Borong, Vox NTT- Izin Usaha Produksi (IUP) tambang batu gamping di Kampung Lengko Lolok, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda Utara, Kabupaten Manggarai Timur (Matim) sudah keluar.
Izin penambangan bahan baku produksi semen tersebut dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi NTT kepada PT Istindo Mitra Manggarai. Penandatangan IUP itu dilakukan di Aston Hotel Kupang pada 26 November 2020 lalu.
Meski begitu, warga Lengko Lolok tidak mau kampung mereka dirusak oleh aktivitas pertambangan batu gamping.
Mereka masih mempertahankan kesepakatan ‘abadi kampung’ dengan PT Istindo Mitra Manggarai. Artinya, Kampung Lengko Lolok dengan radius 500 meter di sekitarnya tidak boleh diobrak-abrik oleh aktivitas pertambangan.
Domi Demas, tokoh adat Kampung Lengko Lolok mengaku secara pribadi ia menolak jika kampungnya pindah lokasi, apalagi jika harus diobrak-abrik.
Pindah kampung, bagi dia, prosesi adatnya sangatlah berat. Compang (mazbah) di Kampung Lengko Lolok menurut Domi, beda dengan yang ada di kampung lainnya di Manggarai.
Di kampung itu, untuk mendirikan mazbah benda yang disiapkan bukanlah telur ayam. Bendanya yakni anjing buta dan babi bunting.
Ia menjelaskan, babi bunting yang ditanam di bawah mazbah Kampung Lengko Lolok sebagai persembahan untuk meminta agar para penghuninya bisa berkembang biak. Sedangkan, anjing buta sebagai sumpah agar penghuni kampung tidak berbuat dosa dan bertindak tidak senonoh antarsatu dengan yang lain.
Kemudian dalam sejarahnya, membangun Kampung Lengko Lolok para pendahulu sudah mengurbankan 8 ekor kerbau.
“Sehingga tae dami, rasa berat lami. Toe no sekang, eme pande sekang onok kaut. Itu pertimbangan,” ujar Domi dalam bahasa daerah Manggarai saat berbincang-bincang dengan sejumlah awak media di rumahnya, Jumat (30/04/2021) siang.
(Sehingga kami bilang, kami merasa berat. Tidak seperti pondok, kalau buat pondok masuk begitu saja)
Domi menambahkan, meski benda dan hewan kurban sudah ada untuk pemindahan kampung, namun dewasa ini ia yakini sudah tidak ada lagi yang mampu dan mengetahui jalannya prosesi adat itu. Sebab, jika ritus adat salah dijalankan, maka tentu saja bisa berdampak buruk kepada para penghuni kampung.
Tidak Mau Pindah ke Tanah Ulayat Satarteu
Domi menegaskan, untuk urusan relokasi hunian dirinya menyerahkan sepenuhnya kepada tua adat (tu’a teno) Kampung Lengko Lolok, Tahur Matur Gusmustamin. Meski begitu, secara pribadi ia menolak jika mereka harus pindah ke tanah ulayat milik warga Satarteu.
BACA JUGA: Timbang Untung dan Buntung Pabrik Semen Lingko Lolok
Lagi-lagi pertimbangan Domi terkait adat dan dikhawatirkan bakal ada konflik dengan warga Kampung Satarteu.
Ia juga mengaku, pihaknya ditawarkan untuk pindah ke bagian bawah Kampung Lengko Lolok. Namun menurut dia, di lokasi tersebut terdapat tebing di bagian baratnya. Berdasarkan pengalamannya, jika sebuah kampung terdapat tebing di bagian baratnya, maka para penghuni kerap mengalami sakit.
“Do pengalaman daku, ai nitu wa (tanah yang rencanannya akan menjadi tempat tinggal warga) pere sale main. Pere mese ite. Kerena apa, tae daku tiap kali bur leso awo mai tiba le pere sale main, toe ma sehat weki. Ae olong tiba cahaya mata leso pere hituk, mbaru wa bea, sehingga toe ma sehat weki,” jelas Domi.
