*Cerpen
Oleh: Aken Ruing
“Angin menderu jauh menerbangkan butir bening di kelopak, menyisakan keping – keping tangis yang mengerak. “Jangan tangisi diriku, tangisi dirimu dan anakmu!” Belum selesai, Ibu. Belum selesai.”
Sebelum dijemput maut sisa cahaya di matanya bertukar pandang wajah ibu memanggil pulang “belum selesai, Ibu. Belum selesai perjalanan cintaku belum berakhir sapai di sini. Karena berjalan adalah kehilangan arah dan tujuan, aku lebih memilih menutup mata pada palang penghinaan demi cinta. Kucoba memotret Maria yang sedang berjalan menyaksikan betapa indahnya cinta yang sedang aku perjuang sendirian sambil memikul salib sebagai tanda pengorbanan cintaku. Dari balik kerumunan orang – orang Maria menangis sendirian dari sudut tembok paling sempit agar akut tak bisa melihatnya meneteskan air. Takut ia melihat dan tangisnya terhenti. Siapa tahu ia malu ada orang yang sedang memata – matainya. Kepalanya tertunduk. Tangan kirinya mengusap – usap kedua pipinya yang dibasahi air mata yang sejak sepanjang perjalananku penuh penyiksaan dalam deraan ke bukit Golgota. Ia tampak lesu betapa tidak. Ia sendiri menyaksikan betapa aku disiksa tanpa sebab. Seakan kesedihan mencekam dirinya, dan ia berpikir dalam hatinya “ Nak,,, bagaimana ibu tidak sedih menyaksikan sendiri perjalanan cintamu apakah tidak acara yang lain selain perjuangan salibmu?”
Nak,, ibu merasa sedih engkau tinggalkan ibu sendirian lalu kau pergi dengan damai tanpa rasa duka. Tidak, bukan tanpa luka jiwa aku coba menahan jantungku yang perih terkena sobekan pedang. Ramalanmu benar ibu Simon dalam sinagoga itu berkata pada ibu sendiri bahwa “sesungguhnya, sebila pedang tajam akan merobek jantungku!” itulah sebabnya aku memikul salib cinta ini ibu sehingga engkau juga ikut merasakan betapa sakitnya cinta ini sehingga membuatmu menangis sepanjang perjalanan menuju Golgota. Ibu suaramu itu sayup. Yosep milik sepi, air mata jangan sampai jatuh ke pipi. Wangi duka tertiup angin ke ranjang yang merawat bilur riwayat masa kecil yang hilang ke dapur bertabur adonan roti ragi yang belum sempat aku makan. Kesumbuh lilin yang padam menggigil merindu api ke ukiran kayu beranda yang aku perjuangkan menuju Golgota sebagai bukti pengorbanan cintaku. Jubah hasil tenunmu tanpa jahitan itu tak mampu aku jaga sehingga dirobek – robek dan entah tali kasut yang terlepas entah ke mana pun aku tak tahu sehingga aku berdiri dengan keadaan begini. Maafkan aku ibu dan maaf mereka semua juga yang telah berjalan bersamaku ke lubuk hati yang sederhana aku mencintaimu ibu yang selalu membacakanku puisi sebelum tidur.
Maria menunggu kabar dari angin, seperti kemarin namun tak ada selain pekat pintu malam bagai noda dosa. Maria ingat kaki masa kecil putranya yang lincah bersembunyi di keliling sinagoga, ditembusi duri, terantuk batu dan kuat berlangkah pulang sebelum pulang. Namun apalah daya cinta itu tiba – tiba hilang dipaksa tentara memasuki rumah mengambil putraku dan menyarahkan pada negara pada paku dan tombak yang tertawa mengejek luka di telapak dan lambung.
Nak,,, sebab mencintai harus sampai hilang diri dan merindukan satu pertemuan cukup dengan bersetia berdoa untuk kebaikan. Kuasa yang lebih besar diberikan supaya kau lebih bisa kuat walau terpaksa meminum air cuka itu. Seperti kisah kepulangan sepotong gigi yang diletakan pada takhta tinggi sebuah negeri. Bukan cinta jika ia menyesatkan, cinta dan pengorbananmu jauh lebih mulia cinta yang selalu membebaskan, berkali – kali ada yang mati, engkau akan selalu membangkitkan. Tapi bukankah mati semata – mata badan?
“Yang hidup dengan pedang, akan mati oleh pedang.”
Sementara hari – hari berjalan pelan bagai duka yang berumah di hatinya. Di pintu tidurnya sabda mengetuk – ngetuk: “Ibu berjaga – jagalah dan selalu kuatkan hatimu jangan tangisi diriku aku tak ingin engkau meneteskan air mata ke pipi. Aku pergi dan akan kembali.”
