memiliki tingkat kerusakan jalan yang sangat parah, bahkan melampaui kecamatan Lamba Leda Selatan dan Lamba Leda Timur. Patut diduga, warga dan wilayah Elar dan Elar Selatan pelan-pelan dijual ke kabupaten tetangga?
Untuk memastikan buruknya aksesbilitas di Elar dan Elar selatan, publik yang belum pernah ke Elar dan Elar Selatan tentu tidak harus ke sana, cukup meluangkan waktu sejenak berselancar ke dunia maya Facebook dan membaca sejumlah media massa, publik akan segera tau bahwa Elar dan Elar selatan merupakan kecamatan di Manggarai Timur dengan tingkat aksesbilitas paling parah.
Pada point ini nurani kepemimpinan Aset diuji. Sudah pasti, realitas ini sangat melukai rasa keadilan masyarakat Elar Raya. Sejarah akan mengukir, bahwa Kepemimpinan ASET layak dikenang sebagai pemimpin yang diskriminatif.
Tidak hanya terhadap Bupati dan Wakil bupati gugatan soal keadilan ditujukan, tentu nurani kerakyatan Anggota DPRD yang mewakili masyarakat Elar dan Elar Selatan layak diperiksa. Bagaimana tidak, dalam hal minimnya anggaran infrastruktur yang dialokasikan ke Elar dan Elar Selatan anggota DPRD dari Dapil 4 nyaris tanpa suara, bahkan untuk sekedar memberikan pernyataan pers di media sekalipun.
Padahal skema Pinjaman Daerah mutlak memerlukan persetujuan lembaga DPRD. Bagaimana mungkin Wakil rakyat yang mewakili Kecamatan Elar dan Elar selatan kehilangan ruang untuk bersuara memperjuangkan anggaran tersebut ke wilayah yang diwakilinya.
Secara geografis kecamatan Elar dan Elar Selatan layak mendapatkan porsi anggaran yang lebih besar. Alasannya adalah Elar dan Elar Selatan sebagai pintu gerbang Kabupaten Manggarai Timur karena berada di perbatasan dengan kabupaten tetangga. Pintu gerbang mesti menjadi gambaran tentang Manggarai Timur.
Kecamatan Elar dan Elar Selatan menjadi gambaran Manggarai Timur itu sendiri. Tidak berlebihan bahkan jika mau jujur bahwa Elar dan Elar selatan merupakan ikon ketertinggalan Kabupaten Manggarai Timur. Stigma keterbelakangan, ketertinggalan, keterisolasian sudah menjadi permanen bagi wilayah tersebut. Kapan Elar dan Elar Selatan keluar dari stigma tersebut? Kalau bukan sekarang, kalau bukan dengan dana pinjaman membangun wilayah tersebut.
Bahkan hingga hari ini, jalan kabupaten yang menghubungkan Borong ibukota Kabupaten dan Elar Selatan belum terhubung. Padahal jauh sebelumnya dalam pemerintahan Yoga sudah dirintis jalan Wae Lengga-Sopang-Likan Telu-Lawi.
Alokasi 10 Km per kecamatan per tahun mestinya jika prinsip kesinambungan pembangunan konsisten dijalankan pemerintah daerah, paling tidak lima tahun masa pemerintahan Aset jaringan jalan ini pasti tuntas.
Potret pembangunan demikian merupakan potret inkonsistensi pemerintah daerah dalam perencanaan dan implementasi pembangunan. Setiap periodesasi kepemimpinan, Pemerintah daerah tentu punya sistem perencanaan yang berkesinambungan dan berkelanjutan berdasarkan prinsip proporsional dan berkeadilan antar wilayah, bukan dasar suka dan tidak suka, apalagi balas jasa dan balas dendam. Sehingga tidak ada wilayah yang merasa dianaktirikan dan tidak ada warga yang merasa menjadi warga kelas dua di Manggarai Timur.
Pada akhirnya realitas politik anggaran yang tidak mengedepankan spirit keadilan tentu menjadi catatan hitam rakyat atas pemimpinnya. Pemimpin tentu hadir untuk semua rakyat yang dipimpinnya, ia ada untuk semua, tanpa sekat wilayah apalagi SARA.
*Penulis adalah eks Ketua Hipmmatim-Kupang, sekarang tinggal di Elar.