*Oleh: Yohanes A. Loni
Adonara menangis. Rasa tidak ada kata lain lagi yang lebih tepat untuk mematri memori duka atas tragedi banjir bandang Adonara, Flores 4 April 2021.
Kegembiraan dan kesedihan, gelak tawa dan air mata adalah dua fakta yang bersisian. Keduanya bisa bergerak kronologis, susul menyusul satu sesudah yang lain.
Namun betapa sering kedunya datang bareng, terjadi serentak, berimpitan: di saat tawa kita merekah, pada saat itu juga isak tangis kita pecah.
Ketaksanggupan untuk mengontrol dan mengelak, itulah keterbatasan; hakikat ciptaan. Hidup adalah sebuah keterlemparan yang diapit waktu. Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk mati. Memang, tak ada yang abadi di bawah matahari.
Apabila keterbatasan adalah hakikat makhluk, maka Sang Khalik pasti Yang Tak Terbatas. Hidup ada dalam kuasa-Nya, awal dan ahkir milik-Nya, Dia penyelenggara, Deus Providens.
Cara hidup, cara mnghadapi bencana alam dan menerima kematian apapun bentuknya, air mata, amarah, pemberontakan, kekecewaan, penolakan, rasa takut, diam, pasrah; semua merefleksikan keterbatasan makhluk di hadapan Sang Khalik.
Menuju Titik Balik
Kematian berwajah ganda. Dia adalah perpisahan yang mempertemukan, kepergian yang mempertemukan, kepergian orang yang memuat orang berdatangan, ahkir yang menematkan orang pada awal sebuah situasi baru.
Kematian memisahkan kita dari orang yang meninggal, namun serentak karena itu kita, para sahabat dan kerabat yang meninggal, dipertemukan. Yang mungkin sudah lama tidak saling melihat, malah tidak tertutur kata dan bertukar sapa sekian lama, datang melayat dan saling membagi rasa kehilangan.
Orang selalu mempunyai alasan untuk menjahuhkan diri dari pertemuan keluarga dan perkumpulan para sahabat, rasanya tidak begitu gampang menari-cari alasan untuk mengelakan diri dari perjumpaan saat kematian yang sangat dekat dengannya.
Kematian adalah ahkir dari sebuah kehidupan. Orang yang meninggal menghembuskan nafasnya terahkir dan biasanya para kerabat dan sahabat mempunyai kesempatan untuk memberikan penghormatan terahkir untuknya.
Sebagai ahkir, kematian sering menimbulkan ingatan dalam diri mereka yang ditinggalkan; ingatan akan pertemuan terahkir dengannya, akan saat-saat terahkir; akan pesan terahkir.
Namun, ahkir ini serentak merupakan sebuah permulaan baru. Kita yang ditinggalkan mesti hidup dalam satu kondisi baru yang ditinggalkan mesti hidup dalam satu kondisi baru tanpa dia dan mereka yang telah meninggal.
Betapapun hidupnya, ingatan akan mereka, model relasi yang terpelihara sejak kematian berubah. Hidup tanpa ayah dan /atau ibu, tanpa anak, tanpa suami atau istri, tanpa sahabat yang sangat dikasihi, tanpa saudara/i setelah kematian mereka adalah hidup yang berbeda. Kita harus belajar hidup baru lagi. Kematian mengahkiri serentak memulai sesuatu yang baru.
Wajah kematian yang ganda itu menimbulkan reaksi yang berbeda-beda. Ada yang merindukannya, tidak sedikit yang tidak peduli padanya, namun boleh jadi sebagaian besar manusia takut terhadapnya.
Yang merasa sudah kenyang dengan hidup dan telah merasa sudah cukup kenyang dengan hidup dan telah merasa cukup diombang-ambingkan ketidaktentuan arus hidup, mengimpikan kematian sebagai pembebasan.
Kematian, suatu kenyataan yang sama, namun ditanggapi secara beragam. Kenyataan itu disatu pihak menempati semua orang pada posisi yang sama.
Kita dapat menyelamatkan diri dari kematian. Yang tua maupun yang muda, kaya atau miskin, saleh atau pendosa berat, dicintai atau dibenci, semuanya membagi nasib yang sama: kematian.
Seperti dikatakan Heidegger, filsuf dari Jerman, sejak kelahiran setiap orang sudah cukup tua untuk mati. Kendati demikian, sikap kita terhadap kematian, orang lain ternyata sangat beragam.
Ada kematian yang diratapi seluruh negeri, malah sejumlah kematian menjadi perkabungan manusia sejagat. Ada juga kematian yang tak dipedulikan oleh siapa-siapa. Sebagian besar kematian meninggalkan kekosongan dan luka yang mendalam.
Reaksi kita terhadap kematian seseorang menggambarkan relasi kita dengannya selama hidup. Dalam saat kematian menjadi jelas siapa seseorang bagi orang lain.
Kematian menjadi kesempatan pewahyuan diri seseorang. Semakin mendalam relasi kita dengan seseorang, semakin membekas kematiannya dalam hidup kita.
Sebaliknya, semakin dangkal makna seseorang untuk kita, semakin tidak berarti kematiannya bagi kita. Demikian pula, kalau kita sangat bersandar dan bergantung pada seseorang, maka kematiannya kita alami sebagi sebuah bencana yang meninggalkan kita sebagai sebatang kara.
Sebaliknya kematian seseorang yang dijahui karenanya sikapnya yang tidak terpuji dan tindakannya yang jahat, akan menimbulkan kelegaan.
Kalau kita membiarkan kematian orang lain berbicara kepada kita, maka kematian tersebut sebenarnya membuat kita berpikir dan merenung mengenai kematian dan kehidupan kita sendiri.
Kematian menyentuh manusia, mengugah kesadaran dan menggetarkan perasaan, karena dia membawa setiap orang kepada sebuah pengalaman akan kerapuhan hidup, pengalaman memang bahwa saya ada namun saya semestinya ada.
Sebagaimana orang yang telah mati, saya pu bisa mati kapan saja atas cara mana saja.
Kalau kematian tidak tampik namun diterima sebagai bagian dari kenyataan kita sebagai ciptaan, maka berhadapan dengan kematian akan timbul dalam diri kita kesadaran bahwa kita yang hidup masih punya yang terbatas.
Karena waktu kita terbatas, kita terdorong untuk memulai sesuatu dengan hidup yang tersisa itu. Kesadaran ini mengantar kita untuk memulai sesuatau dengan hidup kita.
Kita sendiri, dan buka siapa-siapa yang lain, mesti membuat sesuatu dari diri kita. Kematian sepertinya menggulir bola kepada kita, supaya kita memulai bermain, melakukan sesuatu dengan bola itu.
Ada satu hal yang dapat diambil dari pengalaman akan relasi timbal balik antara kehidupan dan kematian ini: kesadaran, bahwa kualitas kehidupan akan ditentukan oleh kesadaran akan kematian.
Waktu hidup kita terbatas, kesempatan untuk berbuat baik tidak bisa selalu diperpanjang, saat untuk meminta maaf bukan tanpa ahkir, peluang untuk membalas jasa tidak selalu berulang.
Sebab itu, kita berusaha memanfaatkan waktu yang ada, sisa hidup kita dalam perjalanan menuju kematian, untuk berbuat baik, untuk meminta maaf, membalas kebaikan, membuat hati orang lain sedikit merasa lega.
Penyesalan yang sering muncul setelah kematian orang lain karena kita belum sempat berbuat baik kepadanya adalah sisi lain dari kesadaran akan waktu yang terbatas ini.
Karena hidup yang dibatasi oleh kematian, dan dari karena pembatasan ini dapat muncul dorongan untuk mengisi kehidupan, maka bukan mustahil orang-orang yang mengalami kematian dari orang yang sangat mereka kasihi merasa seakan ada dorongan dan panggilan untuk berbuat sesuatu dalam hidupnya.
