*Cerpen
Oleh: Aris Ammlupu
Senja di Gua Bitauni
Senja di depan mata. Udara hangat menyelimuti tubuh. Cuaca sedang bersahabat bersama Kecamatan Insana sehingga hari ini kelihatan cerah. Aku duduk termangu seorang diri. Terlihat beberapa pasangan tengah asyik bermesraan. Rupanya mereka tidak ingin senja kali ini pergi begitu saja. Kata orang, cinta selalu identik dengan senja; kedatangannya membawa kebahagiaan dan kepergiannya menyisakan kerinduan dalam penantian.
Aku mencoba membiarkan jingganya senja membalut segala luka yang tengah menganga dalam hatiku. Tiga tahun lalu aku menjalin hubungan dengan seorang perempuan kelahiran TTU Noemuti yang tengah mengenyam pendidikan di bangku sekolah di salah satu sekolah ternama di Kota Kefamenanu.Yudit namanya. Aku selalu menyapanya dengan sapaan Nona. Parasnya sama seperti wanita timur pada umumnya, berkulit sawo matang, berambut ombak panjang dan dengan tinggi badan 160an cm. Kami kelihatan sangat cocok.
Tentang awal perkenalan, kami berdua dipertemukan oleh sebuah aplikasi chatting yang tren di masa itu, BBM namanya. Aku yang kala itu berstatus sebagai murid di SMA Negeri 1 Insana, mendapatkan kontaknya dari salah seorang sahabatku. Pada awal perkenalan semuanya terasa begitu-begitu saja. Tak ada yang istimewa. Akan tetapi benar kata seorang penyair bahwa cinta tak pernah datang dari keakraban yang sungguh dan kedekatan yang selalu, melainkan karena kesesuaian jiwa antara dua insan. Dan setelah sebulan saling berkabar melalui chatting, kami berdua merasakan hal demikian; kesesuaian jiwa. Ada saling pengertian, kecocokan dalam hobi, salera humor yang sama, dan masih banyak lainnya. Lama menjalin hubungan sebagai teman, kami akhirnya memutuskan untuk beranjak ke tahapan yang sedikit lebih serius. Kami memutuskan untuk menjalin sebuah hubungan yang lebih dari sebatas teman.
***
Semuanya masih terekam jelas dalam memori internal otakku. Waktu itu tanggal 16 Oktober 2018.Pada suatu senja ketika segala aktivitas rumahku selesai aku memutuskan untuk memberi kabar padanya terlebih dahulu.
“Ping”
“Iya Kaka”
“Apa kabar Nona? “
“Baik-baik saja Kaka. Bagaimana dengan Kaka?”
Sebagai bahan basa-basi seperti orang timur pada umumnya, aku mulai membahas hal-hal sepele seputar aktivitas harian mulai dari tugas rumah, tugas sekolah ataupun seputar klub Real Madrid. Maklum kami berdua sama-sama mencintai Real Madrid. Semuanya beranjak pada tahapan serius ketika jari jemariku mengetikkan pesan singkat ini
“Nona ada hal serius yang ingin Kaka bicarakan”
Tak sampai semenit, pesanku dibalas.
“Apa Kaka? Bukannya dari tadi kita sudah serius?”
Mendapat balasannya yang seperti itu, aku menjadi sedikit ragu dan ingin menguburkan kembali dalam-dalam niatku untuk mengungkapkan perasaanku. Akan tetapi keraguanku dikalahkan oleh cinta yang terus membara dalam hatiku. Dengan sedikit ragu, jari jemariku mengetikkan pesan ini.
“Nona, sebelumnya maafkan Kaka jika ini akan terdengar sedikit lancang dan labil, tetapi Kaka harus mengatakannya. Setelah sebulan perkenalan kita, Kaka merasakan adanya gejolak dalam jiwa, Kaka juga tidak mengerti bagaimana akhirnya menjadi seperti ini. Ia datang dan terjadi begitu saja. Sangat alamiah. Sejujurnya Kaka mencintai Nona walaupun kita belum pernah merasakan yang namanya pandangan pertama, itu tidak menjadi masalah. Sebab bukankah cinta adalah kata hati bukan kata mata? Jikalau boleh, izinkan Kaka untuk menjadi seorang yang istimewa dalam padang hati Nona yang akan dengan bebasnya mengembara di dalamnya. Kalaupun sampai tersesat dan mati, itu adalah sesuatu yang baik bagi Kaka: mati didalam hati Nona.
Akupun mengirimkan pesan panjang tersebut. Lama menunggu, pesanku tidak juga dibalas. Akupun mulai berandai-andai, jangan-jangan ia tidak menaruh hati padaku. Ataukah aku telah dianggapnya sebagai seorang Kakak yang selalu mengerti segala keluh yang menjadi kesahnya? Aku pasti ditolak. Pasti.
30 menit berlalu, pesannya hanya bercentang biru. Tidak ada tanda-tanda balasan darinya. Aku mulai putus asadan memutuskan untuk beranjak dari tempat dudukku. Baru 5 meter berjalan, langkahku terhenti ketika Samsung J1 mini-ku bergetar, tanda adanya pesan masuk.
“Kaka, sejujurnya Nona pun mengalami hal demikian. Setelah sebulan berkenalan, Nona merasa ada kecocokan diantara kita. Ada kesesuaian jiwa. Nona juga mencintai Kaka. Benar kata orang bahwa cinta itu misteri. Kita tidak akan pernah tahu kapan dan dimana kita akan jatuh cinta.
Nona terima cinta Kaka. Nona percayakan hatiNona untuk Kaka jaga. Nona mohon jadilah seorang penjaga hati yang baik. Sebab hati adalah yang mudah rapuh”
Mendapatkan balasan tersebut, akupun melonjak kegirangan.
