Oleh: Edi Hardum, advokat dari “Edi Hardum & Partners”, tinggal di Jakarta
Pada Selasa (20/4/2021), Bupati Manggarai Barat (Mabar), Edi Endi mengumumkan kepada pers bahwa ia telah memecat seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) karena melanggar disiplin.
Bupati Edi Endi mengatakan, landasan hukum tindakannya itu adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Membaca berita tindakan Bupati Mabar ini saya dihinggapi dua perasaan sekaligus. Pertama, salut dan senang. Karena tindakan Bupati Endi bisa memberi peringatan juga kepada seluruh PNS di Mabar terutama yang bekerja ogah-ogahan.
BACA JUGA: Langgar Disiplin, Satu ASN di Manggarai Barat Dipecat
Saya sangsikan dan dengar testimoni bahwa banyak PNS bekerja tidak disiplin dan tidak profesional bahkan sebagian anggota PNS berotak kosong, karena sudah tidak membaca buku lagi atau tidak membaca literatur lagi. Bagi mereka, yang bodoh dan pintar sama-sama dapat gaji setiap bulan. Selain itu, mereka tidak disiplin, ya paling hanya ditegur, sulit dipecat.
Kedua, saya ragu dan bahkan menyangsikan tindakan Bupati Edi Endi, benar. Mengapa saya sangsikan? Karena banyak juga PNS enggan bekerja benar, terutama di NTT, karena atasan mereka tidak cerdas, tidak benar, tidak jujur, tidak berintegritas. Seperti atasan (eselon II dan III) yang gemar berjudi di kantor, alergi terhadap buku-buku ilmiah, bersikap arogan kepada bawahan, bawahan tidak boleh kritis, atasan harus selalu dianggap benar.
Selain itu, atasan suka selingkuh dengan bawahan di kantor. Ada juga atasan yang anti kepada bawahannya yang rajin membaca buku, tidak bisa diajak kerja sama untuk menilep anggaran, dan lain-lain.
Atau ada pemberlakukan sistem demokrasi jelek dan jahat, seperti kalau dalam suatu unit kerja sebagian besar suka judi di kantor, suka datang terlambat, maka satu dua orang yang tidak judi, datang ke kantor disiplin dianggap aneh bahkan tidak benar. Sedikitnya orang bekerja benar dan jujur cenderung dijauhi oleh atasannya dan dihindari teman-teman yang ikut dalam kebiasaan buruk yang sudah diterima banyak orang dalam satu kantor atau satu unit kerja.
Atasan seperti ini sudah dipastikan mendapat jabatan karena kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).
Oleh karena itu, saya sendiri, masih belum terlalu 100% menganggap tindakan Bupati Edi Endi benar. Saya anggap tindakan itu benar, kalau pengadilan memutuskan bahwa tindakan pemecatan itu pantas dilakukan.
Dasar Hukum
Pemecatan PNS atau Aparatur Sipil Negara (ASN) oleh Bupati atau Wali Kota bisa menggunakan dua perangkat peraturan perundang-undangan.
Pertama, Peraturan Pemerintah (PP) 53/2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS). PP 53/2010 ini merupakan aturan turunan dari dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 (UU 8/1974) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 (UU 43/1999) tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
Kedua, Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) (UU 5/20214).
Dalam ketentuan pertimbangan dibentuknya UU 5/2014, di poin d, menyebutkan bahwa UU 8/1974 sebagaimana telah diubah dengan UU 43/1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sudah tidak sesuai dengan tuntutan nasional dan tantangan global sehingga perlu diganti.
Namun, dalam ketentuan Penutup UU 5/2014 yakni dalam Pasal 139 menyebutkan bahwa pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, ketentuan peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari UU 8/1974 sebagaimana telah diubah dengan UU 43/1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan UU ini.
Itu berarti PP 53/2010 tentang Disiplin PNS sebagai peraturan turunan dari UU 8/1974 1974 tentang sebagaimana diubah dengan UU 43/1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian masih tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan.
Aturan turunan dari UU 5/2014 adalah Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020 tentang Perubahan atas PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Menagemen PNS.
Pasal 87 ayat (2) UU ASN menyebutkan, PNS dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan karena dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan hukuman pidana penjara paling singkat dua tahun dan pidana yang dilakukan tidak berencana.
Selanjutnya, Pasal 87 ayat (4) UU 5/2014 menyebutkan, PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena: pertama, melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; kedua, dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum.
