Kupang, VoxNtt.com-Sepintas, keputusan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Kupang membebaskan terdakwa Jonas Salean kasus dugaan korupsi pembagian tanah Pemerintah Kota Kupang, Rabu (17/03/2021), cukup meresahkan publik NTT yang merindukan penegakan hukum bagi terduga koruptor.
Lebih lagi, karena selain kasus Jonas Salean, di ujung barat Pulau Flores, tepatnya di Kerangan, Labuan Bajo terdapat pula kasus, yang bila diteropong dari jauh, agak mirip dan sedang dalam perkara di Pengadilan yang sama. Konon, informasinya, kasus itu, juga ditangani oleh hakim yang sama dalam perkara pengalihan aset Kota Kupang.
Dalam peradilan, mantan Wali Kota Kupang, Jonas bebas dituntut Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kajati NTT dengan hukuman penjara 12 tahun, denda Rp1 miliar dengan Subsidier 6 tahun penjara, serta ganti rugi. Jika tak dibayar, ditambah kurungan 6 tahun.
Pasalnya, pembagian aset milik pemerintah menjadi milik perorangan adalah perbuatan pidana yang telah merugikan negara, Rp 66 Miliar. Selain merugikan negara, 40 penerima tanah itu orang-orang mampu dan mayoritas sedang menduduki pejabat tertentu, seperti birokrat di Kota Kupang termasuk di dalamnya ada oknum hakim. Di antara mereka, sembilan penerima tanah ialah keluarga Jonas Salean.
Meski begitu, Jonas diputus bebas. Oleh hakim, Jonas dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi walaupun dalam keputusan itu terjadi disenting opinion, sebab salah satu hakim, Ibnu Kholiq mempunyai pandangan hukum berbeda dengan dua hakim lainnya, Ari Prabowo dan Nggilu Liwar Awang.
Menurut Ibnu Kholiq, Jonas telah terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana korupsi. Sayangnya, pertimbangan hukum Ibnu tidak didukung oleh Ari dan Nggilu. Secara voting, Ibnu kalah jumlah. Karena itu, Ketua DPD II Golkar Kota Kupang yang pasca bebas terpilih secara aklamasi pun bebas.
Setelah Jonas bebas, pendapat para pengacara dan orang-orang yang diduga berkepentingan dalam kasus Kerangan pun berseliweran di media, mulai dari yang di NTT hingga yang di Jakarta. Bunyi argumentasinya sama. Mereka seperti anggota koor yang sedang bernyanyi di tempat ibadah. Nyaring dan bernada seragam.
Baca: Sidang Saksi: JPU Tanyakan Kontainer Johni Asadoma dan Vila Goris Mere di Kerangan
Inti dari “koor” itu ialah, membangun opini liar guna menggiring publik agar sejalan dengan mereka, bahwa kasus ini mirip. Karena itu, para terdakwa, pun orang-orang yang namanya disebutkan dalam persidangan, yang oleh karena perbuatannya merugikan negara senilai Rp 1,3 triliun berkat jual beli tanah seluas 30 hektare itu ingin bernasib sama dengan Jonas. Meski Jonas pun sedang dalam proses kasasi.
Karena itu, sebelum “koor” itu kian nyaring lalu meninabobokan para pemburu keadilan, seperti masyarakat Mabar dan kaum anti-korupsi, ikuti laporan VoxNtt.com berdasarkan liputan di lapangan dan rentetan peristiwa dalam kasus penyerobotan serta jual belih tanah Pemda Mabar di Kerangan, Labuan Bajo itu.
Kilas Sejarah
Para sore hari, Rabu tanggal 03 Maret 2021, VoxNtt.com menemui Frans Paju Leok dan Fidelis Kerong, dua saksi fakta dalam kasus itu. Sambil seruput kopi khas Flores di sebuah tempat cukup sedeharana, diskusi kami mengalir.
