(Refleksi Hari Kartini)
Oleh: Fr. M. Yohanes Berchmans, Bhk, M. Pd
“Seorang perempuan yang mengorbankan diri untuk orang lain, dengan segala rasa cinta yang ada dalam hatinya, dengan segala bakti, yang dapat diamalkannya , itulah perempuan yang patut disebut sebagai ibu dalam arti sebenarnya”…R.A. Kartini
“Banyak hal yang bisa menjatuhkanmu. Tapi satu-satunya hal yang benar-benar dapat menjatuhkanmu adalah sikapmu sendiri.”… R.A. Kartini
Setiap tanggal 21 April bangsa Indonesia memperingati hari Kartini. Pada tanggal tersebut bertepatan dengan hari kelahiran R.A. Kartini yaitu 21 April 1879.
Tentunya peringatan ini, sebagai suatu bentuk apresiasi bagi Kartini yang telah memperjuangkan emansipasi kaumnya.
Oleh karena itu, R.A. Kartini merupakan sosok perempuan yang dikenal sebagai tokoh emansipasi wanita. Dia begitu mengidamkan persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan.
Perempuan asal Jepara ini ingin membuktikan, bahwa para perempuan juga mampu melakukan peran laki-laki. Dan berkat kegigihan perjuangannya, maka kini membuahkan hasil, yakni peran perempuan zaman now, juga tidak kalah pentingnya dengan peran laki-laki.
Hal ini bisa dibuktikan dengan Indonesia pernah dipimpin oleh presiden perempuan, yakni presiden ke-5 RI ibu Megawati Sukarno Putri dan lebih kurang ada 14 perempuan yang terpilih sebagai kepala daerah pada Pilkada 2018.
Tentunya, mereka tidak hanya tampil berperan di depan publik, tetapi juga mereka tampil berperan di keluarganya masing-masing sebagai istri dan ibu, bagi anak-anaknya.
Tidak hanya itu, peran seorang ibu dalam berbagai sektor kehidupan sangat penting. Dia bagaikan seorang sutradara yang bekerja di belakang layar.
Oleh karena itu, tak bisa dipungkiri bahwa keberhasilan seorang suami tidak bisa terlepas dari peran seorang istri. Demikian juga, keberhasilan seorang anak tidak terlepas dari peran kedua orangtuanya, teristimewa seorang ibu.
Sebab, harus diakui, bahwa perhatian seorang ibu jauh melebihi perhatian seorang bapak. Oleh sebab itu, tanpa mengabaikan peran seorang bapak dalam keluarga, sesungguhnya kunci keberhasilan atau kesuksesan dalam sebuah rumah tangga adalah seorang ibu.
Mengapa? Dari kodratnya sifat seorang ibu yang jauh lebih peka, lebih peduli dengan situasi apapun, dari pada seorang bapak. Teristimewa dalam hal pendidikan seorang anak dalam keluarga, peran seorang ibu jauh lebih dominan dari pada seorang bapak.
Termasuk dalam situasi seperti saat ini, ditengah masa pandemi Covid-19, dia lebih khawatir akan pendidikan putra-putrinya dibandingkan seorang bapak.
Dengan demikian, seorang ibu adalah pahlawan dalam keluarga dalam memerangi kebodohan. Tidak ada seorang ibu pun di dunia ini, yang ingin putra-putrinya gagal dalam pendidikan ataupun dalam usaha.
Sama seperti Kartini, yang memiliki semboyan “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Demikianlah setiap ibu pasti juga terinspirasi dari ibu Kartini dan semboyannya yang sangat terkenal itu, mengharapkan dapat berperan lebih, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama di bidang pendidikan.
Bahwa setiap ibu adalah guru kehidupan bagi putra-putrinya. Dan makna guru tidak lain adalah membawa anak keluar dari kegelapan (gu: darkness) menuju terang (ru: light), sesuai semboyan ibu Kartini.
Atau membawa anak keluar dari kebodohan (awidya) menuju kepada kepandaian (widya), dari kurang berpengetahuan menuju ke berpengetahuan.
Demikianlah peran orangtua, khususnya seorang ibu yang merupakan para Kartini di keluarganya, sangat penting. Oleh karena itu, semboyan ibu Kartini memiliki arti yang sangat luas, dalam seluruh aspek kehidupan.
Dengan demikian, setiap ibu adalah Kartini masa kini di keluarganya masing-masing. Mengingat setiap keluarga merupakan sekolah mini, tempat pertama penumbuhkan nilai-nilai karakter.
Dan para orangtua merupakan guru utama, dengan seorang ibu biasanya sebagai “best teacher” yang lebih telaten dan sabar dalam mendidik dan mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan kepada anak-anak, tanpa mengabaikan peran seorang bapak.
Dan lebih dari itu, seorang ibu sesunguhnya adalah rekan kerja Allah, dalam melahirkan ciptaan baru. Oleh karena seorang ibu merupakan rekan kerja Allah, maka sesungguhnya peran seorang ibu tidaklah jauh lebih rendah dari peran seorang bapak.
Mengapa? Sebab yang namanya rekan posisinya tidak lebih tinggi atau lebih rendah. Apalagi seorang wanita atau seorang perempuan diciptakan dari tulang rusuk pria atau laki-laki.
“Lalu Tuhan Allah membuat manusia (‘adam) itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, Tuhan Allah mengambil salah satu rusuk (tsela) dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging.
Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia (‘adam) itu, dibangun-Nyalah (bana) seorang perempuan (‘isya), lalu dibawa-Nya kepada manusia (‘adam) itu.” (Kejadian 2:21).
Itu artinya antara pria dan wanita sama posisinya atau setara atau sederajat, tidak lebih tinggi atau lebih rendah, sebab dia tidak diciptakan dari tulang kepala atau tulang kaki, melainkan dari tulang rusuk, yang posisinya di samping.
Ibaratnya “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, itu berarti setara. Demikianlah posisi pria dan wanita di hadapan Tuhan, yakni sama atau setara atau sederajat.
Oleh karena itu, tidaklah benar kalau para wanita atau perempuan dianggap kelas kedua. Mengapa? Pertama: pria dan wanita sama-sama diciptakan oleh Tuhan. Juga sama-sama dikaruniai dengan kemampuan atau talenta, sesuai dengan kesanggupan masing-masing.
Kedua: pria dan wanita, sama dihadapan Tuhan, sama-sama sebagai makhluk yang berakal budi, makhluk mulia dan makhluk istimewa yang secitra dengan Allah.
Bahkan wanita memiliki keunggulan dari pria, yakni adanya unsur feminim atau feminimitas dari bahasa Perancis feminime adalah sebuah kata sifat, yang berarti “kewanitaan” atau menunjukkan sifat perempuan.
Sifat-sifat yang dimaksud biasanya adalah kelembutan, kesabaran, kebaikan, dll. Lawan katanya adalah maskulin. Maskulinitas disebut juga kejantanan atau kedewasaan adalah sejumlah atribut, perilaku, dan peran yang terkait dengan anak laki-laki dan pria dewasa.
Maskulinitas didefinisikan secara sosial dan diciptakan secara biologis. Sifat maskulin berbeda dengan jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan dapat bersifat maskulin.
Ciri-ciri yang melekat pada istilah maskulin adalah keberanian, kemandirian dan ketegasan. Ciri-ciri ini bervariasi dan dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya.
Dari sifat yang demikian, bisa dibayangkan andai tidak ada wanita di dunia ini, maka para pria akan menjadi “ganas”. Dan sebaliknya, dengan adanya para wanita, maka dunia “pria”, menjadi tenang “calm”.
Dalam konteks itu pula, maka kehebatan seorang wanita (ibu) dalam menghadapi setiap putra-putrinya dalam segala situasi jauh lebih tenang dari pada seorang bapak.
Termasuk dalam mengenal karakter setiap anak, pasti jauh lebih baik dari pada seorang bapak, sebab selama ± 9 bulan, seorang anak berada dalam rahim seorang ibu, dengan demikian pasti memiliki ikatan hati dan perasaan yang kuat diantara keduanya.
