Oleh: Yohanes A. Loni
Setiap tanggal 2 Mei merujuk kelahiran Ki Hajar Dewantara, kita memperingati Hari Pendidikan Nasional dan Hari nasional yang ditetapkan melalui Keppres Nomor 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959.
Peringatannya setiap tahun memberikan ruang segenap warga bangsa untuk merefleksikan hakikat ikhtar kolektif mencerdaskan kehidupan manusia.
Merujuk Peringatan hari pendidikan Nasional (Hardiknas), ‘Pendidikan’ yang pada dasarnya memiliki prinsip-orientasi mencerdaskan manusia, membangun relasi, membina dan mengembangkan kualitas manusia secara bertahap dan berkelanjutan.
Dalamnya terjadi proses transformasi nilai-nilai dan pengetahuan universal, baik dalam tataran formal maupun non formal.
Locus pendidikan formal dan non formal sangat bergantung pada tahap dan tingkat perkembangan manusia.
Sejak kecil (usia belum sekolah), manusia dapat belajar dan mengembangkan diri dalam lingkungan keluarga dan masyarakat di sekitarnya.
Ketika melangkah menuju bangku pendidikan formal, di sanalah dididik dan dibina secara formal dan terprogram.
Pendidikan adalah usaha yang sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan bagi perannya di masa yang akan mendatang.
Esensi pendidikan tidak lain adalah ilmu pengetahuan, keterampilan, dan kecakapan hidup yang pada umumnya mencerminkan kecerdasan manusia (intelek, emosiona, spiritual).
Pilar kecerdasan ini dapat membentuk manusia yang utuh, integral dan otonom. Lebih jauh, kecerdasan manusia dapat diartikan dan dirumuskan sebagai kompetensi hidup manusia.
Tujuan pendidikan nasional termaktub dalam Pasal 4 Undang-undang 1945. Tujuan pendidikan nasional termaktub dalam pasal 4 Undang-undang Republik Indonesia No 2 Tahun 1989 yakni, “Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan kehidupan manusia Indonesia seutuhnya, yakni manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. (DIKNAS HTM)
Meskipun Indonesia memasuki hari Pendidikan Nasional yang ke-112 kalinya, namun saat ini mutu dan kualitas pendidikan masih belum merata disetiap sudut daerah. Salah satu faktor lemahnya hakikat pendidikan yang ideal itu sendiri.
Ideal Pendidikan
Pendidikan mesti berorientasi pada pendidikan ideal yang sesuai dengan hakikat pendidikan itu, yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang tampak dalam sikap berpikir kritis dan mampu menganalisa setiap persoalan dengan baik dan teliti.
Pendidikan ideal mesti sejalan dengan hakikat pendidikan sehingga mampu menghasilkan tenaga-tenaga pembangunan yang berdaya guna.
Pendidikan ideal itu melangkah setapak demi setapak namun disertai tekad membaca dan kearifan untuk maju ke depan.
Selain itu, pendidikan ideal merupakan pendidikan yang berbasiskan kesadaran kritis. Maksudnya, proses pendidikan itu mampu mentransformasikan atau merivisi sitem-sistem, tujuan, dan hakikat yang keliru tentang pendidikan itu.
Kesadaran kritis ini meniscahayakan pendidikan ideal yang berkualitas. Karena itu, sistem pendidikan perlu mengutamakan penanaman sikap mental yang kreatif, moralitas yang luhur, etos kerja, disiplin nasional, dan rasa tanggung jawab sosial yang tinggi.
Selain itu, perlu ditumbuhkembangkan kepercayaan kepada kemampuan diri sendiri dan mengikis rasa rendah diri.
Ki Hajar Dewantara, didengkot pendidikan Indonesia sangat menekankan universalitas pendidikan, yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang tampak dalam pembentukan, peningkatan kualitas kepribadian dan pengetahuan insan yang berpendidikan.
Namun, harus diakui bahwa gagasan awal yang merupakan hakikat pendidikan mendapat geseran nilai.
Manusia lebih melihat pendidikan dari sudut pandang ekonomi, yaitu untuk mendapatkan ijazah sebagai salah satu syarat utama mendapatkan pekerjaan instan.
Pendidikan kita tidak seharusnya demikian. Pendidikan hendaknya berorientasi pada pembentukan generasi bangsa yang cerdas secara ilmiah, emosional, dan spiritual, sesuai dengan hakikat pendidikan yang tertera dalam Undang-undang…dengan demikian, fokus pendidikan kita adalah penataan kualitas manusia, bukanya pada ekonomisasi pendidikan.
