*Oleh: Nando Sengkang
Sebagai perantau yang mengembara jauh di daerah seberang, melihat realita di NTT membuat hati saya tergores risau. Pikiran mulai terbang dan mengelana, tidak pernah tenang, membuat tidur tidak pernah nyenyak, hingga bermuara pada dua kata yang mengheningkan cipta: rindu dan duka. Yang pertama adalah rindu akan keluarga di NTT, akan keadaan mereka yang tragis, dan ucapan damai paskah yang tiba-tiba terhenti. Dan Yang kedua adalah duka yang sungguh mendalam akan beberapa korban, jiwa-jiwa yang malang dan tanpa salah. Di balik semua rindu dan duka yang menyelimuti kita semua, ada sebuah teka-teki yang tidak akan habis terjawab: Mengapa semua ini terjadi?
Kita semua berduka atas apa yang terjadi di NTT. Sebelum kejadian tragis ini, kita berduka atas kematian Yesus, Sang Juruselamat Dunia. Duka sebenarnya terhapus kala fajar Paskah merekah. Tangisan kita akan kematian Yesus, Sang Mesias, pada Jumat Agung seolah-olah sirna saat Paskah. Ia telah menghapus air mata kita dengan kebangkitan mulia dan kemenangan atas maut. Dosa-dosa kita telah Ia tebus. Semua itu—sebagaimana dikatakan oleh Thomas Aquinas (1225-1274), seorang teolog abad pertengahan—adalah tanda kasih-Nya yang terus mengalir tanpa berhenti, bagi kita semua, makhluk ciptaan yang mungil dan lucu. Kematian di kayu salib bukalah kultus penderitaan, melainkan misteri kasih sejati.
Akan tetapi, kebahagiaan Paskah hanya sebentar. Alam yang memberontak membawa malapetaka berupa hujan, angin, banjir, tanah longsor, hingga duka dalam wujud kematian para korban. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melalui halaman resmi versi daring, mengatakan bahwa cuaca ekstrem yang melanda NTT adalah dampak dari bibit siklon tropis 99S sejak tanggal 02 April 2021. Keberadaan bibit siklon tropis 99S tersebut menimbulkan terjadinya cuaca ekstrem yang signifikan berupa hujan sangat lebat, angin kencang, gelombang laut tinggi, dan berdampak pada terjadinya bencana hidrometeorologi di beberapa wilayah di Nusa Tenggara Timur.
Beberapa simpatisan di akun media sosial (Facebook, WhatsApp, Instagram), membuat renungan singkat bahwa ini semua adalah tulah kecil yang dikirim Tuhan atas dosa-dosa kita. Seolah-olah dosa para kaum Farisi dan ahli-ahli Taurat yang telah menyalibkan Yesus di Bukit Tengkorak, menjadi tanggungan masyarakat NTT.
Sedangkan yang lain memberikan sedikit amanah dan penguatan bahwa bencana alam adalah cobaan Tuhan untuk masyarakat NTT yang terkenal beriman dan berintegritas. Ujian dari Tuhan ini hampir sama dengan perjalanan pulang bangsa Israel menuju Tanah Terjanji selama 40 tahun. Ketika mereka berbalik dan menjauhi Allah (berdosa), mereka akan mendapat tulah-tulah dan jiwa yang malang, sebaliknya kala mereka kembali kepada Allah (bertobat), Tuhan senantiasa menemani ziarah iman dan pengembaraan mereka.
Ironisnya, semua teka-teki hukum Tuhan dibalas dengan kebiasaan masyarakat NTT sendiri, yaitu semakin menderita—apapun masalahnya—mereka justru semakin mendekatkan diri pada Tuhan. Gema pray for NTT melambung di angkasa, bersama doa-doa, dan harapan semua insan agar Tuhan segera bertindak menghentikan angin ribut, sebagaimana mukjizat Yesus kepada para murid di danau Galilea.
Dalam situasi seperti ini, membawa-bawa Tuhan dalam sebuah perkara adalah kebebasan kita untuk bersuara dan berharap. Marah kepada Tuhan adalah bukti cinta dan harapan besar kita kepada-Nya agar Ia segera “turun” dan bertindak. Bertanya-tanya tentang kemahakuasaan Ilahi dalam situasi sulit ini (Teodise) adalah kebebasan rasio sejak ia mandiri berpikir. Namun, mengenai apakah bencana ini adalah bentuk hukuman atau ujian dari Tuhan tetap menjadi rahasia atau misteri Ilahi. Kita yang mencoba menjawab hanya berputar dalam lingkaran hipotesis dan kemungkinan-kemungkinan subjektif semata. Tuhan mempunyai rencana tersembunyi di balik ini semua.
Yang pasti adalah kita semua terus bergandeng tangan (tanpa putus) untuk menguatkan sesama saudara di NTT. Kita terus memberikan donasi-donasi, membagikan informasi kredibel, dan melawan setiap berita bohong yang menarik keuntungan dari peristiwa ini. Tak jarang begitu banyak orang yang memanfaatkan momentum ini demi popularitas dan keuntungan pribadi. Kita terus berdoa agar misteri Tuhan yang tersembunyi memberikan pelajaran dan makna berarti, bagi kita dalam ziarah hidup ke depannya.
Masyarakat NTT memang terkenal sangat religius dan toleran. Oleh karena itu, mengaitkan sesuatu dengan Tuhan bukan mengacaukan suasana, melainkan sebuah pegangan kecil nan kokoh dalam terpaan badai yang kian kencang. Tuhan menjadi sedikit senyuman yang terlintas di antara raut wajah yang kaku karena duka. Tuhan pulalah yang akan memberikan jawaban setelah peristiwa duka ini berlalu.
Selain itu, tidak terlepas dari pegangan dan harapan besar kepada Tuhan, kita juga harus rendah hati mendengarkan setiap pemberitaan terkini dari BMKG. Setiap ramalan-ramalan dan perkiraan cuaca hendaknya kita dengar dengan baik serta mematuhi dengan bijak. Pada 6 April 2021, BMKG telah memberikan peringatan dini, “Siaga potensi hujan sedang-lebat yang dapat disertai petir dan angin kencang berdurasi singkat pada pagi-siang hari di wilayah P. Timor, P. Sabu, dan P. Rote. Siaga potensi banjir dan tanah longsor di wilayah NTT. Siaga Potensi Angin Kencang di Wilayah NTT.” (bdk. https://www.bmkg.go.id/).
Imbauan dari pemerintah untuk tetap di rumah dengan tetap waspada, memperhatikan protokol kesehatan, dan bergotong royong, harap dipatuhi sebaik mungkin. Para sukarelawan juga diajak untuk melakukan semua pengorbanan dengan ketulusan hati ‘memberi tanpa menerima’. Akhir kata, saya mengucapkan turut berduka cita yang sungguh mendalam bagi semua keluarga korban dan segenap masyarakat NTT. Salam.
Skolastikat Sang Tunas CICM, Pondok Bambu
April 2021
Nando Sengkang: Alumni SMAK Setia Bakti Ruteng dan Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta