Oleh: Yohanes A. Loni
Robert Chambers, dalam bukunya Rural Development Putting The Last Fisrs (1983) berbicara tentang arus balik.
Kunci arus balik yang dimaksud Chambers adalah desentralisasi.
Desentralisasi merupakan suatu pola pendekatan pembangunan yang lebih bersifat demokratis serta memberi peluang lebih luas bagi masyarakat desa.
Namun sampai saat ini partisipasi masyarakat di tingkat desa belum memahami sejauh mana para petani diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan mengenai pembangunan desa.
Lemahnya lembaga BPD di tingkat desa mengakibatkan posisi tawar petani sulit menjangkau kebutuhan yang sebenarnya.
Kondisi ini kian kronis apabila BPD sendiri tidak memahami tugas dan tanggung jawabnya dan lebih mengikuti apa yang ‘dimaui’ kepala desa.
Padahal, keberadaan lembaga di tingkat desa merupakan wahana aspirasi dalam memperjuangkan hak-hak di tingkat masyarakat.
Karena itu perlu penyadaran dan penyuluhan terkoordinatif sehingga ter-bentuklah desa sebagai sentra baru pengambilan keputusan.
Untuk mencapai tahap pengertian seperti ini membutuhkan langkah belajar yang terbaik.
Belajar yang terbaik yang dimaksudkan yakni, agen pembangunan perlu belajar terlebih dahulu seluk beluk petani baik cara kerja, komponen keberadaan masyarakat, adat istiadat, lingkungan termasuk cara petani mengungkapkan kebutuhan.
Dengan demikian mampu memimpikan suatu masyarakat ideal di mana ada sistem komplementer yang menguntungkan masyarakat dan pemerintah.
Pemerintah di satu sisi mampu menerjemahkan kebutuhan masyarakat sesuai kondisi riil dan masyarakat di sisi lain dapat merasakan pembangunan sesuai kebutuhan.
Misalnya, jika pemerintah sudah memahami kompleksitas persoalan pemasaran komodati pertanian di desa, maka solusi yang ditempuh di setiap pasar desa dilengkapi dengan sistem ekonomi pelayanan (servic economice) khusus penampung komodati pertanian.
BACA JUGA: “Babat” Para Kades Nakal, Kejari TTU Layak Diacungkan Jempol
Petani tidak harus datang ke kota hanya untuk memasarkan hasil pertaniannya, tetapi melalui jaringan ekonomi pelayanan yang terbentuk di setiap pasar desa itu.
Sistem ekonomi pelayanan ini memungkinkan adanya saking peduli antarmanusia, sehingga masyarakat menyadari hakekat dan martabatnya masing-masing dalam masyarakat.
Karena itu desa harus ditempatkan pada porsi yang sebenarnya sebagai basis urusan pertanian dan peternakan.
Strategi ini dianggap mapan untuk menggerakan komponen terkait kembali ke desa dan menjawabi kebutuhan desa. Inilah yang dinamakan konsep belajar terbalik kembali ke desa.
‘Adanya penggunaan Dana Desa tahun 2021 yang diprioritaskan untuk memulihkan ekonomi diharapkan mampu menjadi akselerator pemulihan keseimbangan roda ekonomi di Indonesia yang bersumber dari desa.’ (Kompas 12 Januari 2021)
Amanat yang dituangkan pada Undang-undang Desa terkait pembangunan di desa adalah perlunya peningkatan kualitas hidup manusia.
Penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
Yang dimaksud dengan keberlanjutan adalah pembangunan desa untuk pemenuhan kebutuhan saat ini dilakukan tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi desa di masa depan.
Strategi Pembangunan Desa
Prof. Dr. Rahardjo Adisasmita, M.Ec, dalam bukunya yang berjudul Pertumbuhan Wilayah dan Wilayah Pertumbuhan mengemukakan bahwa dalam pembangunan suatu wilayah, termasuk desa terdapat beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan adalah Pemanfaatan sumber daya alam (SDA) dan sektor-sektor potensial secara produktif, efisien, dan efektif;
Pembangunan infrastruktur dan sarana pembangunan secara merata ke seluruh bagian wilayah; Peningkatan kemampuan sumber daya manusia (SDM) sebagai insan pembangunan; Penataan dan pemanfaatan tata ruang pembangunan secara optimal.
Dalam menentukan strategi pembangunan suatu daerah maka harus disesuaikan dengan program-program yang akan dilaksanakan.
Itulah sebabnya, strategi yang digunakan oleh satu daerah (atau desa) dengan daerah (atau desa) lainnya berbeda karena menyesuaikan program dan potensi yang ada.
Mudrajad Kuncoro dalam bukunya yang berjudul Otonomi dan Pembangunan Daerah, memilih strategi pembangunan daerah harus memperhatikan tiga aspek yaitu penentuan, tujuan dan kriteria.
Ketiga kriteria ini kemungkinan strategi penyusunan target strategis. Oleh karena itu, dibutuhkan strategi yang tepat dalam pembangunan untuk mewujudkan daerah yang mandiri.
Terdapat sejumlah alternatif lainya yang dapat ditempuh untuk mewujudkan Desa Sejahtera dan Mandiri sebagai manifestasi UU Nomor 6/2014 tentang Desa, yaitu Melaksanakan pemetaan potensi desa dan jaringan pasar yang dapat dikelola untuk menjadi sumber ekonomi desa dan ekonomi masyarakat; Menerapkan metode pembinaan dan pembimbingan atau pendampingan langsung untuk melaksanakan percepatan pembangunan dalam aspek sosial budaya, penguatan kapasitas pemerintah desa dan penataan administrasi pemerintah desa; Membangun sinergitas antara perencanaan pembangunan desa dengan perencanaan daerah dan perencanaan nasional; Membangun tata kelola desa menjadi organisasi modern yang berbasis kultural desa.
Pertanyaan yang perlu kita kritisi bersama adalah mengapa suatu pembangunan dan strategi desa masih disalah gunakan oleh pihak aparat desa sehingga dengan tau dan mau melakukan tindakan korupsi.
Korupsi Dana Desa, Mengapa?
Salah satu persoalan yang terbilang sangat dikecewakan ahkir-ahkir ini pun adalah kepala desa melakukan tindakan korupsi dari dana pemerintah. Mengapa demikian?
Bukankah kepala desa tugasnya membangunan atau mensejahterakan masyarakat desa?
Jika mengacu ke realitas masih kuatnya sikap dan perilaku seseorang atau sekelompok orang yang sedang berkuasa atau menjabat, tidak terkecuali yang menjadi kepala desa, sekretaris desa, dan seterusnya, potensi mereka terjerat dalam praktik penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) sangatlah besar.
Kita tidak bisa mengabaikan doktrin Lord Acton (1834-1902) yang menyebut power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely, atau kekuasaan itu cenderung untuk digunakan korupsi atau kekuasaan yang mutlak cenderung menjadikan seseorang berbuat korupsi secara mutlak pula.
Kekuasaan di tingkat desa juga istimewa. Siapa yang jadi penguasa di desa, ia mendapatkan kepercayaan secara yuridis untuk memerankan diri dalam mengelola dan mengendalikan sumber daya desa, termasuk sumber dana yang diperoleh dari pemerintahan pusat atau daerah.
Menurut Hendra Darmawan (2013), secara garis besar terdapat dua jenis korupsi; (1) korupsi karena kebutuhan (corruption by need) dan (2) korupsi karena keserakahan (corruption by greed). Jenis pertama jelas dilakukan lantaran keterdesakan ekonomi, sehingga oknum tersebut melakukan penyelewengan sampai merugikan negara. Biasanya dilakukan secara individu, tidak sistematis, dan dalam skala yang tidak terlalu besar. Corruption by greed adalah jenis korupsi yang cukup ‘menggemaskan’ karena dilakukan individu/sekelompok orang yang sebenarnya tidak kekurangan (kaya), tetapi karena serakah dan memiliki kesempatan, terjadilah korupsi.
Kekuasaanlah yang kerap disebut-sebut sebagai katalisator seseorang berbuat korup. Korupsi jenis itu biasanya dilakukan secara sistematis, skala besar, berjamaah dan berefek domino yang kuat.
Jabatan kepala desa pun potensial menjadi katalisator terjadinya korupsi. Ketika belum ada tawaran dana Rp1 miliar lebih, tidak sedikit kepala desa jadi tersangka akibat menyalahgunakan anggaran APBN/ APBD.
Secara yuridis, salah satu poin yang paling krusial dalam UU Desa (UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa) terkait dengan alokasi anggaran untuk desa.
Dalam penjelasan Pasal 72 Ayat (2) tentang Keuangan Desa, jumlah alokasi anggaran yang langsung ke desa ditetapkan sebesar 10% dari dan di luar dana transfer daerah.
Kemudian dipertimbangkan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan kesulitan geografi.Diperkirakan, setiap desa akan mendapatkan dana sekitar Rp1,4 miliar berdasarkan perhitungan 10%, yang totalitasnya dari APBN sebesar Rp59,2 triliun, yang ditambah dengan dana dari APBD sebesar 10% sekitar Rp 45,4 triliun sehingga total dana untuk desa Rp104,6 triliun yang akan dibagi ke 72 ribu desa seluruh Indonesia.
Uang sebesar itu di tangan para penguasa desa, jelas, menjadi godaan yang mengerikan. (Kompas, 22 Januari 2020, Membenahi Data Desa)
Uang negara yang didistribusikan ke desa boleh jadi bukan sebagai `berkah’ bagi para masyarakat, melainkan `musibah’ akibat disalahgunakan aparat desa.
Put not your trust in money, but put your money in trust, atau jangan letakkan kepercayaan Anda kepada uang, tetapi letakkan uang Anda dalam kepercayaan, demikian Oliver Wendell Holmes mengingatkan kalangan pemegang kekuasaan, bahwa kredibilitas tidak boleh hancur karena uang, tetapi berfungsinya uang harus dijaga dalam bingkai kredibilitas.
Memang masyarakat layak dibayang-bayangi ketakutan terhadap kemungkinan terjadi booming korupsi yang membuat konstruksi kehidupan desa menjadi karut-marut.
Tetapi mereka juga sudah mendapatkan banyak pelatihan dalam mengelola keuangan secara jujur, transparan, dan akuntabel.
Memang fakta mengisyaratkan kebenaran ketakutan publik tentang kemungkinan adanya kecenderungan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, khususnya dalam pengelolaan uang bernilai miliaran rupiah, pasalnya tidak sedikit dijumpai kasus korupsi yang melibatkan para aparat desa.
Penulis adalah mahasiswa Awam STFK Ledalero. Dia adalah anggota PMKRI Cabang Maumere dan Ketua Ikatan Mahasiswa Manggarai di Maumere