*Oleh: Joanes Pieter Paulus
Mungkin banyak di antara kita selama ini menganggap bahwa yang paling berbahaya di dunia ini adalah kelompok predator, yang kerjanya memangsa makhluk lain.
Dengan begitu percaya diri sebagai makhluk yang istimewa dan berkal budi, manusia lupa menyadari bahwa di dunia ini yang paling berbahaya bukanlah kelompok predator itu.
Manusia adalah kelompok yang paling berbahaya di muka bumi ini, dengan kemampuan akal budinya apa saja bisa ditaklukkan olehnya.
Andaikata manusia hidup tanpa aturan, bisa dibayangkan seperti apa kehidupan di muka bumi ini.
Hidup berdampingan dengan lingkungan alam adalah sebuah fakta yang tidak bisa dihindari oleh manusia sejak kehidupan di muka bumi ini mulai muncul dari titik nol.
BACA JUGA: Timbang Untung dan Buntung Pabrik Semen Lingko Lolok
Saling melengkapi dan saling menjaga serta saling mencintai adalah harapan besar bagi kita semua.
Manusia membutuhkan peran lingkungan alam untuk mengisi kekurangannya demikian pun alam.
Bentuk kehidupan mutualisme ini memberikan jaminan yang abadi agar selalu merawat kebersamaan antara manusia, hewan, tumbuhan, serta komponen abiotik untuk selalu harmonis.
Namun dalam perjalanannya, ritme kehidupan antarmanusia dan alam mengalami perubahan yang regresif.
BACA JUGA: “Tanah Saya Tidak akan Dikasih ke Perusahaan”
Manusia yang diharapkan mampu melahirkan watak keberlanjutan lingkungan kini berubah menjadi watak penakluk lingkungan.
Manusia tidak mampu menjaga relasi baik itu sebagai suatu anugerah malah menjadikan alam sebagai hamba yang harus memenuhi segala keinginan manusia.
Sebab itu, tidak heran berbagai bentuk bencana alam yang muncul selama ini sepertinya sudah menjadi pemandangan biasa bagi kita.
Harus diakui degradasi lingkungan saat ini sepertinya sudah tidak menjamin masa depan lingkungan hidup, baik itu degradasi lingkungan fisik seperti perubahan iklim, dan polusi udara.
BACA JUGA: Petani di Luwuk: dari Panen Kacang Hijau 18 Juta hingga Kerja Sawah Tiga Kali Per Tahun
Kualitas tanah dan sumber air pun semakin berkurang. Selain itu diikuti juga dengan degradasi lingkungan biologis.
Hal ini tentu saja menjadi perhatian serius kita. Aneka macam perburuan satwa liar dan aktivitas illegal loging. Semuanya memberikan sumbangan besar bagi kerusakan lingkungan kita saat ini.
Hal ini tidak terlepas dari tuntutan ekonomi yang mengharuskan manusia dengan segala cara menjadikan lingkungan sebagai obyek apa yang bisa.
BACA JUGA: Sapi Berkah Bagi Warga Lingko Lolok
Upaya mempertahankan hidup tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan, mau tidak mau alam dipaksa untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Watak eksploitasi ini, kini menjadi biang kerok krisis lingkungan kita dan menjadi ancam serius bagi seluruh penghuni bumi.
Awalnya, relasi hubungan antara manusia dan lingkungan bisa dibilang akur.
Bila kita merujuk pada paham countenian, perubahan alam seiring dengan perubahan hukum tiga tahap manusia seperti yang pernah dikemukakan sosiolog Agustus Conte.
Melalui hukum tiga tahap ini dapat kita melihat perilaku manusia dalam prespektif dominasi lingkungan.
Pada tahan teologis kehidupan manusia belum lepas dari dominasi alam serta dikendalikan oleh segala sesuatu yang bersifat supranatural.
Manusia menganggap semua peristiwa alam dan gejala-gejala sosial merupakan produk alam gaib.
Ketakutan yang ada pada manusia merupakan bentuk dominasi kekuatan gaib atas akal budi manusia. Manusia hanya bersifat pasrah.
Pada tahan metafisika atau abstrak menunjuk pada tahun berpikir yang menganggap bahwa alam semesta dan seluruh isinya diatur gerak perubahannya oleh hukum hukum alam.
