*Oleh: Vallentino
Ini malam yang mati, malam yang membuat bunyi menjadi suatu hal asing nan aneh untuk ditangkap telinga. Sesekali angin malam yang sepoi memaksa dahan-dahan angsana yang kurus untuk sedikit bergoyang, memberikan sedikit kesan kehidupan yang ditutupi sunyi. Matahari sudah terbenam sejak 14.400 detik yang lalu dan meninggalkan gelap serta dingin yang merambat perlahan di tubuhmu. Di jam ini, seperti biasa, kau sedang dalam perjalanan pulang ke rumah. Kakimu bergerak dalam ketukan yang teratur dihiasi dengan asap rokok yang kau hembuskan perlahan dan nikmat. Sesekali kau berpaling ke sudut-sudut yang gelap dan meskipun matamu tidak menangkap apa-apa selain kegelapan di sana, kau tahu ada orang di sana. Namun, seperti yang sudah-sudah, kau tidak mau bersusah-susah memikirkan apalagi mengintip apa yang orang-orang itu lakukan di sana.
Kakimu sampai di halaman rumahmu. Sama seperti malam yang mati ini, rumahmu punya situasi yang senada. Meskipun begitu, kau tahu ada orang di rumahmu itu, setidaknya dua. Kau melonggarkan dasi di lehermu dengan tangan yang tidak memegang rokok dan memperlambat langkahmu. Ketika kau sampai di teras rumahmu, kau ulangi lagi ritual itu: kau lepas sepatumu dan membuang rokok yang sudah hampir habis serta menggantinya dengan batang rokok yang baru. Kau duduk di teras rumah sambil mengisap-hembuskan asap rokok yang sudah menemanimu sejak awal ritual itu kau ciptakan. Telingamu menangkap bunyi-bunyi aneh seperti desahan bercampur rintihan dari dalam rumahmu tapi kau tetap duduk diam sebab kau selalu mengerti arti bunyi itu. Kau menunggu. Ketika rokok yang kau pegang mulai sampai pada penghabisannya, bunyi-bunyi aneh tadi telah hilang dan kau tahu bahwa sudah saatnya mengakhiri ritualmu. Kau hendak membuang puntung rokokmu ketika tiba-tiba pintu rumahmu terbuka dan seorang pria keluar dengan bertelanjang dada dan bermandi keringat. Meskipun gelap dan kau tidak berbalik untuk melihat orang itu, kau tahu itu siapa dan apa yang dia lakukan di rumahmu. Dengan santai, dia menghampirimu.
“Oh, Rey. Kau sudah pulang?” sapanya. Kau hanya diam dan menunggu.
“Punya rokok?” tanyanya segera setelah dia sampai di hadapanmu. Kau memberinya semua rokok yang kau punya dan dia tampak tersenyum bahagia.
“Anak baik” katanya lirih. Dia mengambil sebatang rokok dan menyalakannya lalu menghisapnya nikmat. Dia sengaja menahan asapnya agak lama dalam mulutnya dan kemudian menghembuskannya ke mukamu. Dan kau tetap saja diam.
“Dilla sedang tidur. Dia lelah. Jangan kau bangunkan dia. Biarkan dia beristirahat” katanya kepadamu kendati kau tidak menjawabnya sepatah kata pun. Untuk beberapa saat, hanya hening dan asap rokok yang ada di antara kalian berdua.
“Aku pulang ya” akhirnya dia berbicara lagi. “Besok aku datang lagi. Kalau Dilla bangun dan menanyakanku, katakan padanya semuanya baik-baik saja”.
Sebelum kau menjawabnya – dan kau memang tidak akan menjawabnya – dia pun membalikkan badannya dan pergi dari hadapanmu. Kau tetap diam di tempatmu dan menatap punggungnya yang mulai keluar dari halaman rumahmu. Ketika punggung itu hilang di balik pagar tetangga rumahmu, kau pun menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya. Selesai sudah untuk yang kali ini.
