Oleh: Fendy Jehamat
Kontestasi Pilkada telah usai. Mayoritas suara rakyat telah menentukan kepala daerah yang akan memimpin daerahnya satu tahun ke depan. Pemimpin terpilih menjadi representasi rakyat yang bertugas untuk memimpin, melayani dan memenuhi kebutuhan rakyat. Tugas inilah yang akan diemban dan dipertanggungjawabkan oleh pemimpin terpilih.
Berkaitan dengan hal ini, dalam usaha mewujudkan visi-misi dan program kerja sejatinya kepala daerah membutuhkan birokrasi yang kuat dan bisa bekerja sama.
Pada konteks ini, bukan hal yang baru lagi bahwa setiap pasca pilkada terjadi pembaharuan birokrasi (reformasi birokrasi). Reformasi birokrasi pemerintah daerah tentunya menjadi kewenangan kepala daerah.
Penentuan birokrat yang menduduki struktur birokrasi pun didasarkan pada berbagai pertimbangan.
Sedarmayanti (2009;71) mengemukakan bahwa reformasi birokrasi merupakan upaya pemerintah meningkatkan kinerja melalui berbagai cara dengan tujuan efektifitas, efisiensi, dan akuntabilitas.
Orientasi utama dari reformasi birokrasi tentunya untuk meningkatkan kinerja dan diharapkan mampu mengimplementasikan visi-misi dan program kerja kepala daerah.
Birokrasi diharapkan menjadi sistem yang kuat, bisa menjalankan tugas dan kinerjanya dengan baik.
Menurut Sedarmayanti (2009;74), aspek utama dalam membangun birokrasi adalah: (a) Membangun visi birokrasi, (b) Membangun manusia birokrasi, (c) Membangun sistem birokrasi, yang dibagi menjadi tiga yaitu: (1) Pembenahan struktur, (2) Menerapkan strategi yang tepat dan (3) Pembenahan budaya organisasi, dan (d) Membangun lingkungan birokrasi. Dalam konteks tulisan ini, penulis menekankan pada salah satu poin dalam aspek membangun sistem birokrasi yaitu pembenahan struktur birokrasi khususnya penentuan sumber daya manusia (SDM).
Penentuan sumber daya manusia dalam satu struktur birokrasi pemerintah daerah seperti kepala organisasi perangkat daerah (OPD), camat, dan seterusnya menjadi poin strategis dalam mewujudkan satu birokrasi pemerintah daerah yang kuat. Struktur birokrasi daerah mulai dari sekretaris daerah, kepala OPD, camat dan seterusnya merupakan jabatan karir yang didasarkan pada jenjang karir dan dinilai dari pangkat/golongan serta eselon. Berbeda dengan kepala daerah yang merupakan jabatan politik yang kedudukannya ditentukan dalam kontestasi pilkada.
Proses Reformasi yang Profesional
Tewujudnya birokrasi yang profesional ditentukan dari proses penentuan sumber daya manusia birokrasi.
Sumber daya manusia menjadi salah satu komponen penting birokrasi agar birokrasi sebagai sebuah organisasi dapat berjalan dan menjalankan tugasnya.
Komposisi sumber daya manusia birokrasi harus disesuaikan dengan tugas dan fungsinya. Penempatan sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan birokrasi menjadi poin penting (right men on the right place).
Birokrat yang menempati suatu struktur birokrasi harus terukur kompetensi dan kapasitas yang dimiliki. Kompetensi dan kapasitas yang dimiliki juga harus disandingkan dengan tugas yang akan dilaksanakan.
Misalnya yang menduduki kepala dinas Pertanian mestinya orang yang berlatar belakang pendidikan pertanian dan mumpuni menguasai persoalan-persoalan dalam bidang pertanian.
Prinsip the right men on the right place tentunya berorientasi pada peningkatan kinerja dan pencapaian tujuan suatu bidang birokrasi.
Penerapan prinsip the right men on the right place tentunya mengalami dilema dan kesulitan dalam penerapannya. Hal ini didasarkan pada beberapa kendala bahwa pengaruh politisasi sangat menghegemoni dalam penempatan pegawai di beberapa pemerintah daerah.
Hal ini terjadi dikarenakan PNS baik secara “langsung maupun tidak langsung” dipaksa untuk berpolitik praktis dengan asumsi bahwa jika mereka tidak melakukan itu maka bisa saja posisi mereka terancam dalam pemerintahan. Padahal regulasi jelas-jelas menekankan bahwa ASN harus netral.
Ini tentunya berkaitan dengan mereka yang mendukung calon incumbent yang berasumsi bahwa ketika mendukung akan mendapatkan posisi aman atau kenaikan posisi tetapi ketika tidak mendukung akan dimutasi ke daerah terpencil atau dinonjobkan.
Hal ini juga berlaku untuk calon pendatang baru. Ketika misalnya ada sejumlah birokrat yang mendukung akan mendapatkan posisi yang strategis dan sebaliknya yang berseberangan pilihan politik akan dialihtugaskan atau dimutasi.
Terkait dengan tantangan ini, penulis tentunya tetap berharap pada profesionalisme kepala daerah untuk mengabaikan kepentingan politik tersebut dan lebih menekankan pada aspek-aspek logis dan konstitusional terhadap penentuan sumber daya manusia birokrasi.
Hal-hal yang mesti dilakukan oleh pemerintah daerah adalah Pertama, sistem rekruitmen yang selektif dengan mengedepankan kompentensi tanpa nepotisme.
Untuk mendukung hal tersebut, proses seleksi harus dilakukan secara terbuka (open recruitment) melalui uji publik dan fit and proper test serta proses seleksi yang dilakukan oleh tim independen.
Kedua, Sumber daya manusia yang terpilih adalah mereka yang memiliki kompentensi dan kapasitas tentunya disesuaikan dengan jenjang karir. Oleh karena itu, pengujian rekam jejak (treck record) mutlak dilakukan.
Ketiga, penempatan, promosi dan mutasi pegawai harus didasarkan pada pertimbangan logis dan rasional seperti alasan kinerja, kompentesi, efektif organisasi bukan karena campur tangan politik.
Alih Tugas dan Mutasi Jabatan
Setiap pasca Pilkada, alih tugas dan mutasi jabatan seringkali terjadi. Tentunya ini merupakan kewenangan dari ‘kepala daerah’ dalam hal ini dilaksanakan oleh PPK daerah dan tentunya harus merujuk pada regulasi seperti Peraturan BKN No. 5 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Mutasi.
Namun, yang menjadi poinnya adalah alih tugas dan mutasi jabatan mesti didasarkan pada pertimbangan yang logis dan rasional.
Adapun aspek penting sebagai dasar pertimbangan perencanaan mutasi adalah kompetensi; pola karier; pemetaan pegawai; kelompok rencana suksesi (talent pool); perpindahan dan pengembangan karier; penilaian prestasi kerja/kinerja dan perilaku kerja; dan kebutuhan organisasi bukan karena dendam politik.
Berdasarkan beberapa aspek tersebut diatas jelas menegaskan bahwa pelaksanaan mutasi jabatan tentunya harus terlepas dari konflik kepentingan. Mutasi jabatan mesti dilandaskan pada pertimbangan rasional yang selalu berorientasi pada terwujudnya birokrasi yang efektif dan efisien.
Reformasi birokrasi senantiasa berorientasi pada terwujudnya birokrasi yang efektif dan efisien yang dalam pelaksanaannya selalu berprinsip pada good governance dan cleant governance. Untuk mencapai hal tersebut, maka langkah awal yang perlu dilakukan adalah pembaharuan sistem birokrasi khususnya aspek penentuan sumber daya manusia.
Diharapkan bahwa proses reformasi dalam pemerintahan daerah dijalankan secara professional agar tercipta suatu sistem birokrasi yang mampu mengimplementasikan seluruh visi-misi dan program kerja kepala daerah.
Penulis adalah alumni pasca-sarjana Universitas Merdeka Malang