Meskipun akal budi bukan lagi mengandalkan suatu hal dari hal yang supranatural, ia masih mendasarkan pada kekuatan kekuatan abstrak, yaitu hal yang benar-benar nyata dan melekat pada semua benda. Kemdian mampu menghasilkan semua gejala.
Pada tahap positif, manusia mulai menggunakan tradisi berfikir rasional. Ilmu pengetahuan dan teknologi mulai berkembang, sehingga tahap ini manusia tidak disandera lagi oleh tradisi berpikir masa lalu yang serba misteri.
Manusia perlahan melepaskan diri dari cengkraman alam. Pada tahap ini eksistensi alam perlahan dijadikan sebagai hamba akibat aktivitas industri
Berbagai bentuk kearifan lokal masyarakat bisa ada pada tahap teologis dan metafisis saat manusia masih dibawah kuasa alam, yang lebih menampilkan watak watak ramah lingkungan kondisi ini tentunya jelas berbeda pada tahap positif.
Manusia tidak lagi terpenjara dalam deteminasi lingkungan, tetapi determinasi teknologi menjadi alat untuk menguasai alam.
Ketika industrialisasi menjelma menjadi gaya hidup baru, eksistensi lingkungan semakin terancam dengan munculnya watak baru manusia modern tadi, yaitu watak eksploitasi.
Dengan semakin percaya diri yang kuat, manusia mengkomplein peran ilmu pengetahuan mampu menjamin keberlangsungan hidup manusia.
Tentunya hal ini tidak lepas dari kebutuhan ekonomi, tanpa membangun keseimbangan kebutuhan ekologi dan tatanan sosial kita.
Berbagai bencana alam yang sering muncul selama ini semestinya sudah lebih menyadarkan kita.
Watak alam yang begitu kejam selama ini tidak terlepas dari sejarah tindakan-tindakan kita selama ini yang selalu mengabaikan keseimbangan ekologis. Yang dipikirkan hanya kepentingan jangka pendek dan berorientasi pada kepentingan ekonomi.
Kerusakan lingkungan sebagai isu publik kerap kali muncul ke permukaan setelah masyarakat menerima musibah dari kerusakan tersebut.
Sebaliknya jika lingkungan belum merugikan manusia, persoalan lingkungan belum dianggap sebagai sesuatu yang perlu diantisipasi.
Parahnya lagi masyarakat kecil yang tidak pernah tampil sebagai watak eksploitasi, kini ikut merasakan dampaknya.
Kita semua mengharapkan perilaku dan kondisi ini tidak bernapas panjang.
Dengan munculnya watak baru manusia sebagai pejuang lingkungan dan perancangan keberlanjutan lingkungan membawa angin segar untuk kita semua.
Melestarikan lingkungan sama halnya melestarikan spesies manusia itu sendiri.
Ini menjadi tugas dan tanggung jawab kita bersama. Lingkungan hidup yang baik menjadi warisan paling mulia bagi anak dan cucu kita di masa depan.
Bila perlu ditata sebaik mungkin secara terus menerus dan profesional.
Gerakan penyelamatan lingkungan saat ini sangat dibutuhkan dan tentu saja cukup strategis. Gerakannya melalui kampanye pikiran tentang arti penting lingkungan hidup.
Bila perlu gerakan mengkampanyekan kesadaran ekologis hadir dalam dunia pendidikan.
Mungkin lebih tepatnya lagi pendidikan tentang lingkungan hidup diajarkan sejak dini untuk semua jenjang.
Hal ini untuk membentuk sedini mungkin pola pikir generasi muda agar mulai menanamkan rasa cinta terhadap lingkungan.
Harapan besar untuk dunia, dengan memasukan pendidikan lingkungan hidup di setiap satuan pendidikan, maka tidak ada lagi watak watak eksploitasi baru.
Diharapkan akan melahirkan generasi-generasi baru sebagai pejuang lingkungan dan perancangan keberlanjutan lingkungan.
Sehingga cerita tentang tangisan hari ini tidak akan terulang kembali di masa mendatang.
Penulis adalah Pegiat Literasi Komunitas Cangkir 16