***
Namamu Rey, Rey saja. Sejak awal, hanya nama kecil itu yang kau temui ketika kau mulai sadar akan kehidupanmu sendiri. Kau dibesarkan di sebuah panti asuhan dan menurut orang-orang yang merawatmu di sana, kau dibawa ke panti asuhan 29 tahun lalu oleh seorang perempuan yang tidak dikenal. Mereka bilang mereka tidak sempat menanyakan namamu apalagi tanggal kelahiranmu kepada perempuan itu karena dia lebih cepat ditelan gelap sedangkan orang-orang panti asuhan yang menerimamu saat itu terlambat keluar dari kekagetan mereka. Akhirnya, mereka pun memberimu nama Rey, Rey saja, dan menetapkan hari lahirmu pada hari itu, hari di mana mereka menerimamu di panti asuhan.
Ini bukan cerita tentangmu saja. Ada orang lain yang harus diceritakan di sini. Namanya Roy, Roy saja. Dia adalah saudara kembarmu. Kau dan Roy sama-sama dibawa ke panti asuhan pada malam yang konon sunyi sepi itu. Karena orang-orang panti asuhan tidak tahu siapa yang lahir dahulu di antara kalian berdua, mereka akhirnya hanya menduga-duga dan menentukan Roy sebagai anak yang lahir dahulu. Maka, sejak saat itu, Roy menjadi kakak kembarmu.
Mungkin menurut orang banyak kisah hidupmu dan kakak kembarmu adalah kisah hidup yang tidak biasa. Namun, sepertinya kau tidak terlalu peduli dengan hal itu. Kau menjalani hidupmu seperti orang biasa walaupun kau harus hidup di panti asuhan. Kau dan kakakmu memutuskan untuk keluar dari panti asuhan di hari ulang tahun kalian yang kesembilanbelas. Pada saat itu, kau baru saja tamat SMA sedangkan kakakmu tidak punya keinginan untuk serius bersekolah sejak awal; dia hanya punya ijazah SD. Empat tahun kemudian, kau mulai bekerja di sebuah perusahaan minuman beralkohol yang tidak terlalu membutuhkan tenaga kerja bertitel sarjana. Akhirnya kau mendapatkan pekerjaan yang cukup menjamin hidupmu setelah sekian lama luntang-lantang melakukan pekerjaan-pekerjaan aneh yang tidak mau kau ceritakan di sini. Setidaknya sampai di sini, kau masih jauh lebih baik dibanding kakakmu yang sampai pada titik di mana kau sudah mendapat pekerjaan bagus, dia malah tenggelam jauh dalam kehidupan yang parah. Dia sering mabuk-mabukan, berjudi, berkelahi dan tidak jarang dia terlibat masalah dengan polisi. Seringkali juga kau yang harus menyelesaikan masalah kakakmu itu, juga termasuk membayar semua utangnya. Tapi kau selalu diam.
“Anak baik. Tidak sia-sia kamu jadi adik kembarku” kata kakakmu setiap kali kau membantunya dalam setiap masalahnya.
Pada usiamu yang keduapuluhenam, tiga tahun yang lalu, kau pun menikahi seorang gadis yang kau cintai, Dilla namanya, Dilla Delila. Kakakmu menjadi satu-satunya keluarga yang mendampingimu saat itu. Saat itu kau sangat bahagia dan memang kau tidak pernah merasa sebahagia itu sepanjang hidupmu. Pikirmu semuanya akan baik-baik saja setelah itu tapi nyatanya kau malah semakin tidak paham dengan hidupmu bahkan hingga sekarang ini.
***
Setelah punggung orang itu hilang dari pandanganmu seperti asap rokok yang sudah hilang seutuhnya sejak tadi, kau pun menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan sangat kuat seakan-akan kau hendak membunuh dirimu sendiri dengan cara bernapas. Perlahan kau bangun dari dudukmu dan dengan enggan masuk ke rumahmu. Kau lewati ruang tamu yang gelap seperti biasanya dan mulai menyusuri ruang tengah, satu-satunya ruang yang lampunya dibiarkan menyala. Ketika kau sampai di kamarmu – kamar milikmu dan Dilla, istrimu – kau tahu kalau pintunya sedikit terbuka. Dengan perlahan, kau dorong pintu itu dan ketika pintunya terbuka bagimu, dengan serta merta aroma asin dan amis keringat bercampur mani yang menjijikkan langsung menyerbumu. Kau paham sekali apa yang baru saja terjadi di kamar itu.
Dalam keremangan berkas-berkas cahaya lampu tengah yang masuk ke kamarmu, kau dapat melihat Dilla tertidur tanpa busana di kasurmu, kasur kalian. Dia membelakangimu dan samar-samar kau dapat melihat butir-butir keringat yang masih membanjiri separuh pinggangnya yang langsing. Tanpa mau membangunkannya dari tidur, kau letakkan sepatumu perlahan-lahan di rak sepatu, berjuang agar tidak menciptakan satu bunyi pun. Ketika sepatumu sudah berhasil kau letakkan tanpa bunyi, tiba-tiba Dilla berbalik padamu. Dia masih dalam posisi tidur di atas kasur tapi matanya tertuju padamu. Ini tidak biasa. Dia tidak seharusnya begini, pikirmu. Untuk sesaat, kau hanya berdiri membatu di tempatmu. Dilla tidak mengedipkan matanya dan kau tahu kalau dia sedang mengamatimu.
“Kakakmu baru saja pulang” katanya tiba-tiba. Sekali lagi, ini tidak biasa, pikirmu.
“Oh iya, kau pasti bertemu dengan dia tadi” sanggahnya untuk perkataannya sendiri. Kau tetap diam membatu di tempatmu. Sungguh, ini tidak biasa. Dia seharusnya tidak terjaga dan berbicara denganmu. Dia sebenarnya harus terus tidur sampai pagi. Seharusnya, seperti biasa, kau akan keluar dari kamar itu setelah mengganti pakaianmu dan tidur di sofa di kamar tamu. Tapi kali ini dia berbicara denganmu!
“Kakakmu itu semakin hari semakin membuatku bernafsu. Aku sebenarnya sedikit merasa bersalah padamu dan berencana untuk berhenti bersetubuh dengannya tapi tidak bisa. Pikiranku menyuruhku untuk berhenti tapi tubuhku menginginkan kakakmu” dia berbicara lagi. Dan kau tetap diam.
“Aku tidak tahu alasannya tetapi yang jelas aku tidak merasakan hal sama jika ada bersamamu padahal kalian punya wajah yang sama, mata yang sama dan postur tubuh yang sama. Mungkin saja karena kakakmu itu tahu bagaimana caranya memuaskan wanita” lanjutnya.
Kau tahu situasi ini tidak biasa dan sepertinya kau tidak suka. Maka kau pun membalikkan badanmu hendak pergi dari kamar itu, kau membayangkan sofa yang penuh diam yang sunyi yang sedang menantimu di ruang tamu. Namun, kau terlambat. Sebelum tubuhmu berbalik seutuhnya, tangan istrimu sudah melingkari pinggangmu dan memelukmu. Kau dapat merasakan seluruh lekuk tubuhnya yang menempel di belakangmu. Samar-samar kau dapat mencium aroma tubuhnya yang sebenarnya harum tapi tertelan aroma asin dan amis keringat bercampur mani yang menjijikkan tadi.
“Kita sudah menikah tiga tahun dan aku tidak pernah memahamimu. Kau selalu diam padahal selama tiga tahun ini, aku selalu bersetubuh dengan kakakmu dan kau tahu itu. Mengapa kau tidak marah? Mengapa kau diam? Apakah kau tidak cemburu? Aku tidak paham itu” katanya perlahan di telingaku. Untuk yang kesekian kalinya kau berpikir bahwa ini tidak biasa. Tapi kau biarkan saja. Kau tetap diam tak bergerak.