Jalan untuk menangkap pesan kematian, untuk bangkit dari kubungan duka dan memulai lagi kehidupan tanpa orang yang dikasihi setelah kematiannya, bukanlah jalan yang mudahdan dileati setiap orang dalam irama yang sama. Masing-masing menempuh jalan tersebut, dan setiap memerlukan waktu berbeda dari yang lain.
Kisah kedua murid dari Emaus (Luk 24:13-35) adalah salah satu contoh dari pergumulan untuk menemukan titik balik dalam pengalaman kematian.
Yesus yang mereka kagumi, telah menjadi tumpuan harapan mereka selama tiga tahun, yang telah membangkitkan rasa percaya diri mereka dan menumbuhkan akan angan-angan akan sebuah kehidupan pribadi dan bersama yang lebih martabat sebagai mahkluk ciptaan Tuhan, ternyata mengalami kematian yang teragis.
Kematian di tiang gantung itu memang sangat gampang ditafsir sebagai hukuman dari Tuhan yang sedang murka.
Kalau memang Tuhan memang murka terhadap dia yang mereka anggap sebagi orang istimewa, yang sudah jadikan mereka pemimpin mereka, maka Tuhan pun sebenarnya murka pada mereka.
Kematian Yesus dialami sejumlah murud-Nya sebagai pukulan maut dari Tuhan untuk Yesus dan bagi para pengikut-Nya.
Mereka kehilangan pegangan, serentak merasa dihukum Tuhan. Di dalam kematian Yesus mereka pun sebenarnya menemukan kematian mereka sendiri.
Di dalam kondisi seperti ini, tidak ada yang lebih normal daripada menyembunyiak atau melarikan diri, tidak mau bertemu dengan orang lain, karena setiap pertemuan mengharuskan mereka menemukan kata-kata. Dan kata-kata dalam situasi pahit seperti ini adalah hal yang paling sulit untuk ditemukan.
Orang lebih suka menyendiri, namun, ada dua orang murid memilih melarikan diri. Pergi meninggalkan semua yang masih mengingatkan mereka akan Sang Guru. Mereka hendak menguburkan kenangan pahit itu dalam masa lalunya.
Mereka tidak mau diingatkan lagi akan pristiwa tragis itu. Mereka mau hidup, seoralh masa lalu tidak pernah ada, seolah tragedi bisa ditinggalkan seperti orang meninggalkan sebuah tempat untuk merapat ke tempat lain. Bisakah demikian?
Kedua murid Emaus itu mesti menyadari bahwa masa lalu yang tragis ternyata tidak dapat dipangkas sebagaimana orang memangkas ranting pohon.
Masa lalu telah menjadi bagian dari sejarah hidup mereka dan akan selalu menunjukan dirinya. Dia bagai bayang-bayang yang tepat menemani kendati tidak selalu dikehendaki.
Sebab itu, justru dalam pelarian ke Emaus Tuhan mendekati mereka dan secara berlahan mendekati mereka dan secara berlahan membuka hati dan pikiran mereka untuk melihat sesuatu yang lain dan dalam tragedi yang menimpa sang guru dan mereka sendiri.
Tuhan tidak berbuat lain selain memberanikan mereka untuk bercerita dengan melontarkan pertnyaan: “apa yang kamu perbincangkan selama perjalanan?” berbagai kisah adalah salah satu langkah awal yang penting menuju penyembuhan.
Setelah mendengar kisah mereka, Tuhan pun berbagi cerita. Dia menguraikan kepada mereka apa yang menjadi rencana-Nya sebagaimana tertulis dalam Kitab Suci, dalam alam dan sejarah pengalaman manusia.
Sebagai seorang guru yang penuh pengertian Dia membimbing mereka masuk ke dalam tragedi yang mereka alami dan membantu mereka untuk menerima kenyataan tersebut.
Dia membongkar pandangan mereka untuk melihat kematian Yesus sebagai kutukan. Yesus tidak dikutuk, dan mereka, para pengikut-Nya, bukanlah orang buangan.
Tuhan berkarya secara istimewah dalam diri Yesus yang dibunuh secara tragis, dan di dalam kematian Yesus yang tragis itu Tuhan menyatakan kedekatannya dan keberpihakan-Nya dengan semua orang yang mengalami tragedi dalam hidupnya.
Tuhan tidak mencapakan Yesus yang mati secara tragis itu, tetapi Dia mengasihi dan meneguhkan-Nya dalam penderitaan. Di dalam Yesus, Tuhan menunjukan diri sebagai Allah yang berada pada pihak orang-orang yang menderita.
Di Emaus kedua murid mengalami titik balik setelah menempuh proses yang panjang. Mereka tidak hanya diyakini bahwa Yesus hidup karena dibangkitkan Tuhan.
Mereka sendiri pun bangkit. Dengan kekuatan dan semangat baru mereka kembali ke Yerusalem, ke tempat yang mengingatkan mereka akan sang guru.
Di sana mereka dinafasi oleh Roh-Nya. Mereka, para murid, kini melihat dan mengalami kematian Yesus sebagai sebuah penugasan, dan mereka menerima penugasan tersebut untuk meneruskan warta mengenai kehidupan.
Adonara di Tengah Badai Banjir Bandang
Banjir bandang yang menelan banyak korban nyawa manusia, meninggalkan trauma yang mendalam pada sebagian warga Adonara.
Ini adalah kisah yang jujur tanpa rekayasa, cerita dari kedalaman hati dan perasaan hati. Kisah saudara/i yang mengalami pergulatan melewat maut selama berjam-jam di tengah banjir bandang.
Berkisah, seperti dalam cerita mengenai kedua murid Emaus, dapat merupakan langkah penting menuju penyembuhan.
Tuhan saja, langkah penyembuhan itu tidak pernah dapat diseragamkan. Masing-masing orang menempuh jalan dalam iramanya sendiri.
Boleh jadi, kaum keluarga dan sahabat para korban yang hingga kini tidak ditemukan jenasahnya hanya dapat menatap laut yang telah menelan dan menyimpan para kekasihnya.
Batin mereka pasti menggelora dan berkecemuk, perasaan mereka terombang ambing seperti yang dialami kekasihnya.
Mereka mungkinsudah pasrah, menyerah segalanya pada laut yang maha luas itu. Rahim laut itu tak akan lagi melarikan kembali para korban.
Mereka berusaha melepaskan para kekasih itu pergi tanpa melihatnya, meratap dihadapan laut yang luas seolah tanpa batas. Pusara itu maha luas, tanpa nama dan tanpa istimewa. Ingatan keluarga dan para sahabat menjadi penggantinya.
Untuk menanggung duka dalam suasana seperti ini, diperlukan hati yang mahaluas.
Sebagai seorang beriman, kita sadar, hatimahaluas itu hanya dimiliki Tuhan, yang mengatasi langit dan menembusi dasar lautan, yang melampaui awal sejarah dan membenteng hingga keabadiaan.
Karena itu, untuk dapat menanggung derita yang mahaluas karena bencana banjir bandang, kita butuh bersndar pada Tuhan yang hati-Nya mahaluas.
Di dalam Yesus yang menderita dan bangkit, Tuhan telah menunjukan bahwa Dia punya hati untuk kita yang berduka dan dirundung malang. Dia bersama kita saat di tengah badai dan bencana kematian orang-orang yang kita kasihi.
Dia berjalan bersama kita ketika kita bergumul menempuhnya berbagai cara untuk membebaskan diri dari ingatan kan tragedi besar ini. Sangat sering Dia kita tidak kenal.
Karena, dia datang bukan sebagai panglima pasukan yang berkasa, melainkan sebagai Tuhan yang menderita. Dia pun turut bersedih dan mengambil bagian dalam duka kita.
Namun, Dia tidak tenggelam dalam duka dan membiarkan kita hancur dalam kesedihan. Dia adalah Allah yang berdaya membangkitkan.
Kiranya, para korban di Adonara yang mengalami musibah menjadi satu titik terang menuju rumah Dia yang di Surga.
Yohanes A Loni adalah Mahasiswa Awam Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Dia merupakan Ketua Ikatan Mahasiswa Manggarai-Maumere (IMAMM)