*Oleh: Stefan Bandar
Leony, adalah sebuah nama dari seseorang yang pernah mengajariku tentang arti cinta. Dia adalah orang yang membutku mengerti tentang makna rindu dan memahami arti sebuah perjuangan. Dia mengajariku banyak hal, lebih banyak dari rindu yang aku punya untuknya. Dialah yang membuat aku memahami bahwa tidak semua hal yang aku butuhkan dapat kumiliki.
Ketika aku mengingatnya, terkadang aku meyesal pernah dipertemukan dengannya. Aku tidak membenci dirinya. Yang aku benci adalah kesempatan yang membuat aku bertemu dirinya. Yang aku benci adalah diriku yang tiba-tiba saja mencintainya dengan hebat. Yang aku benci adalah ketidakmampuanku mengendalikan perasaan saat itu.
Setelah kami berkenalan sangat dekat, aku merasa lebih baik. Aku lebih semangat mengerjakan beberapa hal khususnya menjelang minggu terakhir dalam bulan. Pada minggu terakhir ini, biasanya keluarga atau kenalan mengunjungi kami di seminari. Di saat inilah dia selalu datang dan menenangkan rindu yang sungguh gaduh.
Dia selalu mengunjungi aku dan teman-temanku setelah kedekatan antara aku dan dia hari itu. Bukan mengunjungi teman-temanku, tetapi tepatnya mengunjungi aku. Bahkan dia datang sebagai orang pertama yang mengunjungi seminari mendahului pengunjung yang lainnya.
Hal yang paling lucu dari kisa ini adalah di mana kedekatan antara kami tidak diketahui pamannya, pastor Rudy yang adalah kepala sekolahku. Kami sengaja merahasiakan itu sebab jika hal itu diketahui maka akan terjadi sebuah kenyataan yang tidak diinginkan antara kami. Maka dari itu aku, Leony, dan juga teman-temanku merahasiakan hal ini.
Banyak hal yang dapat aku belajar darinya. Banyak pula hal yang aku terima darinya khususnya beberapa barang makanan yang diberikannya kepadaku saat minggu kunjungan. Namun terkadang ia juga mengirimku beberapa lembar surat saat ia tidak bisa mengunjungiku. Beberapa alasan yang menghalanginya biasanya juga ditulisnya dalam lembaran awal suratnya.
Kisah ini teramat panjang jika aku menulis semuanya dari awal hingga hari terakhir kami bertemu. Aku hanya mencatatnya di sini menjadi satatan kecil dari kisah kami yang panjang. Mungkin dia lebih mengingat dengan jelas dari apa yang kutulis di sini. Namun yang kutulis ini adalah saat-saat di mana aku memahami tentang arti rindu dan tentang mengikhlaskan.
###
Minggu pagi, hari yang cukup cerah. Tidak seperti hari-hari sebelumnya yang selalu hujan. Pagi itu langit cukup cerah. Hanya beberapa gumpalan awan yang masih betah di langit biru. Namun beberapa saat kemudian awan-awan itu menghilang.
Seperti biasa, setelah menyelesaikan perayaan ekaristi kami menuju ruang makan. Hanya beberapa orang temanku yang harus mengembalikan peralatan-peralatan ekaristi yang telah digunakan ke tempatnya semula. Beberapa orang lainnya berjalan menuju kamar makan yang letaknya tidak jauh dari kapela.
Pagi itu kami menikmati sarapan dengan suasana gembira. Apalagi setelah kami mendengar pengumuman bahwa kami akan melepas penat di pantai hingga sore hari. Hal ini tentu saja menggembirakan mengingat sebagian dari kami berasal dari daerah pegunungan. Salah satunya adalah saya. Mendengar kata pantai bagi saya adalah suatu hal yang sangat menggembirakan.
Setelah sarapan pagi, kami siap-siap berangkat menuju pantai. Tiga mobil telah parkir di depan gerbang sembari menunggu kami. Aku menyiapkan beberapa perlengkapan seperti handuk dan satu pasang pakaian. Begitu juga dengan teman-temanku, mereka menyiapkan beberapa hal yang dibutuhkan.
Sebelum berangkat, pastor Rudy memanggilku dan mengajak aku ke ruangannya. Aku yang sudah berada di dalam mobil segera turun dan berjalan menuju ruangannya. Sepertinya ada suatu hal yang penting, gumanku. Benar saja. Ia memintaku menunggu keluarganya yang akan datang mengunjungnya.
Satu jam berlalu setelah keberangkatan teman-temanku menuju pantai. Aku masih duduk sembari memerhatikan beberapa gambar yang terpampang pada dinding ruang itu. Tiba-tiba sebuah mobil avansa berwarna hitam muncul dan berhenti di tempat parkiran. Dari dalam mobil turun beberapa orang, salah satunya adalah Leony.