Dilla membelai-belai perutmu dan sepertinya kau tahu bahwa napasnya mulai memburu. Lalu, tiba-tiba kau gemetar. Ada api membara yang tiba-tiba menyala besar di dalam kepala dan dadamu. Kau tidak tahu itu apa tapi sebelum kau sadar akan hal itu, kau sudah berbalik menghadap Dilla dan dengan sekuat tenaga, kau ayunkan tinjumu ke wajahnya. Dilla terhuyung-huyung ke belakang. Darah segar mengalir keluar dari hidungnya. Sebelum dia sempat berpikir tentang apa yang sedang terjadi, kau malah melompat menyerbu dia dan membenturkannya dengan lantai kamar itu.
“Mengapa kau tidak marah, tanyamu? Mengapa kau diam, itu yang kau tanyakan? Kau dan kakakku telah menghancurkan hidupku, kalian mengambil semua kebahagiaan dariku dan meninggalkan sunyi sepi yang mengerikan yang harus aku terima. Kalian biadab! Biarkan kau kuhantar ke sunyi sepi yang mengerikan itu agar kau tahu apa yang membuatku diam!” teriakmu dalam amarahmu yang menyala-nyala.
Setiap kata yang kau muntahkan selalu dibarengi dengan tinju yang kau sarangkan ke wajah istrimu. Kau pukul dia dengan tanganmu bertubi-tubi sampai wajahnya dan tanganmu sama-sama hancur. Lantai kamar itu digenangi darahmu dan darah istrimu. Istrimu pingsan tapi kau belum puas. Kau lari menuju dapur dan kau temui di sana pisau karat yang kau pungut di selokan depan rumah kemarin. Kau bawa pisau itu ke kamar di mana istrimu tergeletak dan seperti binatang liar, kau hujani tubuh istrimu dengan tikaman pisau berulang-ulang kali. Ketika kau merasa puas dengan itu, istrimu sudah berubah menjadi jasad bermandi darah dan dagingnya sendiri. Kau pun bangkit dan berlari sekuat tenaga keluar dari rumahmu dengan tangan masih memegang pisau karat yang berlumuran darah. Dalam kepalamu hanya ada satu suara di sana: Semuanya harus selesai malam ini.
***
Pagi yang cerah.
Burung-burung bersiul bersahut-sahutan dibarengi bunyi “tiiiiittt” dari teko air panas yang menandakan bahwa air di dalamnya sudah mendidih 100 derajat. Aku sedang duduk di beranda rumah dan membaca surat kabar pagi ini sambil menunggu kopi buatan istriku. Ketika kubuka halaman tiga surat kabar itu, kutemukan di sana berita yang membuatku tertarik “….seorang pria berusia 29 tahun berinisial R bunuh diri setelah membunuh istrinya DD (27) di rumahnya di kawasan Perumahan Cempaka dan juga saudara kembarnya R (29) di jalan Tulip. Polisi tengah menyelidiki kasus tersebut dan mengatakan penyebabnya adalah perselingkuhan…”.
“Mas, ini kopinya” kata istriku tiba-tiba yang membuatku kaget.
“Oh, terima kasih. Letakkan saja di atas meja” jawabku padanya.
Isteriku meletakkan kopi itu di atas meja lalu berbalik pergi. Aku menurunkan koran yang kubaca lalu memandang punggungnya yang berjalan menuju dapur. Setelah dia menghilang di balik pintu, aku termenung sambil memandangi baris berita di surat kabar halaman tiga yang tadi kubaca. Tiba-tiba pikiran itu muncul dalam kepalaku. Yah, sudah kuputuskan.
“Oh, kau memberiku ilham” kataku lirih sambil memandangi surat kabar itu dan mengeluarkan sebuah pisau karat dari saku celanaku.
Ledalero, Februari 2020
*Tinggal di Gere, Ledalero, Maumere