Ketua Aliansi Rakyat Anti Korupsi (Araksi) NTT, Alfred Baun menilai keputusan majelis Hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Kupang, Ari Prabowo, Ngguli Liwar Awang dan Ibnu Kholiq yang membebaskan Jonas Salean syarat dengan intervensi pihak luar.
Sebelumnya, diberitakan VoxNtt.com, Kepala Pengadilan Negeri Maumere, Kabupaten Sikka, NTT, Johnicol Richard Frans Sine disebutkan mendapatkan 400 m2 dari tanah yang merupakan aset pemerintah Kota Kupang yang dibagi Jonas Salean semasa menjabat Wali Kota Kupang.
Sumber VoxNtt.com menyebutkan, Johnicol diduga mendapatkan pembagian tanah karena istrinya merupakan anak angkat Jonas Salean, terdakwa dalam kasus yang telah diputus bebas pada Rabu, 17 Maret 2021.
Selain itu, Johnicol juga disebut sebagai teman kuliah Ngguli Liwar Lawang, salah satu hakim yang memutuskan kasus Jonas Salean.
Beberapa hal itu, menurut Ketua Araksi, Alfred Baun sebagai dasar dalam menduga adanya intervensi pihak luar dalam memutuskan kasus yang mendakwakan Ketua DPD II Golkar Kota Kupang itu.
Menurut Alfred, keputusan para hakim itu sangat jauh dari komitmen pemberantasan korupsi dan memberi ruang munculnya kasus-kasus serupa bagi para Wali Kota dan Bupati di Nusa Tenggara Timur.
“Dan kalau ada 10 orang hakim seperti ini pa, Oo lama-lama NTT ini bisa jual buang ne ma. Kita begini,” ujar Alfred dengan nada kecewa.
Merespon hal itu, Alfred Baun menegaskan, pihaknya telah menyiapkan surat ke Mahkamah Agung. Inti dari surat itu ialah meminta mengevaluasi total dan memindahkan ketiga hakim itu dari NTT. Sebab, keberadaan para hakim itu telah menjadi preseden buruk serta melemahkan komitmen pemberantasan korupsi di NTT.
“Kita minta Mahkamah Agung. Selain daripada ada kasasi kasus ini, tetapi juga mengevaluasi total terhadap tiga hakim yang menangani kasus ini. Termasuk oknum hakim yang diduga (mendapat tanah) ini,” ujar Alfred Baun.
Ia juga meminta sebagai penegak huku, oknum hakim yang mendapatkan tanah itu harus menjelaskan ke publik, alasan mengapa dia bisa mendapatkan tanah tersebut.
“Mestinya beliau menjelaskan, beliau sebagai penegak hukum. Beliau juga mendapatkan pembagian tanah. Dia juga mesti menjelaskan,” pinta Alfred.
Gratifikasi
Jika dilihat dari daftar nama para penerima tanah tersebut, menurut Alfred berpotensi gratifikasi. “Nah, ini memang saya lihat, ini berpotensi gratifikasi. Yonas Salean dengan kapasitasnya yang kemudian dia mengurut penerima-penerima tanah ini, arahnya gratifikasi,” ujarnya.
Kuat keyakinan Alfred ini karena dari penerima terdapat oknum-oknum penyelenggara negara seperti pihak kepolisian di Polda NTT, oknum hakim yang juga mendapatkan pembagian tanah tersebut. Selain mereka, Alfred juga menyebut unsur politisi dan struktur pemerintah.
“Karena dari phak keamanan, mereka mendapatkan tanah. Kita lihat dari pihak kepolisian dari Polda dapat tanah, dari hakim dapat tanah, dari struktur pemerintahan dapat tanah, dari politisi dapat tanah. Dan sekneario ini adalah sekenario bagaimana gratifikasi untuk saling mengamankan. Dan bukti hari ini, putusan pengadilan hari ini ada dugaan, ada yang mengintervensi masuk. Hasilnya dapat diduga bahwa kasus gratifikasi itu menghasilkan putusan bebas,” tandas Alfred.
Komisi Yudisial Jangan Diam Saja
Atas berbagai dugaan ini, Alfred mempertanyakan keberadaan Penghubung Komisi Yudisial NTT yang mestinya harus peka terhadap indikasi-indikasi kecurangan dalam keputusan yang diambil majelis hakim.