Sejak saat itu kami berdua mulai menjalin hubungan istimewa tersebut. Tidak ada masalah serius yang kami hadapi dalam ziarah perjalanan cinta kami. Kalaupun ada, itu hanya karena salah pengertian ataupun kecemburuan sesaat. Namun, semuanya teratasi dengan komunikasi yang baik dan kedewasaan dalam pengertian.
Kami berdua terus menjalin hubungan hingga menamatkan pendidikan menengah atas. Aku yang terlanjur dimabuk cinta menyimpan harapan penuh padanya. Dalam hatiku aku selalu percaya bahwa ia adalah tulang rusukku yang hilang satu. Namun, benar bahwa terlalu berharap pada ciptaan hingga lupa pada Sang Pencinta maka Tuhan akan mematahkan segalanya agar kita dapat kembali berharap pada-Nya. Tepatnya sebulan setelah kami menerima surat kelulusan, sebuah pesan dikirimkannya padaku.
“Kaka, temui aku di Gua Bitauni. Ada yang ingin kuberikan padamu.”
Dengan penuh tanya aku pergi ke Gua Bitauni. Motor Smash hitam putihku melaju dengan kecepatan tinggi. Dalam perjalanan aku terus bergulat dengan banyak tanya.
“Apa yang ingin ia bicarakan? Sepertinya ini adalah hal yang serius sehingga kami harus bertemu di Gua Bitauni. Tapi apa? Bukankah selama ini kami baik-baik saja?”
Aku tiba di gua Bitauni sebelum senja meninggalkan peraduannya. Ia telah mendahuluiku di sana. Melihatnya duduk di depan patung Maria, hatiku bertambah cemas. Jauh di dalam lubuk hatiku, aku tidak ingin berpisah dengannya. Aku tidak ingin senja kali ini berduka bersamaku.
“Kaka, mari. Duduklah di sampingku. Kita berdoa terlebih dahulu, setelah itu baru saya bicarakan maksud dan tujuan saya meminta Kaka datang ke sini.”
Aku duduk di sampingnya. Di bawah teduhnya tatapan Bunda Maria, kami berdua tenggelam di lautan doa yang terlampau dalam. Cahaya lilin dan remang-remang senja menambah kekhusyukan semoga kami.
“Aku ini hamba Tuhan. Terjadilah padaku menurut perkataan-Mu.”
Senja hampir digusur malam. Doa-doa kami telah diamikan.
“Kaka ini ada surat. Silahkan dibaca.”
Kuarahkan pandanganku sebentar pada wajah Maria. Jari jemariku membuka surat tersebut. Membacanya dengan seksama. Aku tidak ingin satu katapun terlewatkan.
Patah. Senja kali ini mematahkan hati dan segala harapanku. Terasa sebilah pedang menikam jantungku.
“Kaka, maafkan Nona yang selama ini tidak memberitahukanmu perihal cita-cita Nona. Sedari kecil Nona ingin menjadi seorang pekerja di kebun anggur Tuhan. Karena itu tiga bulan yang lalu sebelum kita melaksanakan ujian nasional , ada rombongan para suster yang mengadakan aksi panggilan di sekolah kami dan nona tertarik untuk masuk dan bergabung. Setelah menerima surat kelulusan, Nona mencoba mengirim surat lamaran dan Nona diterima untuk bergabung. Besok Nona akan pergi ke Manggarai untuk memulai proses formasinya. Memang ini terasa berat, tetapi Nona harus pergi. Kita bertemu karena cinta dan berpisah karena cita-cita. Jika suatu saat nanti Kaka merindukan Nona, datanglah ke Gua Maria ini dan berdoalah untuk Nona. Sebab satu semoga dari Kaka adalah penguat untuk Nona agar tetap setia pada jalan panggilan yang telah Nona pilih ini.”
Aku terdiam seribu bahasa. Kata-kataku seolah tak mampu membahasakan segala yang ada dalam hatiku. Benar saja kata ibuku bahwa jika kata-kata tak mampu lagi membahasakan segalanya, air mata adalah jalan terbaik untuk mengungkapkannya. Senja kali itu menangis bersamaku. Seluruh air mataku mengalir begitu saja. Tak ada yang salah jika seorang laki-laki menangis kan? Sebab jika seoranglelaki menangis, air matanya lebih tulus dari segalanya.
Lengkungan lembayung pada langit hampir habis, menyisakan aku dan air mataku.
“Nona terimakasih untuk segalanya. Terimakasih untuk pelajaran berharga selama perkenalan panjang kita.Kaka ikut berbahagia karena Nona telah memilih jalan panggilan itu. Kaka mengikhlaskan segalanya sebab yang tulus mencintai adalah yang rela melepaskan. Tubuhmu boleh pergi, tetapi Kaka harap hatimu tinggal dan yang kau bawa adalah hati Kaka. Hati Kaka disini adalah alasan kepulanganmu dan hati Kaka disana adalah alasan setiamu. Kalaupun nanti akhirnya Nona tidak kembali kepada Kaka, ingatlah selalu bahwa di balik jubahmu yang suci ada air mata yang pernah tumpah dari yang mencintaimu”
Senja telah pergi. Hari mulai gelap. Kamipun pulang pada rumah dengan segala luka dan duka. Senja di Gua Maria Bitauni menjadi saksi dua insan yang berpisah karena cita-cita dan cinta akan Tuhan.
(Saint Conrad Ende, 22 Februari 2021)
Penulis adalah alumni SMA Negeri 1 Insana. Sekarang tinggal di Biara St. Kondradus Ende