Oleh karena itu, patutlah kita mengapresiasi bagi peran setiap wanita (ibu) yang merupakan Katini-Kartini masa kini yang tidak tertakar dan terukur besarnya, seperti yang tersurat dalam lirik lagu “Kasih Ibu”, yang ditulis oleh SM Embut.
Kasih Ibu…kepada beta. Tak terhingga… sepanjang masa…hanya memberi…tak harap kembali…bagai sang surya menyinari dunia. Demikianlah, kasih ibu yang luar biasa, tiada taranya…yang meneruskan cita-cita mulia ibu Kartini bagi Indonesia.
Semboyan “habis gelap terbitlah terang”, kiranya generasi muda-mudi kita bisa keluar dari kegelapan berupa kebodohan, pergaulan bebas, narkoba, radikalisme, egoisme, menuju terang berupa kepandaian, disiplin, berwawasan luas, berpengetahuan, bijak.
Sebab, bangsa kita membutuhkan generasi yang cerdas dan berkarakter baik nan positif.
Oleh karena itu, kata kuncinya ada pada orangtua sebagai guru utama bagi seorang anak di keluarga, lebih khusus lagi pada diri seorang ibu.
Mengapa demikian? Sebab, ada ungkapan bahwa surga itu ada di bawah telapak kaki ibu, yang maknanya ialah langkah kaki seorang ibu menentukan jalan hidup putra/i nya.
Bahwa seorang ibu telah berjuang sangat keras sejak mengandung, hingga membesarkan seorang anak. Maka, akan menjadi anak durhaka, jika seorang anak tidak patuh atau taat terhadap nasihat, petuah dari seorang ibu yang telah mempertaruhkan nyawanya saat melahirkan putra-putrinya.
Jadi, dengan ungkapan surga ada di bawah telapak kaki ibu, berarti seorang anak hukumnya wajib untuk menghormati dan menghargai ibu melebihi seorang bapak, mengingat pengorbanannya tadi.
Jika itu yang terjadi, maka surga menanti seorang anak, dan sebaliknya jika seorang anak melawan, membantah, membangkang titah, atau tidak mematuhi atau mentaati nasihat, petuah, perintah, atau tidak menghormati, menghargai bahkan tidak menerima dan mengakui keberadaan seorang ibu, maka neraka pun telah menanti seorang anak.
Dan bukan suatu kebetulan, peringatan hari Kartini, di peringati setelah paskah, maka bagi orang kristiani yang barusan merayakan pesta paskah, ungkapan “habis gelap terbitlah terang”, (post nubila lux) khususnya bagi kaum ibu bisa bermakna melalui keteladanan hidupnya, seorang ibu kehidupan dapat memancarkan terang Kristus yang bangkit bagi putra-putri nya, melalui kesaksian hidup yang baik dan benar, dengan menjauhkan diri dari perbuatan tercela, perbuatn kegelapan atau dosa.
Oleh karena itu, perayaan paskah adalah perayaan kebangkitan, perayaan kemenangan atas dosa (kegelapan) yang dilambangkan dengan nyala lilin paskah, pada malam paskah sebagai simbol Kristus terang dunia telah mengalahkan kegelapan atau dosa atau maut.
Maka, dalam arti itulah seorang ibu harus menjadi manusia baru, lilin paskah bagi anggota keluarganya, terlebih bagi putra-putrinya.
Dan seperti ibu pertiwi yang menumbuhkan kehidupan, demikianlah seorang ibu harus selalu memberikan kehidupan yang baru bagi putra-putrinya, yang bikin hidup lebih hidup, tetapi hidup yang bermakna bagi Tuhan dan sesama, serta bukan asal hidup.
Akhirnya, mari kita memaknai peringatan hari Kartini dengan semboyan “habis gelap terbitlah terang”, yakni dengan semangat kebaruan paskah, kita mewujudkan cita-cita Kartini untuk membawa keluarga, masyarakat, bangsa dan negara kita Indonesia, keluar dari kegelapan menuju terang. SELAMAT HARI KARTINI…JADILAH KARTINI MASA KINI.
Penulis adalah Ka SMPK Frateran Ndao