*Cerpen
Oleh: Odhan Loni
Awalnya tak pernah terlintas dalam benakku tentang indahnya hidup sebagai seminaris. Hanya saja, ada suatu hal menarik yang masih tersimpan baik dalam ingatanku hingga saat ini.
Ketika aku masih kecil, aku sungguh merasa tertarik dengan penampilan seorang imam yang berdiri dengan wibawa di belakang altar, khususnya pakaian yang dikenakannya agak unik menurutku. Aku begitu simpati dengan pakaian seunik itu, sehingga serta merta muncullah hasrat yang begitu kuat dari dalam diriku untuk mengikuti jalan hidup serupa. Menurut ibuku, semua bisa tercapai kalau saya mengenyam pendidikan di seminari. Aneh memang kalau kukenang pengalaman sederhana ini, hanya tertarik dengan penampilan fisik tanpa ada alasan lain. Yah….namanya juga anak kecil. Tetapi itulah suatu pratanda awal yang baik dalam hidupku. Aneh, tapi kiranya bermenfaat bagi masa depanku.
Aku teringat ketika aku mengutarakan niatku untuk masuk seminari, berbagai komentar mampir di telingaku. Ada yang mendukung (terutama kedua orangtuaku) tetapi ada juga yang pesimis terhadap niatku. Bahkan ada teman yang meremehkanku. Katanya lebih mudah seekor unta masuk ke dalam lubang jarum dari pada orang berkeperibadian sepertiku masuk seminari. Aku sedikit kehilangan rasa percaya diri lantaran diramalkan demikian. Timbul rasa cemas yang besar, jangan-jangan apa yang diramalkan nantinya itu menjadi kenyataan.
Sebelumnya memang saya pernah membaca bahwa sesama merupakan cermin bagi diri kita. Jadi cermin tidak pernah memanipulasi suatu kenyataan. Cermin menampilkan apa adanya. Rasa cemas terus saja merasuki perasaan dan pikiranku. Aku coba membunuh kecemasan yang kian “menggila” dengan membandingkan keperibadiankku dengan seorang kaka kelas yang kini menjadi orang yang terpercaya diri di seminari. Padahal dulu ia begitu pendiam dan pemalu. Aku cukup heran bercampur kagum atas perubahan drastis yang dialaminya. Dengan perbandingan sederhana ini saja perasaan cemasku berangsur menghilang. Spontan terlintas dalam benakku filsafat hidup St. Agustinus. Kalau mereka bisa mengapa saya tidak? Sungguh suatu motto yang mampu mengusir kecemasan yang semula tak bertepi. Kubulatkan tekadku tanpa menghiraukan komentar buruk yang masuk “apapun yang terjadi saya harus masuk biara”.
Di luar dugaanku, aku ternyata diterima untuk mengenyam pendidikan di seminari. Impian yang sempat mengundang pertanyaan yang bukan-bukan tentang keperibadianku. Suatu impian membuat aku diibaratkan dengan seekor binatang padang pasir, unta. Senang rasanya ketika aku mulai menggambungkan diri dalam pembinaan di seminari. Walau awalnya terlampau berat bagiku untuk mengakrabi irama kehidupan seminari. Namun, seiiring dengan gulirnya sang waktu, aku akhirnya mampu beradaptasi dengan situasi yang berkesan membosankan itu.
Pada mulanya aku hanya memiliki pengetahuan yang sangat dangkal tentang seminari. Dalam benakku, seminari hanyalah hidup untuk berdoa terus tetapi bukan hanya itu saja. Selain berdoa, bekerja dan belajar untuk menambah pengetahuan. Tetapi segala pandangan awalku itu pupus seketika, takkala aku merasakan secara langsung kehidupan sebagai seminaris. Hidup seminaris ternyata tidak serumit yng dibayangkan, bahkan ternyata mengasyikkan juga. Di seminarilah aku dibimbing, dididik menjadi manusia yang benar-benar manusia dan dilatih untuk berpenampilan lokal, tetapi berpikir global. Seminsris bagiku adalah jalan yang harus dilalui untuk mengikuti jejak Kristus. Di seminari saya belajar melayani, belajar mencintai semua orang tanpa memandang status. Sebab untuk tujuan seperti itulah kelak kami mengabdi.
Beraneka pengalaman yang dialami dalam keberlangsungan hidup bersama. Antara suka dan duka, antara kesedihan dan kecerian, antara keberhasilan dan kegagalan, semuanya berbaur mewarnai kehidupan di seminari dari hari ke hari. Terkadang aku kaget menghadapi berbagai kenyataan hidup yang sedikit aneh. Begitu banyak teman seperjuangan yang harus angkat “kaki”. Ibarat panas setahun dihapus hujan sehari, perjuangan yang telah dilakukan bertahun-tahun harus hancur seketika hanya karena alasan ketidakdispilinan, acuh tak acuh terhadap aturan yang diberlakukan dan sederetan alasan lain yang katanya tidak etis dilakukan seorang seminaris.
Ketika aku merenungkan kembali komentar lepas bernada kelakar dari teman yang dulu pernah meremehkanku “kawan syukurlah ramalanku dulu itu tidak terjadi. Aku senang sebab posisi yang kamu tempati saat ini adalah posisi basah. Tapi ingat kawan tempat yang basah itu licin, karena itu berhati-hatilah kalau berjalan di tempat licin jangan sampai kamu tergelincir dan jatuh”. Tak pernah kusangka butir-butir mutiara berharga itu ada tanda-tanda keyakinan terhadap profesiku, walaupun saya perolehannya dari tatapan mata saja di situlah baru aku rasakan betapa seminaris menjadi sosok yang disegani, dihormati, dan dianggap serba bisa.
Nasihat yang diberikan temanku kala itu, sampai saat ini sepertinya masih terus terekam di telingaku. Mungkin sampai kapan dan di mana pun saya tidak akan pernah melupakan mutiara berharga nan indah yang telah ia berikan itu. Sebab mungkin saja ia hanyalah alat yang dipakai Allah untuk menyampaikan nasihatnya kepadaku. Terima kasih teman engkau telah mengingatkan saya untuk senantiasa mengikuti rambu-rambu kehidupan yang saya harus perjuangkan dalam perjalanku mengikuti Bapa.
Sekarang saya masih lanjutkan perjuangan panggilanku dengan bermodal kepercayaan kepada dia yang memanggil, disertai beribu nasihat yang telah kurekam dari berbagai mulut yang menaruh perhatian terhadap panggilanku. Saya telah dipanggil untuk mengikuti jalannya untuk melayani semua orang yang merupakan misi panggilanku. Saya tidak tahu apakah kelak saya dipilihnya, saya tidak tahu apakah kelak ia mengizinkan saya berdiri di balik di altar-Nya mengenakan pakaian yang unik seperti angan-angan masa kecilku. Semuanya hanya menjadi misteri tak terpecahkan bagiku. Sebab hanya Allah sendirilah yang maha tahu. Saya hanya berharap sembari berjuang dan terus berjuang, meskipun banyak cobaan.
Penulis eks frater. Mahasiswa STFK Ledalero