*Oleh: Edi Hardum
MEMBACA berita mengenai penganiayaan terhadap Yosef Sudirman Bagu (41), menyedihkan hati dan kesal. Lelaki warga Siri Mese, Desa Golo Poleng, Kecamatan Ndoso, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) ini diduga dianiaya oleh sejumlah oknum TNI dan Polri di rumah seorang warga di kampungnya, 6 Fabruari 2021.
Yosef mengalami luka di wajahnya. Kepala Desa Golo Poleng, Siprianus Mansur diduga terlibat dalam tindakan melanggar hukum itu.
Penulis dan masyarakat umumnya sedih karena berdasarkan berita sejumlah media mainstream dan data yang didapat dari LBH Manggarai Raya di Ruteng, Yosef yang bekerja sebagai petani ini diperlakukan sungguh tidak manusiawi.
Terus mengapa kesal? Karena tindakan kejam itu diduga dilakukan oknum aparat negara, yang juga melibatkan kepala desa setempat. Ia dianiaya oleh sejumlah oknum TNI dan Polri yang disaksikan Kepala Desa Golo Boleng, Siprianus Mansur.
Anggota TNI dan Polri serta kepala desa seharusnya melindungi semua warga negara. Indonesia adalah negara hukum! Karena itu penganiayaan terhadap Yosef tidak bisa dibenarkan secara hukum.
Berdasarkan berita media massa dan data dari LBH Manggarai Raya, Yosef dianiaya berawal dari perbuatan seorang pemuda bernama Vendi. Vendi membunyikan sepeda motor dengan veleg (knalpot) racing di depan rumah Yosef.
Yosef dan anak-anaknya yang sedang sakit merasa terganggu, menegur Vendi. Karena ditegur Vendi pergi menjauh. Namun, tidak lama ia kembali berada di depan rumah Yosef, dan berulang membunyikan dengan keras sepeda motornya dengan veleg racing. Karena itulah, Yosef marah maka terjadilah perkelahian antara Yosef dan Vendi.
Beberapa saat setelah perkelahian, Yosef pergi ke kebunnya. Namun, tidak lama berselang, Yosef didatangi dua anaknya, dan memberitahu bahwa Yosef harus segera kembali ke rumah, sebab di rumahnya sudah ada anggota TNI, Polri dan kepala desa. “Kalau tak cepat kembali ke rumah, maka rumah kita dibakar,” kata anak Yosef kepada Yosef.
Yosef pun bergegas ke rumahnya. Sesampai di rumahnya, ternyata oknum Polri dan TNI serta kepala desa menunggu Yosef di rumah warga lain di kampung itu. Yosef pun ke sana.
Sesampai di sana, sebelum ia masuk rumah, Yosef disambut seorang anggota Polri dan memegang kerah bajunya dan memukul, yang diikuti sejumlah oknum TNI. Tidak lama dari rumah penganiayaan pertama, Yosef pindah ke rumah kepala desa. Di sana, ia kembali dipukul. Setelah Yosef tidak berdaya secara fisik, baru semua yang diduga pelaku mengantar Yosef ke puskemas untuk dirawat.
Semua Harus Dihukum
Dari kronologi di atas, penulis berpendapat, pertama, pimpinan TNI dan Polri harus profesional menangani kasus ini. Jangan percaya begitu saja laporan anak buah terduga pelaku.
Panggil semua masyarakat yang melihat dan mengetahui kasus ini. Bila perlu, Kasad TNI Jenderal TNI Andi Perkasa segera perintahkan Polisi Milter Angkatan Darat (AD) untuk turun langsung ke lapangan.
Demikian Propam Polri. Ini kejadian di daerah terpencil, di mana patut diduga dimanipulasi fakta sebenarnya yang dilakukan oknum TNI dan Polri di lapangan yang diduga pelaku atau kongkalikong dengan terduga pelaku.
Ini demi nama baik TNI dan Polri. Semua anggota TNI dan Polri yang melanggar hukum, harus dihukum sesuai hukum yang berlaku. Saya pikir, sudah banyak juga anggota TNI dan Polri dihukum karena melakukan kesalahan. Kasus ini bukan delik aduan. Ini delik biasa.
Pimpinan TNI dan Polri begitu tahu dari media massa segera bergerak.
Kedua, banyak yang terlibat dalam penganiayaan ini. Karena itu, para pelaku, selain dijerat pasal 351 ayat (2) KUHP soal penganiayaan berat, di mana ancaman hukum lima tahun penjara, juga Pasal 170 KUHP soal pengeroyokan di mana ancaman hukumannya juga lima tahun bui.
Selain itu, perbuatan para pelaku juga patut diduga diancam dengan Pasal 333 KHUP tentang Penyekapan, karena dari fakta yang didapat, korban dianiaya juga dalam rumah.