“Itulah kita juga pertanyakan. Kehadiran Komisi Yudisial di NTT ini, dia fungsinya apa? Sebenarnya peran dia itu untuk melakukan evaluasi, memantau jalannya persidangan ini agar memiliki kesimpulan terhadap persidangan ini.
“Nah sampai dengan sekarang ini, dengan adanya ributnya publik atas keputusan yang kontroversial ini, Komisi Yudisial ini tidak pernah berbicara. Komisi Yudisial ini, dengan kewenangannya, dengan tupoksinya itu harus melaksanakan tugasnya untuk melihat ini agar jangan membiarkan opini publik ini berjalan liar,” pinta Alfred.
Dia juga menegaskan, Komisi Yudisial sebagai lembaga yang oleh negara mestinya melakukan penelusuran terhadap keputusan ini. Tetapi kata dia, KY NTT hari ini justru terkesan melipat tangan.
“Ya kita minta kepada komisi yudisial untuk memberikan perhatian penuh. Untuk mengevaluasi proses ini. Mereka juga harus menjelaskan dari tupoksi mereka, sejauh mana mereka mengamati keputusan ini. Jangan publik sementara debat habis-habisan, komisi yudisial juga memilih lipat tangan dan diam saja,” tandasnya.
Merespon pernyataan Ketua Araksi NTT, Alfred Baun, Ketua Penghubung Komisi Yudisial (KY) NTT, Hendrikus Lamarian menjelaskan, hakim dalam memutus sebuah perkara, entah vonis bebas atau tidak tentu didasari oleh alat bukti yang diajukan, fakta persidangan dan keyakinan hakim itu sendiri.
“Asas hukumnya jelas, siapa yang mendalilkan, maka ia harus membuktikan dalilnya. Dari situ hakim menilai dengan keyakinannya. Beban pembuktian dalam perkara pidana ada pada JP. Jika dalam putusan ada pihak yang tidak puas, maka silakan menempuh upaya hukum ke jenjang banding maupun kasasi. KUHAP sudah mengatur secara detail mekanismenya,” jelas Hendrikus.
Terkait Disenting opinion, Lamarian mengatakan, itu biasa dan lumrah dalam sebuah putusan. Disenting opinion menurut dia bagus karena menggambarkan Independensi dan obyektifitas hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
“Dalam UU No.48 Tahun 2009 Psl 14 Tentang Kekuasaan Kehakiman jelas mengatur itu. Disenting Opinion harus dimuat secara tertulis di dalam putusan di bagian pertimbangan, tetapi yang mengikat para pihak (JPU/ Terdakwa) itu bukan pertimbangan hukum, tetapi hasil musyawarah hakim yang dimuat dalam amar putusan,” tegasnya.
Ia juga mengaku, mengikuti kasus ini dari awal. Namun tegas dia, siapa pun tak dapat mengintervensi keputusan hakim termasuk KY.
“Kami juga mengikuti perkara ini. Tetapi KY atau siapapun tidak bisa mengintervensi Hakim dalam memeriksa dan memutus Perkara. Hakim bebas dan merdeka dalam memeriksa dan memutus perkara,” sambungnya.
Mengenai informasi oknum hakim yang juga Ketua Pengadilan Negeri Maumere, Johnicol Richard Frans Sine menerima jatah tanah di Kelapa Lima Kota Kupang juga mempunyai kedekatan dengan salah satu hakim yang memutuskan kasus Jonas Salean, sehingga berpotensi mengintervensi keputusan hakim, Hendrikus mengatakan silakan masyarakat melaporkannya ke KY.
“Kalau punya bukti yang valid silakan lapor. Kami akan memproses sesuai ketentuan yang berlaku. Saya tidak tahu itu. Kalau mereka menyebut, maka tolong tanyakan ke mereka dimana dan siapa nama orangnya. Kami mengapresiasi masyarakat baik secara individu maupun forum yang peduli terhadap peradilan bersih. Karena untuk mewujudkan peradilan bersih, itu tugas bersama,” tutupnya.
Penulis: Ronis Natom
Editor: Boni J