Berbagai pertanyaan dijawab dengan apa adanya, bunyinya pun seragam. Pertanda, mereka tidak mengarang. Mereka paham dan membenarkan bahwa mereka menyaksikan peristiwa sejarah penyerahan tanah Kerangan itu oleh Fungsionasi Adat Dalu Nggorang, Haji Izhaka kepada Pemda Manggarai di era Bupati Gaspar Parang Ehok pada 1997 silam.
Frans Paju Leok, mantan Asisten I Kabupaten Manggarai di era itu, salah satu saksi fakta yang saat bersaksi di Pengadilan Tipikor Kupang sudah menuju usia uzur yang ditandai dengan seluruh rambut yang memutih. Mengenakan topi songke khas Manggarai, secara runut membentangkan kisah tentang peristiwa sejarah yang konon, niatnya begitu mulia dari dua pihak, Haji Izhaka dan Pemda Manggarai.
Kopi khas Flores ditemani sebungkus rokok dunhil putih membuat suasana diskusi menjadi semangat dan hangat. Frans berhasil mengalirkan kisah sejarah mulia itu dengan apik dan diamini satu saksi lainnya, Fidelis Kerong. Kerong, kala itu menjabat sebagai Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Manggarai.
“Besok ini, saya punya bagian sedikit lebih kecil dari bagiannya Pak Frans. Palingan, saya omong apa yang kami dua alami di Tahun 1997,” celetuk Kerong di tengah diskusi itu.
Baca: JPU Pertanyakan Kepemilikan Tanah Gories Mere dan Johni Asadoma dalam Sidang Kasus Kerangan
Mereka mengisahkan, demi membantu Hakim dan Jaksa, juga Pemda Mabar dalam mengembalikan aset Pemda itu, kedua sahabat karib itu mengaku rela bolak balik Manggarai-Kupang, meninggalkan kebersamaan dengan keluarga dan kesibukan di kampung.
Sore itu, diskusi pun berakhir seiring menguapnya Kopi dan rokok di atas meja. Frans n Kerong juga harus istirahat karena esoknya, Kamis 04 Maret 2021 harus memberikan kesaksian di Pengadilan.
“Saya ditunjuk oleh Bupati untuk bertemu Fungsionaris Adat Nggorang, Kraeng Dalu Ishaka untuk melihat lahan yang diserahkan ke Pemda agar mau dibangun sekolah pelayaran,” ujar Frans Paju Leok menjawab pertanyaan JPU dalam sidang di Pengadilan Tipikor Kupang, Kamis (04/03/2021).
Sidang hari itu berjalan lancar. VoxNtt.com berusaha mencatat semua jawaban Frans Paju Leok dan Fidelis Kerong dalam sidang tersebut, juga tiga kali sidang sebelumnya.
Sebagaimana diceritakan, pada Tahun 1997, Frans dua kali datang ke Kerangan. Pertama, di bulan April. Ia datang bersama Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Manggarai, Fidelis Kerong untuk melihat lokasi tanah seluas 30 Ha yang akan diserahkan oleh fungsionaris adat ke Pemda Manggarai.
Menurut Frans, penyerahan tanah itu ke Pemda, bermula ketika Pemda mengusulkan ke Pemerintah Pusat untuk membangun sekolah pelayaran. Usulan tersebut diterima Pemerintah Pusat dengan pertimbangan, Pemda harus menyiapkan tanahnya.
Oleh jawaban Pempus itulah, Mantan Bupati Manggarai Gaspar P. Ehok meminta Frans untuk bertemu dengan Ketua Fungsinaris Adat Nggorang di Labuan Bajo, Haji Ishaka. Frans berangkat bersama Fidelis Kerong untuk bertemu Haji Ishaka untuk selanjutnya ke Kerangan, melihat lokasi.
Tiba di Labuan Bajo, keduanya bertemu Haji Ishaka dan menyerahkan uang Kapu Manuk Lele Tuak (ganti rugi/ucapan terimakasih) sebesar Rp 10 jutan dari Pemda Manggarai kepada Fungsionaris Dalu Nggorang.
Kraeng Dalu Ishaka selaku Ketua Fungsinaris Adat Nggorang, demikian cerita Frans dalam Sidang, menunjuk Adam Djuje sebagai orang yang akan menunjuk lokasi tanah di Kerangan. Adam Djuje adalah orang yang dipercaya oleh Dalu Ishaka untuk menata tanah dalam wilayah ulayat Nggorang.
Keesokan paginya, Frans dan Kerong pun berangkat ke Kerangan bersama Adam Djuje.
Kedua, di bulan Mei Frans datang lagi untuk melakukan pengukuran. Saat itu, dirinya ditemani oleh kepala BPN, Camat Komodo dan Lurah Labuan Bajo. Sedangkan Fidelis Kerong tidak ikut dalam proses pengukuran itu.
Dalam persidangan Frans sempat ditanyakan kuasa hukum terdakwa perihal pengadministrasian tanah tersebut. Dengan kukuh, Frans menjawab bahwa tugas dirinya sebagaimana perintah Bupati Gaspar Ehok, hanya untuk melihat lokasi serta menghadiri pengukuran. Sedangkan untuk pengurusan adsministrasi adalah urusan bagian Tata Pemerintahan.
Penuturan Ahli Waris
Selain Frans Paju Leok dan Fidelis Kerong, Haji Ramang Ishaka, anak Dalu Ishaka sebagai penerus Fungsionaris Adat Nggorang juga turut memberikan kesaksian dalam kasus yang kemudian melibatkan nama-nama orang-orang besar di Jakarta seperti Goris Mere, Johni Asadoma hingga Pemred tv One, Karni Ilyas.
Haji Ramang memberikan kesaksiannya soal warisan dokumen dan tuturan orang tua mengenai lahan seluas 30 Ha yang sudah diserahkan oleh pendahulunya kepada Pemda Manggarai (sekarang Manggarai Barat).
Dalam beberapa kali sidang, Haji Ramang menjelaskan, beberapa kali ia diundang oleh Pemda Manggarai Barat bahkan oleh Mantan Bupati Manggarai Barat, Gusti Dula, yang kini jadi terdakwa.
“Tahun 2017 pernah Pak Bupati undang saya ke kantornya. Dia pernah bilang mau serahkan kembali tanah itu ke fungsionaris adat karena banyak masalah di atasnya. Saya tidak mau. Karena pendahulu saya sudah serahkan lahan itu. Sepenuhnya sudah menjadi tanggung jawab Pemda,” kata Haji Ramang dalam sidang.
Haji Ramang juga mengatakan, sejak tahun 2000-an, banyak masyarakat yang menemuinya untuk meminta surat alas hak terhadap bagian lahan di Kerangan. Ia menolak karena alasan yang sama, lahan seluas 30 Ha sudah menjadi milik Pemda Mabar.
Di Tahun 2014, Haji Ramang pernah diundang untuk hadir di Kerangan. Saat itu, seperti yang diucapkannya dalam sidang, hadir pula BPN Mabar untuk melakukan pengukuran serta perbaikan pilar-pilar yang rusak. Belum ditemukan aktivitas di atas lahan yang sudah diserahkan oleh pendahulunya itu kepada Pemda.
Belakangan, tutur Haji Ramang, sekira sejak Tahun 2017, dalam lahan tersebut sudah dibangun beberapa bangunan dan terlihat banyak aktivitas. Ada Vila, Masjid dan WC. Ada juga gapura.
Bertaburan “bintang”
Herry Franklin selaku Jaksa Penuntut Umum (JPU) 10 Maret lalu, pernah membikin lelucon saat bertanya kepada saksi Fidelis Kerong.
“Bapak Tahu di atas lahan Kerangan itu bertaburan bintang-bintang yah?,” Tanya Herry sambil tertawa.
Benar saja, meski ucapan JPU dibaluti lelucon, semakin ke sini, kasus jual beli aset Pemda di Kerangan semakin terang. Di dalamnya terseret nama orang-orang besar Jakarta, sebut saja Komjenpol purnawirawan, Goris Mere, mantan Wakapolda yang kini menjabat Kadivhubinter, Johni Asadoma.
Pantauan VoxNtt.com dalam beberapa kali sidang, JPU menanyakan soal beberapa nama itu. Mereka diduga kuat memiliki lahan di atas tanah 30 Ha yang sudah diserahkan ke Pemda itu. Majalah Tempo, pernah mengupasnya beberapa kali berdasarkan hasil investigasi.
Nama Mantan Kepala Staf Keamanan Presiden Indonesia, Goris Mere, Mantan Wakapolda NTT, Johni Asadoma, dan Pemandu Cara Indonesia Laywers Clup, Karni Ilyas pun ditanyakan oleh JPU kepada saksi-saksi dalam persidangan tersebut.
VoxNtt.com ahad lalu, pernah bertanya kepada JPU Hery, soal nama-nama orang penting di Ibu Kota itu. Hery menjawabnya singkat. “Karena ada dalam dagwaan,” ujar dia.
Adu Kuat
Jaksa Penuntut Umum Kajati NTT tak mau kehilangan muka kedua kali. Jika Jonas Salean bebas dari jeratan hukum 12 Tahun atas tuntutan kasus bagi-bagi lahan Pemda, publik tak ingin puluhan terdakwa yang secara jelas menikmati keberlimpahan dari hasil jual beli tanah Pemda di Kerangan itu juga dibebaskan begitu saja. Mereka dinilai patut dihukum seberat-beratnya sesuai undang-undang.
Baca: Jonas Salean Jadi Preseden Buruk Bagi Golkar?
Yos Nggorang, Pembina Mahasiswa Manggarai Barat di Jakarta adalah orang yang pertama kali mendorong pelaku jual-beli tanah Pemda di Kerangan ini untuk diproses hukum.
Selain agar masyarakat mendapat kepastian hukum, Yos juga mewanti-wanti agar masalah agraria menyambut Labuan Bajo sebagai destinasi wisata Super Premium bebas dari konflik horisontal dan vertikal terkait lahan.
“Saya minta publik NTT juga turut mengikuti kasus ini, juga mendesak agar proses hukum tidak boleh ditekan oleh banyak kepentingan,” kata dia dalam diskusi beberapa hari lalu di Kupang.
Tak hanya Yos, pengamat sosial politik asal Undana Kupang, Lasarus Jehamat juga punya kekwatiran lain.
Mencermati kasus Jonas, Lasarus menilai, hukum masih belum pro rakyat kecil. Berikut, kalau terjadi pembangkangan sosial berkaitan dengan tanah, negara tidak boleh ribut.
Soal informasi adanya dugaam tekanan dari pusat karena kasus di Kerangan menyeret nama orang penting di lingkaran Istana, Lasarus tidak ingin menduga-duga tetapi menurut dia, jika logika publik bekerja, maka akan mudah menebak fakta di balik perkara dua kasus ini.
“Saya tidak mau menduga-duga. Logikanya amat sederhana. Apakah karena atau atas otoritas tertentu, dibolehkan membagikan tanah negara kepada individu tertentu? Logikanya jelas bisa dimengerti oleh manusia dungu sekali pun,” ujar Dosen Ilmu Sosiologi Undana itu singkat.
Sementara Yos Nggorang menutup diskusi dengan mengatakan bahwa pada kasus di Kerangan, banyak profesi sedang diuji. “Selain JPU dan Hakim di Tipikor Kupang, para Pengacara dan Jurnalis ikut diuji dalam kasus ini,” tutup Yos.
Penulis: Ronis Natom
Editor: Boni J