Derita yang telah kulewatkan di dalam dinding – dinding kota ini, dan panjang pula malam – malam kesendirian lalu siapakah yang dapat memahami aku dari derita dan kesendirian tanpa sesalan? Tak seorang pun Nak, dan begitu banyak kerinduanku untuk bertemumu sebab aku tak bisa menarik diri dari mereka yang menyiksamu tanpa beban dan rindu dan aku tidak tahu di mana engkau diletakan sekarang. Bukankah sehelai kain putih yang engkau tinggalkan hari itu, tetapi sersepih kulit yang tercabik dengan tangan orang – orang yang membencimu. Juga bukan sebentuk gagasan yang kau tinggalkan di belakangku, tetapi sebuah hati yang dipermanis oleh rasa lapar dan dahaga nafsu.
Nak! Ibu tak bisa tinggal diam menahan tangis ini semenjak aku menyaksikan engkau pergi bersama cintamu, aku hanya mempunyai air mata. Sebab barangkali sesungguhnya engkau semacam laut yang mengimbau segala – galanya tampah tak pernah merasa diri kotor. Derita yang ingin ibu bawa bersamamu semuanya ada di sini. Tetapi bagaimana kubisa? Seucap suara tak bisa membawa lidah dan bibir yang memberinya senyap.
Sudah tiga jam dalam kegelapan. Ada semacam kehangatan yang mengairahkan rasa di tubuhku. Ibu, memang perempuan cantik yang hebat. Setiap pagi dia selalu terjaga melebihi subuh. Saat daun-daun masih merunduk diam dia sudah lebih awal menyapa sepi. Ketika kabut pagi masih terlalu tebal menggenggam padang gurun ia sudah bersiap diri mengusir jenuh. Dan aku tahu sejak dulu setelah bangun ia tak pernah lupa menyapa Sang Ada sebagai pemilik hari di bilik tidurnya. Lalu sejenak ia berdiri di depan cermin menatap wajahnya yang pelan-pelan memudar tersangkut umur dari waktu ke waktu. Dengan penuh semangat dan kepastian ia mengayunkan kakinya ke kuburku menyaksikan apakah aku baik – baik saja. Itulah rutinitas yang tak pernah tergantikan sejak ia menjadi ibu bagi kami semua. Barangkali ada banyak ibu terbaik di dunia, dan ibuku termasuk salah satu yang terbaik di antara mereka. Dia tetap yang terbaik di dunia ini, selamanya!
Subuh terlalu dini setengah gelas kopi manis buatan ibu kuteguk. Manisnya terlalu manis. Seperti orangnya. Hehehe. Dan aroma kopi ini pelan-pelan mulai membangunkan ragaku yang sempat dicuri oleh pulasnya malam. Maria, ibuku masih hilir-mudir menjemput fajar yang sebentar lagi tiba. Ibu memang punya cinta yang tak pernah tersesat oleh liku-liku kehidupan. Kasihnya hangat dan menjulang. Benar jika berkata-kata tentang ibu sama halnya kita berkata-kata tentang cinta dan pengorbanan. Seorang ibu akan terus menyanyangi anaknya, walaupun anaknya telah tumbuh dewasa dan menua, tetapi seorang anak yang telah tumbuh dewasa dan berkeluarga belum tentu sanggup merawat ibunya yang sudah menua dan tak berdaya.
Dalam diam aku mengucapkan kata-kata ini. Belum selesai, Ibu, aku bangga mempunyai ibu seperti dirimu. Engkau adalah cinta yang hidup dan abadi selamanya. Saya mau pesan kepadamu ibu kamu yang sedang meneguk tulisan ini. Ingat! Jangan biarkan ibumu terluka dan menangis meski setetes karena ulahmu, sebab dia ibumu sudah terlalu banyak menahan sakit dan menghabiskan banyak hal untuk hidupmu. Selagi ibumu masih hidup buatlah dia bahagia, buatlah dia bangga, buatlah dia tersenyum, buatlah dia tertawa karena ibu adalah pintu masuk surga untuk kita semua. Surga sungguh ada di telapak kakimu ibu.
Ibu keputusan itulah yang membuat cinta tetap hidup, dan jika kita percaya pada suatu kehidupan abadi, maka cinta yang kita putuskan diberikan adalah cinta yang berlangsung selamanya, meskipun dalam cinta ada hal yang bertentangan.
“Hari ini juga engkau akan bersama aku dalam Firdaus.”
Profil Penulis:
Yoakim Lango Ruing lahir di Lerahinga – Lembata NTT pada 26 Juli 1996. Aken Ruing adalah nama pena, dikenal sebagai seorang yang puitis. Menulis menjadi cita-citanya karena dengan menulis, Yoakim Lango Ruing bisa lepas dari penderitaannya.