Oleh: Bernardus T. Beding
Beberapa waktu belakangan ini tidak sedikit cuitan di media sosial, entah sadar atau tidak yang menggambarkan kegamangan sejarah.
Di luar adanya unsur politis, cuitan-cuitan para pemilik media sosial menggambarkan adanya penyakit baru yang berbahaya bagi perkembangan sejarah, yakni amnesia sejarah.
Tentu, penyakit tersebut akibat ketidaktaatan terhadap advis tentang ’jasmerah’.
Padahal, sejarah hadir sebagai wujud ingatan kolektif berbagai pengalaman bersama yang memberi kekuatan bagi identitas sosial dan menuntun arah masa depan bersama.
Siapa yang tidak mengenal sosok Tere Liye, seorang sastrawan Indonesia. Pernah Tere Liye membuat postingan di media sosial secara tersurat menulis bahwa kemerdekaan Indonesia diraih semata atas perjuangan para ulama dan tokoh agama.
Bahkan, ia lantas mempertanyakan jasa kaum komunis, sosialis, aktivis HAM, dan pendukung liberal yang menurutnya tidak pernah berjuang melawan penjajahan.
Tulisan Tere Liye tersebut mendapat panenan komentar dan kecaman, sehingga pepatah ‘mulutmu, harimaumu’ pantas disematkan kepadanya saat itu.
Dengan gaya sakartis, pada bagian terakhir postingannya itu, Tere Liye menganjurkan agar kaum muda membaca sejarah bangsanya dengan baik.
Ia mengingatkan untuk tidak terpesona dengan paham-paham luar sampai melupakan sejarah dan kearifan bangsa.
Hal ini merupakan suatu ajakan sekaligus harapan yang sangat positif agar generasi sekarang jangan sampai mengalami amnesia sejarah atau kehilangan ‘jasmerah’.
Sekadar Melihat Satu Sisi Sejarah
Saya mencoba melihat salah satu sisi sejarah, yakni pergerakan nasional. Kemunculan pergerakan nasional pada awal abad 20.
Kemunculannya sangat erat hubungan dengan pengaruh paham-paham luar. AK Pringgidigdo (1994) memaparkan bahwa pergerakan mengandung unsur-unsur ekonomi, kebudayaan, keagamaan, pendidikan, perempuan, dan pemuda.
Bahkan, pergerakan tersebut menyebar luas ke wilayah Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Indonesia Timur, termasuk golongan Tionghoa, Arab, India, Indo dan sebagainya.
Pergerakan bukan hanya milik kelompok radikal, namun juga yang bersifat kooperatrif.
Pergerakan tidak hanya golongan kebangsaan tetapi juga meliputi gerakan keagamaan, marxis, sosialis, dan lainnya.
Dalam perjalanan waktu, pemikiran nasionalisme, sosialisme, komunisme, dan Pen-Islamisme bertumbuh bagaikan lumut di kalangan cendekiawan atau golongan kaum terpelajar.
Pemikiran-pemikiran tersebut mewarnai dinamika perjuangan para elite modern melalui organisasi pergerakan yang mereka bentuk.
Kenyataannya, perbedaan pemikiran yang melatarbelakangi perspektif masing-masing dalam usaha dan gerak perjuangan tidak mengaburkan tujuan bersama, yakni meraih cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Tentu, perjuangan meraih cita-cita dan harapan bangsa tidak terlepas dari peran dari sosok para pejuang dan pendiri bangsa ini yang berasal dari berbagai latar belakang, baik suku, agama, pendidikan, hingga paham-paham atau pemikiran-pemikiran yang diyakini oleh mereka.
Karena itu, kaum muda perlu mengenal lebih baik para pemikir bangsa ini. Misalnya, Haji Oemar Said Tjokroaminoto, toko Sarekat Islam.
Beliau yang mengilhami lahirnya tokoh besar bangsa ini dengan pemikirannya tentang nasionalisme, Islam, dan sosialisme.
Pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto itu, kemudian diwarisi para murid yang indekos di rumahnya.
Selain itu, Soekarno, sang proklamator sekaligus Presiden Pertama Republik Indonesia mendalami pemikiran nasionalisme.
Semaun, Alimin, dan Darsono yang lebih condong pada komunis, sementara Sakarmadji Maridjan Kartosuwirjo dengan membawa pemahaman Islam.
Keberadaan para pejuang non-ulama (agamawan) juga nyata, seperti dari Islam, yakni Soekarno, Hatta, Sutan Sjahrir, dan sebagainya; Ignatius Slamet Riyadi dan IJ Kasimo dari Katolik; Sam Ratulangie dari Kristen; Liem Koen Hian dan Yap Tjwan Bing dari Tionghoa; AR Baswedan dari Arab, dan masih banyak lainnya.
Para penikmat sejarah juga pasti tidak asing dengan sosok Tan Malaka. Bersama Alimin, tokoh kontroversial dalam sejarah bangsa ini menyandang gelar pahlawan yang dianugerahkan Presiden Soekarno pada tahun 1963.
Sayangnya, selama masa Orde Baru, nama Tan Malaka dan Alimin dihapus dari daftar nama pahlawan nasional.
Keduanya nyaris dilupakan dari ingatan sejarah bangsa ini karena statusnya sebagai pahlawan yang mewakili kaum kiri.
Suatu Harapan
Sebelumnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Sekarang: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi) dalam rencana penyederhanaan kurikulum menetapkan mata pelajaran sejarah menjadi tidak wajib dipelajari siswa SMA dan sederajat.
Di kelas 10, sejarah digabung dengan mata pelajaran ilmu pengetahuan sosial (IPS).
Sementara Bagi kelas 11 dan 12 mata pelajaran sejarah hanya masuk dalam kelompok peminatan yang tak bersifat wajib.
Padahal, dalam kurikulum 2013 yang diterapkan selama ini, mata pelajaran Sejarah Indonesia harus dipelajari dan terpisah dari mata pelajaran lainnya.
Namun, berdasarkan hasil evaluasi implementasi kurikulum baik yang dilakukan pemerintah maupun masyarakat serta perubahan paradigma keragaman, Kemendikbudristek menjadikan pelajaran sejarah bagian penting dari keragaman dan kemajemukan serta perjalanan hidup bangsa Indonesia, pada saat ini dan yang akan datang sehingga tidak bisa keluar dari barisan mata pelajaran utama dalam kurikulum baru yang akan digunakan pada Tahun Akademik/Pelajaran 2021/2022 mendatang.
Hal ini merupakan harapan bagi dunia pendidikan sekaligus sebuah kewaspadaan dalam menghadapi perkembangan teknologi dan informasi.
Karena itu, melalui pemahaman sejarah yang baik diharapkan generasi muda tidak sekadar tahu sejarah bangsanya.
Jauh lebih penting mampu menanamkan history consciousness dan Indonesian hood guna mengokohkan kembali identitas bangsa yang mulai terkikis.
Kegamangan dan amnesia sejarah akan melahirkan generasi ahistoris yang dapat meruntuhkan jati diri bangsa.
Akibatnya, masa depan bangsa dan negara ini bisa kehilangan arah. Generasi muda perlu memperoleh wawasan kesejarahan yang benar dan berimbang guna membentuk karakter bangsa.
Karena itu, senada dengan Soekarno tentang ‘Jasmerah’, kita jangan sekali-kali melupakan sejarah.***
Penulis adalah Dosen Prodi PBSI Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng