Oleh: Boni Jehadin
Tulisan ini merupakan bagian kedua dari tulisan sebelumnya, Mengenang “Mulut Manis” Viktor Laiskodat Saat Berorasi di Sikka. Kali ini, saya ingin menyoroti konsistensi Gubernur dalam mewujudnyatakan ucapannya melalui tindakan politiknya sebagai Gubernur guna membebaskan NTT dari kemiskinan.
Bagian pertama tulisan ini, melukiskan tentang argumentasi Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL) dalam kampanyenya tiga tahun silam di Kabupaten Sikka. Di Sikka, ia menitikberatkan lemahnya Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai salah satu faktor utama NTT terus berada pada garis kemiskinan. Tentu saja, apa yang diucapkan oleh Gubernur saat itu adalah realitas yang patut diakui.
Ia pun menegaskan, terkait realitas SDM yang tidak memadai itu dapat dilacak pada pencapaian pembangunan di berbagai sektor. Mengenai hal ini, diuraikan secara cukup terang pada bagian pertama tulisan ini.
Mengenang “Mulut Manis” Viktor Laiskodat Saat Berorasi di Sikka
Dalam kampanyenya itu, salah satu yang paling disoroti ialah masalah di bidang pertanian. Menurut dia, SDM yang tidak memadai membuat masalah di bidang pertanian sulit terurai secara baik. Sehingga dari periode ke periode kepemimpinan, pertanian kita terus berada dalam masalah serius tak terkecuali di kepemimpinannya saat ini.
Mimpinya untuk bersaing dengan Australia dan beberapa negara tetangga yang pernah disebutkannya, seperti kandas gara-gara harus mengejar NTB yang mengalahkan NTT secara telak di bidang pertanian.
Padahal, di panggung kampanye yang sama, VBL secara tegas dan meyakinkan, tidak menganggap yang namanya Jawa, Bali serta daerah lain di negeri ini. Sebab, kelas seorang Viktor hanya boleh disejajarkan dengan Australia dan negara tetangga lainnya. Tapi akhirnya, Viktor harus mengakui kekalahannya dari NTB.
“Bicara tentang pertanian untuk mendukung pasokan pada kebutuhan-kebutuhan yang ada. Pupuknya telat datang, benihnya tidak berkualitas. Ini yang harus kita rapikan, karena itu kecerdasan sumber daya manusia, itu adalah syarat mutlak daerah ini ataupun negara ini bangkit,” terang Laiskodat.
Mengatasi masalah SDM ini, Gubernur VBL bertekat, akan mengirimkan 2.000 Pemuda NTT setiap tahun ke luar negeri atau 10.000 selama lima tahun kepemimpinannya. Hal itu, agar dapat mengelola potensi alam NTT yang luar biasa, yang selama ini belum dimanfaatkan secara maksimal untuk kesejahteraan masyarakat.
“Kita akan mengirim Pemuda setiap tahun 2000 orang, lima tahun 10 ribu orang akan belajar di Rusia, Belajar di Inggris, Belajar di Perancis, China, Arab, Amerika, Jepang. Pulang ke Indonesia bisa bahasa dunia, tempatkan mereka di Kampung-kampung, di desa-desa, mejadi alat penggerakl utama untuk membangkitkan seluruh gerakan yang kita mau. Itulah mimpi besar kita,” tandasnya.
Ketamakan Pemimpin Sebelumnya
Masalah berikut yang menjadi penyebab utama ketertinggalan dari daerah ini ialah watak kekuasaan yang rakus, tamak. Terutama pemimpinnya. Soal ini, saya sepakat dengan Gubernur Laiskodat.
Pada beberapa tahun lalu, NTT ditetapkan sebagai daerah terkorup kelima di Indonesia. Rekor memalukan ini tentu saja menjadi akibat dari watak kekuasaan yang tamak. Sebab, ketamakan membuatnya terjerembab dalam perilaku korup.
Masalah kelangkaan pupuk yang menjadi sorotan setiap tahun di daerah ini, juga sebagaimana disoroti Gubernur VBL dalam kampanye, juga merupakan akibat dari ketamakan kekuasaan selama ini. Tak hanya pupuk, beras jatah orang miskin pun menjadi santapan pejabat dan pemimpin korup.