Pendidikan pada hakikatnya meningkatkan kualitas para pelajar sebagai makhluk serta memiliki kepribadian yang baik. Ideal pendidikan Indonesia hanya bisa terealisasi bila adanya kesadaran kritis.
Kesadaran ini menjadikan kita ‘menukik lebih dalam’ pada pelbagai masalah pendidikan agar sejalan dengan tujuan dan hakikat pendidikan nasional.
Jika demikian, pendidikan tidak serta merta sebagai lahan empuk bagi ekonomisasi pendidikan tetapi sebagai suluh yang menerangi bangsa dalam dan keluar dari belbagai tantangan kebangsaan.
Pendidikan: Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Ada tiga ideal pendidikan yang bisa dibedakan, namun tidak dapat dipisahkan.
Pertama, pendidikan dipahami sebagai upaya membuat manusia jadi cerdas.
Kedua, pendidikan sebagai sarana sosialisasi dan internalisasi nilai dan makna dalam masyarakat.
Dengan pendidikan, manusia diajar tentang adat istiadat dan budaya masyarakatnya, agar dapat hidup secara ‘beradab’, sesuai dengan tata nilai dan makna yang berlaku dalam konteks kebudayaan tersebut.
Ketiga, pendidikan sebagai sarana menciptakan manusia yang dapat berpikir dan yang hidup berdasarkan pertimbangan dan keputusan bebasnya sendiri.
Dengan pendidikan, manusia dilatih untuk mempertanggungjawabkan dirinya sendiri, mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, serta didorong untuk mencari hal-hal baru yang belum diketahuinya.
Pendidikan dalam arti ini, berpuncak pada pertanyaan mendasar tentang seluruh makna kehidupannya, yang berhubungan dengan pencariannya akan tujuan terakhir hidupnya yaitu Tuhan sendiri.
Namun, kita juga tahu bahwa seakan terdapat tembok tinggi yang sulit dipugar antara ideal dan praksis pendidikan.
Dunia pendidikan saat ini ditantang secara hebat oleh budaya massa, budaya konsumsi yang disebabkan perkembangan kapitalisme global, budaya bujuk rayu dan seduksi yang ditawarkan oleh teknologi, budaya instan, pengaruh perkembangan internet dan alat-alat yang mempermudah kerja manusia, yang semuanya memiliki aspek positif tertentu namun menimnulkan kelemahan jiwa.
Tentu saja, harapan agar pendidikan tidak hanya berkaitan dengan soal-soal teoritis melainkan berhubungan praksis hidup yang bermakna, akan selalu memperjuangkan kehidupan yang konstan.
Namun kita pun percaya bahwa masa depan dimulai dengan sikap kritis pada masa ini, seperti refleksi penulis dalam memperingati Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2021.
‘Aku percaya bahwa pendidikan bermaksud mencerdaskan manusia secara penuh hingga ia mencapai keselarasan baru dengan sesamanya dan dengan alam semesta’. (Erich Fromm)
Pada ahkirnya, walau memiliki potret yang buram, dan walau sekolah sering menjadi medan indoktrinisasi teoritis ketimbang medan persiapan menuju hidup yang bermakna, namun dalam sejarahnya pendidikan tetap menjadi “Harapan” bagi upaya “Pembangunan warisan terbaik seluruh umat manusia” dan “Pengembangan daya manusia secara penuh”.
Harapan bukanlah itu saja. Harapan lebih merupakan sebuah kerendahan hati yang aktif, dengan sikap mawas diri yang sadar bahwa biar praktik pendidikan carut marut dan kacau, toh kita boleh terus berpaling padanya, dengan refleksi yang kritis dan dengan kemauan dan usaha gigih untuk terus berbenah.
Penutup
Dunia pendidikan menjadi titik sentral kehidupan umat manusia di zaman modern dan kontemporer saat ini. Riwayat dan sejarah hidup manusia akan berakhir, tanpa kenangan.
Namun dari pendidikan belum sempurna menampilkan esensinya dalam mencerdaskan kehidupan manusia untuk mencapai tujuan hidupnya.
Kehidupan manusia hanya dapat berkembang seiring pertumbuhan pendidikan manusia.
Warna kehidupan tampak jelas saat manusia mampu mengaktualisasikan semua potensi dalam lingkup kecerdasan yang dimilikinya.
Tanpa kecerdasan intelek, emosi, spiritual manusia tidak berdaya apa-apa di hadapan laju arus kehidupan dunia.***
Penuli adalah Mahasiswa Awam STFK Ledalero, Semester VIII