Ketiga, menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. Keempat, dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana.
PP 20 Tahun 2020 sebagai aturan turunan dari UU ASN, Pasal 250 menyebutkan, PNS diberhentikan tidak dengan hormat apabila, pertama, melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; kedua, dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan Jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan Jabatan; ketiga, menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik; dan keempat, dipidana dengan pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan hukuman pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana.
Debatable PP 53/ 2010
Bupati Endi tidak menyebutkan pelanggaran disiplin apa yang dilanggar sang PNS-nya di Mabar sehingga harus dipecat.
Pada Pasal 4 PP 53/2010, ada 15 larangan untuk PNS, di mana kalau larangan itu dilanggar maka masuk pelanggaran dan dihukum dengan hukuman disiplin sebagaimana diatur dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 13 PP tersebut.
Pasal 13 PP 53/2010 menyebutkan bahwa hukum disiplin berat berupa mulai dari penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama tiga tahun sampai dengan pemberhentian dengan tidak hormat dari PNS dijatuhkan terhadap larangan-larangan: (1) menyalahgunakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 1; (2) menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan/atau orang lain dengan menggunakan kewenangan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 2.
Selanjutnya (3) larangan tanpa izin pemerintah menjadi pegawai atau bekerja untuk negara lain dan/atau lembaga atau organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 3.
Selain itu, (4) bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, atau lembaga swadaya masyarakat asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 4.
(5) Memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barang-barang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen atau surat berharga milik negara secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 5, apabila pelanggaran berdampak negatif pada pemerintah dan/atau Negara.
Selanjutnya (6) larangan melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 6, apabila pelanggaran berdampak negatif pada pemerintah dan/atau Negara.
Selanjutnya lagi, (7) larangan memberi atau menyanggupi akan memberi sesuatu kepada siapa pun baik secara langsung atau tidak langsung dan dengan dalih apapun untuk diangkat dalam jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 7.
Larangan (8) menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapa pun juga yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya sebagai mana dimaksud dalam Pasal 4 angka 8.
Larangan (9) melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan yang dapat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayani sehingga mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka10, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya (10) menghalangi berjalannya tugas kedinasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 11, apabila pelanggaran berdampak negatif pada pemerintah dan/atau Negara.
Larangan (11) memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan cara sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 12 huruf d.
Larangan (12) memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden dengan cara membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 13 huruf a.
Memberikan (13) dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dengan cara menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye dan/atau membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka15 huruf b dan huruf c.
Dari 13 larangan ini, apa benar dilakukan PNS bersangkutan di Mabar yang baru dipecat itu? Apa alat ukur? Siapa-siapa saksi-saksi yang melihat? Siapa yang memeriksa dan mengadili? Atau jangan-jangan karena ketika Pilkada baru-baru ini (2020), ia tidak mendukung pasangan Edi–Weng? Atau ia terang-terangan mendukung pasangan lain? Masih banyak pertanyaan lain yang membutuhkan jawaban yang akurat dan benar.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itulah, saya mengusulkan, PNS yang dipecat Bupati Mabar Edi Endi kalau merasa hukuman itu berlebihan karena tidak sesuai apa yang Anda lakukan, maka segera ambil tindakan, pertama, banding administratif kepada Badan Pertimbangan Kepegawaian, sebagaimana diatur dalam PP 53/2010.
Kedua, kalau tidak puas dengan putusan Badan Pertimbangan Kepegawaian, maka lakukan gugatan hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Sudah banyak yuris prudensi yang membatalkan tindakan pemecatan oleh Wali Kota, Bupati, Gubernur dan Menteri terhadap PNS karena dianggap melanggar disiplin.
Di Manggarai di zaman Bupati Deno Kamelus (almarhum) ada beberapa PNS dipecat karena melanggar ketentuan-kentetuan di atas, namun mereka ajukan gugatan ke PTUN, dan gugatan mereka diterima, sehingga mereka kembali menjadi PNS. Di Manggarai Timur, baru-baru ini juga demikian, mereka menang di PTUN.
Jadi, tindakan Bupati Mabar, memecat seorang PNS-nya belumlah final dan atau belum benar, selama sang PNS masih melakukan upaya hukum! Tapi, kalau tidak melakukan upaya hukum, tindakan itu sudah dianggap benar dan final!