*Oleh: A. Jefrino Fahik
Semua orang sepakat bahwa kekerasan pasti bukan produk agama. Wajah agama pasti ramah, humanis, dan saleh.
Kekerasan atas nama agama adalah skandal, perbuatan memalukan, suatu pelanggaran yang mengejutkan karena orang tidak mengira bahwa hal itu akan dilakukan oleh orang-orang beragama.
Berdasarkan asumsi itu, akal sehat menerima bahwa orang beragama pastilah orang saleh, bermoral, dan orang baik.
Orang yang melakukan kekerasan atas nama agama pastilah bukan orang saleh. Karena beragama sejatinya menuntun orang kepada kekudusan dan hidup baik.
Namun patut disayangkan, dalam kenyataan orang yang dikenal orang baik justru menggunakan dalil agama untuk melegitimasi kekerasan.
Padahal jika disimak, kekerasan sejatinya bertentangan secara an sich dengan kebaikan yang diajarkan agama.
Ini artinya, ada yang keliru dengan cara beragama kita. Kekeliruan itu bisa disebabkan oleh banyak hal. Tetapi, saya membatasinya pada dua hal saja, yakni kerapuhan paradigma etis dan sesat berpikir.
Radikalisme Agama dan Minus Paradigma Etis
Bagi pelaku, tindakan kekerasan mungkin bukanlah skandal melainkan momen menjadi martir.
Tapi, akal sehat membantah bahwa pintu surga mustahil terbuka bagi sang ‘martir’ dengan wajah predator yang haus darah seperti itu.
Tiket untuk memeluk firdaus bukan lewat jalan kekerasan melainkan perbuatan kasih.
Hal ini karena Allah yang diimani, bukanlah Allah yang sadis melainkan Allah yang penyayang.
Bom bunuh diri dan meneror orang lain, sejatinya adalah tindakan tercelah karena tidak hanya melecehkan kemanusiaan dalam dirinya, melainkan juga memberontak terhadap Allah, yakni menghancurkan martabat manusia sebagai citra Allah.
Itu artinya, pertama, tindakan itu tidak bisa dipertanggungjawabkan secara etis. Hal ini karena, menghargai orang lain adalah kemestian ontologis dalam realitas kesosialan kita sebagai manusia.
Manusia, siapa pun dirinya harus selalu diperlakukan sebagai tujuan dan bukan sebagai sarana karena martabat yang melekat pada dirinya sebagai manusia.
Inilah imperatif etis par-excellence, meminjam istilah Habermas, yang seharusnya bisa diartikulasikan oleh nalar publik kita hari ini.
Karena itu, Kedua, aksi kekerasan pasti bertentangan dengan refleksi teologi apapun. Hal ini karena refleksi teologi selalu berdimensi mistik dan kedus sebagai telosnya.
Itulah sebabnya, sulit dijelaskan mengapa manusia harus mentaati nilai-nilai luhur agama tetapi keataatan itu harus dibayar dengan kekerasan dan darah? Memang refleksi tentang Allah melampaui kefanaan dunia ini tetapi pijakan kokoh untuk berbicara tentang kasih Allah adalah realitas dunia kehidupan. Keduanya mesti melekat secara ontologi.
Itu artinya, refleksi teologi tentang Yang Transenden mestinya tidak tercerabut dari dimensi kemanusiaan kita. Refleksi tentang Allah seharusnya punya nilai kesucian dan etis terhadap manusia sebagai realitas kehadiran Yang Transenden.
Kendati pun keduanya memiliki aksentuasi refleksi yang berbeda-beda tetapi secara etis tidak bertentangan secara diametral dengan refleksi tentang humanitas.
Jika, paradigma tentang Yang Transenden mengabsolutkan dirinya, sejauh itu pula ekstremisme dan radikalisme agama mengancam humanitas.
Radikalisme Agama dan Surplus Kesesatan Berpikir
Pada permulaan abad modern, Feuerbach (1804-1872), seorang filosof Jerman, telah mengkritisi basis kemutlakan cara beriman itu.
Bagi Feuerbach, apa yang diklaim orang beriman sebagai Allah itu sebetulnya hanyalah hasil fantasi dari kesadaran dirinya.
Manusia melemparkan hakikat dan sifat-sifatnya sendiri keluar, lalu menganggap hasil proyeksinya sebagai entitas mandiri yang terpisah daripadanya, kemudian menyebahnya sebagai Tuhan.
Celakanya, di hadapan ‘Tuhan’ yang diciptakan sesuai dengan pikiran manusia itu, membuat manusia teralienasi dari dirinya, ia merasa diri rendah di hadapan Allah sehingga apa pun yang dianggap sebagai perintah Allah akan ditempuh demi memeluk kesempurnaan.
Ideologi hasil proyeksi itu lalu menjadi dogma absolut untuk menjustifikasi berbagai praktik dalam kehidupan sehari-hari.
Kritik Feuerbach itu memang tidak menyentuh substansi beragama kita tetapi evaluasinya atas praktik hidup beragama itu menyentuh jantung persoalan kita hari ini.
Para persekutor religius tersebut, apabila dicermati, tidak hanya mengalami dekadensi moral serius melainkan terutama terperangkap dalam dunia proyeksi tersebut.
Apa yang diklaim sebagai Allah tidak lain daripada fantasi para proyektor sendiri. Mereka menciptakan sendiri suatu dunia kayangan bertabur bidadari lantas menyebutnya sebagai surga dan Allah.
Prinsip absolut itu lalu dipakai sebagai basis untuk melakukan tindakan kekerasan. Di sinilah kekerasan menjadi ironi dan skandal dalam kehidupan beragama—wajah agama tampak brutal, barbar, dan menakutkan. Kesesatan berpikir memicu lahirnya aneka skandal dan tindakan brutal di ruang publik.
Iman Yang Inklusif dan Realistis
Sejatinya wahyu dan dogma yang dikontemplasikan di ruang sakral mesti menuntun orang beriman melihat orang lain sebagai saudara dan saudari dalam Allah.
Sebab, buah iman adalah kasih yang menyatuhkan, bukan praktik disparitas yang memicu konflik.
Maka, ibarat utang yang perlu dibayar tuntas. Orang beriman tidak hanya dituntut untuk tekun mempraktikkan laku ritual keagamaan masing-masing di ruang privat, melainkan praktik ritual itu mesti menuntun orang kepada suatu pembaharuan paradigma yang membuka ruang bagi proses pluralisasi pandangan dan kemajemukan realitas kehidupan.
Itu artinya, praksis iman seharusnya tidak ditunaikan secara sempit dan ekslusif dengan bahasa teologis yang ritualistik dan formalistik.
Fenomena semacam itu bisa memicu risiko serius, yakni ekstremisme dan radikalisme kelompok yang an sich bertentangan dengan ajaran agama sendiri.
Wakil presiden Ma’Ruf Amin sendiri mengatakan, praktik ekstremisme tidak berkaitan dengan agama apa pun karena agama tidak mengajarkan kekerasan (Detik.com 30/03/21) dan karena itu praktik radikalisme dan terorisme adalah ciri dari cara berpikir sempit.
Cara berpikir sempit itu menyebabkan sifat egosentris, tidak menghargai perbedaan pendapat serta tidak mau berdialog sehingga mudah melahirkan pola pikir yang menyimpang dan menjadi radikal.
Karena itu, di tengah kemajemukan SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) orang beriman dituntut untuk berani beriman secara realistis dan inklusif.
Artinya, wacana tentang keluhuran surga yang jauh di sana mesti punya nilai etis bagi dunia kehidupan kekinian.
Iman yang realistis dan inklusif, adalah iman yang mampu berdialog secara etis dengan berbagai realitas lain di luar dirinya untuk menemukan ruang konsensus yang rasional (Habermas: 2001).
Maka, orang beriman dapat menjalankan peran etisnya dalam masyarakat, apabila aneka bahasa ritual dan teologis itu senantiasa terbuka dan realistis terhadap wujud nyata lain dari Yang Absolut, seperti nilai-nilai humanitas, ilmu pengetahuan, dan berbagai kemajuan modern.
Bahwa iman berasal dari wahyu adalah keniscayaan. Namun jika wahyu yang diimani itu kemudian berbalik menindas kemanusiaan adalah sebuah ironi dan skandal.
Jadi, sekarang sudah saatnya kita bersikap rileks saja, biar kopi persaudaraan kita senantiasa hangat dan tersaji di atas meja bundar bernama Indonesia ini.
A. Jefrino Fahik adalah Anggota Penulis pada LSF Nahdliyyin, Mahasiswa STF Driyarkara