Untuk membuktikannya, publik NTT bisa melacak melalui mesin pencarian Google. Di sana, kita disodorkan data tentang para Bupati, Wali Kota, Para Kadis bahkan Kades dan kepala sekolah yang masuk penjara karena korupsi.
Selain pejabat pemerintah, ada juga para petinggi Bank NTT yang mestinya dapat menjadi andalan dalam mendukung pembangunan, malah kerap bergelut dengan masalah korupsi.
“Jangan jadi Gubernur, Bupati, kekayaannya bertambah luar biasa tetapi rakyatnya miskin, melarat, makan pun tidak mampu. Hari ini kita berdiri di sini, kita bukan mencalonkan diri saja menjadi Gubernur. Tetapi saya dengan Yosef Nae Soi, ingin, nanti mati ditangisi oleh 5 juta penduduk Nusa Tenggara Timur. Karena kami ingin mendedikasikan hidup kami. Kami ingin mendedikasikan diri kami, sehingga begitu nanti kami tidak ada, orang akan mengingat manusia-manusia yang berbudi luhur, berkarya untuk masyarakat Nusa Tenggara Timur bukan orangnya meninggalkan masyarakat yang miskin, melarat dalam kebodohannya. Itu tidak lagi,” begitu kata Gubernur.
Penegasan Gubernur Laiskodat bahwa ketika menjadi pemimpin, harus mampu menekan birahi ketamakan serendah-rendahnya adalah hal yang harus didukung. Namun, juga harus dibuktikan selama kepemimpinannya. Minimal, Gubernur sendiri bersama Wagub bebas dari dugaan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Sebab, perkara membebaskan daerah ini agar benar-benar bebas dari korupsi, butuh waktu cukup lama. Realitas hari ini membuktikan itu, kini sedang viral di berbagai platform media sosial tentang mantan Bupati dan Wali Kota yang tengah berhadapan dengan hukum karena korupsi. Tentu saja, ini menjadi salah satu penyebab daerah ini terus miskin, karena pejabatnya doayan korupsi.
Kembali ke soal kemiskinan. Gubernur Laiskodat bersama Wakil Gubernur, Josef Nae Soi harusnya dapat menjaga konsistensinya, terutama terkait mimpi membawa NTT ini keluar dari jeratan kemiskinan.
”Kita membutuhkan, bukan saja pemimpin cerdas tetapi hati yang melayani dengan cinta kasih, hati yang peduli terhadap orang-orang susah di desa-desa, hati yang melihat orang yang tidak sempat makan untuk dia bagikan seluruh kemampuannya untuk kepentingan itu. Saya sangat terganggu. Setiap saat kita bicara tentang busung lapar di Nusa Tenggara Timur,” ujarnya.
Tak hanya itu, tiga tahun lalu, Gubernur VBL pun merasa prihatin karena masyarakat NTT masih memasak air untuk dikonsumsi, yang menurutnya tidak layak lagi. Ia pun yakin, pada kepemimpinannya, masyarakat NTT tidak lagi masak air. Sebab di era modern ini, kata dia, tidak layak lagi masyarakat memasak air.
“Masa dalam lima tahun tidak selesai, 300 miliar, kecil untuk masyarakat NTT. Kita harus minum tanpa rebus air lagi. Kita tidak harus beli aqua lagi untuk bagi masyarakat desa, dia harus minum dari tempatnya. Dan dia tunjukan apabila turis-turis turun ke desa, minta minum putar saja di situ, kami mempunyai standar seperti Anda di Eropa sana. Itu harus kita buat di Nusa Tenggara Timur ini. Kita tunjukan bahwa kita manusia modern. Bukan manusia primitif,” tegas VBL disambut gelora tepukan tangan massa.
Menurut dia, hidup di era sekarang kita dituntut untuk berpikiran modern. Jangan hanya pakaian yang modern. Jika tidak, maka kita akan disebut sebagai manusia primitif. Hal ini kata dia, dapat dijumpai pada pemimpin-pemimpin sebelumnya, sehingga daerah ini tak pernah bangkit dari segala ketertinggalannya.
“Pakaiannya modern, otaknya primitif, pakaiannya primitif, hatinya primitif. Itulah yang kita temukan pemimpin kita hari ini. Mereka primitif. Karena itu, kita tidak pernah bangkit menjadi modern. Kita tidak pernah bangkit dengan seluruh teknologi. Yang menjadi alat ukur peradaban manusia hari ini. Karena itu, hari ini dari tempat ini, saya dengan Kaka Yosep Nae Soi datang untuk menjadi Gubernur, bukan kebanggaan kami. Tapi alat kekuasaan itu kami pakai untuk melayani. Melayani masyarakat NTT. Gubernur itu, tidak terhormat bagi saya pribadi. Saya katakan lagi, Gubernur itu tidak terhormat bagi saya pribadi. Tetapi, tetapi otoritas itu saya butuhkan untuk saya pakai dalam melayani masyarakat Nusa Tenggara Timur,” lanjutnya.
Karenanya, dia meyakini, ketika menjadi Gubernur, maka akan menggunakan kekuasaan semestinya. Ia lalu mengibaratkan kekuasaan itu seperti pisau, yang dapat menghasilkan sesuatu yang baik pun keburukan. Tergantung di tangan siapa pisau itu berada.
“Kekuasaan itu seperti pisau, Kalau pisau itu jatuh pada tangan ibu rumah tangga, maka ia akan memakai untuk memotong bawang, sayur, daging dan ikan agar kita bisa makan. Jika pisau itu ada di tangan seorang dokter, ia akan menggunakannya untuk membedah penyakit. Tapi kalau pisau itu jatuh pada perampok, penjahat, maka akan dipakai untuk merampok hak rakyat untuk kepentingan pribadi. Karena itu, hari ini pisau kekuasaan itu ada pada tangan bapa/ibu saudara saudari sekalian. Berikan kepada orang yang berguna, bukan kepada perampok,” tandasnya.
Uji Konsistensi Gubernur
Tentu masih banyak hal lain yang pernah diucapkan oleh Gubernur Laiskodat dalam kampanyenya tiga tahun silam, yang harus diuji oleh publik. Dan pada saat ini, mari kita menguji konsistensinya tentang janji mengeluarkan NTT dari lembah kemiskinan.
Beberapa hari belakangan, viral berita, dibarengi kritikan kepada Gubernur NTT di media sosial, pasca portal berita CNBC Indonesia mengumumkan 10 daerah termiskin di Indonesia.
Di situ, menyebutkan NTT menjadi juara tiga termiskin setelah Papua dan Papua Barat yang berada di posisi satu dan dua termiskin, dengan persentase 21,21 %.
Tak hanya itu, jika menelisik data kemiskinan BPS NTT hingga Maret 2020, grafik kemiskinan sepertinya tidak banyak berubah di masa Viktor-Jos yang dilantik pada September 2018.
Malah kenaikan signifikan terjadi dari tahun 2014-2015 di mana Frans Lebu Raya memimpin NTT. Itu artinya usaha-usaha yang dilakukan selama kepemimpinan Viktor-Jos belum banyak membuahkan hasil hingga umur kekuasaan memasuki tahun ketiga. Lalu, mungkinkah Viktor-Jos memenuhi seluruh atau setidaknya setengah dari janji kampanyenya selama dua tahun ke depan?
Bagaimana dengan nasib pemuda NTT yang akan dikirim untuk belajar ke luar negeri? Publik NTT silakan cek di kampung-kampung. Saya sendiri sudah melacak ke berbagai media, belum ada informasi tentang perekrutan, pengiriman, kepulangan dan penempatan 2.000 pemuda itu di kampung-kampung. Bila saya yang kurang update informasi, saya mohon maaf dan tolong share datanya.
Demikian juga teknologi modern yang dapat mengatasi masalah masak air. Dari 3.000-an desa, sudah berapa desa yang menikmati teknologi tersebut? Jika belum ada, apakah kita masih primitif?
Bersambung…