Mereka menyapaku dan segera mengatakan maksud kedatangan mereka. Aku segera berlari menuju ruangan pastor Rudy dan memanggilnya. Setelah itu aku kembali dan langsung menuju ruang tamu tempat Leony dan keluarganya menunggu kedatangan pastor Rudy. Untuk beberapa saat aku berbincang dengan mereka dan juga memperkenalkan diri kepada mereka sebelum akhirnya pastor Rudy datang.
Pembicaraan antara kami di ruangan itu berlalu begitu saja. Tapi entah mengapa mataku kadang tertuju pada Leony, gadis cantik dan anggun. Di ruangan itulah pertama kali aku berjumpa dengannya. Di ruangan itu, beberapa kali kami bertemu pandang. Dan ketika hal itu terjadi, ia menunduk sembari tersenyum.
Beberapa saat setela itu, ia meminta izin dari pastor Rudy untuk sekedar jalan-jalan di sekitar halaman seminari sembari melihat-lihat bunga yang tumbuh dengan subur. Memang, taman seminari sengaja kami tanam dengan berbagai bunga agar rumah kami yang sudah cukup tua itu tetap terlihat indah.
“Sudah kelas berapa, kak?” tanyanya membuka pembicaraan antara kami. “Kelas dua SMA,” jawabku singkat. “Kalau kamu?“ tanyaku lagi. “Baru kelas satu SMA kak,” jawabnya singkat.
“Oh. Maaf, kalau boleh tahu nama adik siapa?” tanyaku dengan sedikit sopan. “Oh iya, saya lupa memperkenalkan diri saya. Nama saya Leony, kak. Nama kakak Randy kan?” tanyanya lagi. Ah, Leony ternyata namanya, gumanku dalam hati. “Kog Leony tahu?” tanyaku lagi. “Tadi kan kakak memperkenalkan diri dengan kami,” jawabnya pelan sambil tersenyum. Aduh, aku lupa. Batinku sembari mengajaknya melihat beberapa bagian lingkungan seminari.
“Baru pertama kali datang ke sini?” tanyaku memecahkan keheningan beberapa yang menguasai kami beberapa saat yang lalu. “Iya kak, baru pertama kali. Saya bisa minta nomor HP kaka?” Akh, inilah permintaan yang tidak pernah aku inginkan. Bukannya aku tidak mau memberikannya atau takut dikerjain. Tetapi sebenarnya aku tidak ingin memiliki HP dan aku sudah berkomitmen untuk tidak menggunakannya hingga tamat SMA nanti.
“Maaf, aku tidak memiliki HP,” jawabku pelan dengan penuh rasa malu. “Ka Randy tidak pegang HP? Kenapa kak?” tanyanya penasaran. Rupanya Leony cukup kaget dengan jwabanku. “Aku tidak ingin menggunakannya,” jawabku singkat. “Sebagai kenangan pertemuan ini, bagaimana kalau kita foto bersama kak?” katanya lagi. “Baiklah, tuan puteri,” jawabku singkat.
###
Setelah hari pertemuan itu, hubungan kami semakin dekat. Ia menuliskan beberapa surat untukku. Surat itu berisikan pengalamannya bersama teman-temannya dan kejadian-kejadian yang menurutnya aneh. Ia menceritkan bagaimana ia harus dihukum karena terlambat masuk halaman sekolah, bagaimana ibunya marrah karena ia bangun terlambat, dan banyak laigi hal lainnya. Terkadang aku tersenyum sendiri ketika membaca isi suratnya.
Aku juga membalas surat-suratnya dengan menceritakan pengalamanku bersama teman-teman. Aku menceriterakan kesibukanku mengerjakan tugas-tugas sekolah, mempersiapkan diri mengikuti beberapa perlombaan di kota provinsi, dan juga membagikan tulisan-tulisanku yang termuat di beberapa media sosial.
Entah mengapa, tulisan-tulisan di dalam surat itu berubah menjadi tulisan tentang rindu-rindu yang kami punya. Isi surat itu berubah menjadi cerita-cerita tentang waktu yang kadang tidak adil, yang membuat kami harus menanggung rindu dalam penantian. Tulisan-tulisan itu berubah menjadi syair-syair pujian atas kesempatan yang mempertemukan kami.
Namun semuanya itu berakhir ketika aku mengutarakan niatku terhadap masa depanku. Sejak hari aku, saat mengatakan bahwa aku akan masuk dalam biara, ia menghilang begitu saja bagaikan ditelan bumi. Ia tidak membalas surat-suartku lagi. Ia pergi tanpa pamit dan juga tanpa kata selamat tinggal.
Sejak kepergiannya hari itu, aku merindukannya berkali-kali dan dengan sungguh. Aku berusaha untuk menemukannya tetapi hal itu sia-sia saja. Aku tidak dapat menemukannya. Mungkin alam tidak merestui petemuan ini, gumanku. Atau memang aku hanya ditakdirkan untuk bertemu dengannya bukan untuk memilikinya. Sejak hari itu aku berdoa untuknya berkali-kali.
Penulis adalah Mahasiswa STFK Ledalero