Jadi para terduga pelaku dalam kasus ini adalah sejumlah oknum TNI, sejumlah oknum Polri dan Kepala Desa Golo Poleng, Siprianus Mansur. Terduga pelaku TNI dan Polri, tentu bukan hanya hukuman disiplin, tetapi hukuman pidana.
Sedangkan Vendi dijerat Pasal 55 KHUP dan Pasal 106 dan Pasal 285 Undang – undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan.
Pasal 285 berbunyi : “(1) Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor di Jalan yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan yang meliputi kaca spion, klakson, lampu utama, lampu rem, lampu penunjuk arah, alat pemantul cahaya, alat pengukur kecepatan, knalpot, dan kedalaman alur ban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) juncto Pasal 48 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah)”.
Pasal 106 UU tersebut, menyebutkan,” 1. Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi. Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mengutamakan keselamatan pejalan kaki dan pesepeda. 3. Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mematuhi ketentuan tentang persyaratan teknis dan laik jalan”.
Veleg racing sepeda motor termasuk melanggar pasal 106 ayat (3) di atas. Sebab, kekuatan telinga manusia hanya sampai 90 desibel. Sedangkan veleg racing jauh di atas 90 desimal. Suara kendaraan bermotor yang kencang, karena pakai knalpot bising/racing, alias knalpot dengan lubang besar sungguh mengganggu, karena itulah dilarang.
Penggunaan knalpot bising juga tidak memenuhi persyaratan teknis yang ditentukan Kementrian Perhubungan, ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek) sebagai pemasar produk wajib mendapatkan izin dari Kementrian Perhubungan mengenai spesifikasi dan teknis produk motor yang akan dipasarkan.
Knalpot sepeda motor, sebenarnya sudah diatur sesuai dengan kapasitas mesinnya. Aturannya tertuang dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 7 tahun 2009 tentang Ambang Batas Kebisingan Kendaraan Bermotor Tipe Baru.
Dalam aturan itu tertulis bahwa batas ambang kebisingan sepeda motor terdiri atas, untuk tipe 80 cc ke bawah maksimal 85 desibel (db). Lalu, tipe 80-175 cc maksimal 90 desibel dan 175 cc ke atas maksimal 90 desibel.
Jika melebihi ambang batas itu, yg biar pengendara bisa dianggap melanggar karena knalpot dianggap tidak laik jalan sesuai dengan UU Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana disebutkan di atas.
Oleh karena itu, perbuatan Vendi dengan membunyikan sepeda motor dengan knalpot bising di depan Yosef melanggar hukum. Vendi harus dibui!
Hukum Adat
Ketua LBH Manggarai, Frans Ramli, kepada penulis mengatakan, kasus ini dalam proses diselesaikan secara adat Manggarai (kekeluargaan). Dalam pertemuan, keluarga korban meminta ganti rugi untuk pengobatan luka fisik dan batin alias wunis peheng kepada para pelaku Rp 50 juta. Menurut Frans, para pelaku dari TNI dan Polri sudah mengaku bahwa mereka telah menganiaya korban.
Namun, para pelaku berkeberatan dengan angka Rp 50 juta, karena itu mereka meminta waktu seminggu untuk mempertimbangkan hal ini.
“Mohon uang Rp 50 juta yang diminta korban jangan dianggap pemerasan terhadap para pelaku. Uang sebesar itu, tidak ada artinya dibanding harkat dan martabat korban serta, luka fisik dan batin yang dialaminya. Kami tidak terima kalau ada yang mengatakan pemerasan,” kata Frans Ramli kepada penulis.
Penulis sepakat para pelaku harus tanggung renteng Rp 50 juta untuk memberikan kepada korban sebagai wunis peheng.
Menurut penulis, selain uang Rp 50 juta yang diwajibkan kepada para pelaku, juga satu ekor babi (ela wase lima). Ini demi memulihkan harkat dan martabat korban, serta menjunjung tinggi Budaya Manggarai.
Namun, kalau para pelaku masih berkeberatan dengan itu, korban sebaiknya memilih terus jalur ligitasi (hukum). Ingat, hukum berfungsi untuk menertibkan manusia yang bertindak seperti hewan, apalagi para pelaku aparat negara, harus diberi hukuman lebih berat. Pimpinan TNI dan Polri, mohon tidak anggap enteng kasus ini.
Menurut penulis, kalau pun kasus ini diselesaikan secara adat, hukuman terhadap pelaku dari TNI dan Polri harus tetap diberikan, minimal hukuman disiplin.
Edi Hardum, Lawyer dan anggota LBH Manggarai, tinggal di Jakarta