(Banyak pengalaman saya, karena di situ ada tebing di sebelah baratnya. Saya bilang, tiap kali matahari terbit dari timur, diterima tebing sebelah barat, rumah di dataran, para penghuni tidak sehat)
Senada dengan Domi, warga Kampung Lengko Lolok lainnya Gordi Bahas juga menolak jika mereka harus direlokasi ke tanah ulayat milik warga Kampung Satarteu. Ia pun memilih jalan tengah, bahwa tanah yang bakal dijadikan tempat relokasi hunian harus sebagian milik warga Lengko Lolok dan sebagian lainnya milik warga Satarteu.
“Kami pertahankan, karena apa, kami tidak bisa hak ulayat kami ditindis oleh kamu (warga Satarteu). Tidak bisa, harus seimbang dia. Satarteu ada hak ulayat, kami juga ada hak ulayat. Kalau pun perusahaan tidak bisa atasi hal itu, kami tidak mau ambil risiko. Atau pun kami, kalau mau geser di tempat kami sendiri,” ujar Gordi saat berbincang-bincang dengan sejumlah awak media di rumah milik Domi Demas, Jumat siang.
Warga Rugi
Informasi kapan waktu pelaksanaan penambangan batu gamping di tanah milik warga Kampung Lengko Lolok hingga kini masih samar. Padahal, berdasarkan informasi yang dihimpun, dalam izinan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi NTT tertera sedikitnya 599 hektare milik warga Kampung Lengko Lolok bakal dijadikan lahan pertambangan batu gamping.
Ketidakjelasan ini membuat warga tidak berani mengerjakan kebun pada musim tanam kali ini. Warga takut jika padi di kebun sudah ditanam, tiba-tiba saja alat berat perusahaan masuk untuk melakukan aktivitas pertambangan.
Akibatnya, menurut Gordi, warga merasa rugi karena tidak mengerjakan kebun. Diperparah, saat ini wilayah itu juga tidak luput dari dampak pandemi Covid-19.
Senada dengan dia, Yosualdus Jurdin warga Kampung Lengko Lolok lainnya mengaku mereka rugi selama ini karena tidak bisa menggarap kebun. Sebab, semua lahan sudah diukur oleh pihak perusahaan.
“Karena katanya kemarin, setalah ukur lahan sesegera mungkin uang lahan akan dibayar oleh perusahaan, ternyata sampai saat ini belum ada realisasi dari perusahaan,” kata Dus.
Tidak Boleh Ada Tahap Ketiga
Dus mengaku, beberapa warga yang pro terhadap kehadiran perusahaan tambang batu gamping di Kampung Lengko pernah mengusulkan untuk segera melakukan pembayaran tahap ketiga.
BACA JUGA: Sapi Berkah Bagi Warga Lingko Lolok
Namun menurut Dus, pembayaran tahap ketiga untuk uang down payment (DP) tidak berlaku.
Pasalnya, menurut dia, berdasarkan kesepakatan awal dengan pihak perusahaan tidak membicarakan DP tahap ketiga. Tahap ketiga hanya membayar lunas lahan dan tanaman warga.
“Ada beberapa warga pro tambang menyampaikan usulan kalau boleh ada tahap ketiga. Tetapi menurut saya tidak boleh lagi ada tahap ketiga. Karena di dalam kesepakatan awal itu jelas, tahap pertama, tahap kedua. Tahap ketiga bukan DP lagi dia. Dia harus lunas, bayar kontan itu tanahnya, tanamannya. Jadi, tidak ada lagi bilang DP di tahap ketiga, tidak ada,” tegas Dus.
Meski usulan itu sudah disepakati perusahaan, namun menurut Dus, hingga kini realisasi pembayarannya belum jelas.
Penulis: Ardy Abba