Oleh: Yohanes A. Loni
Masih ingat pepatah klasik ini: “Lidah tak bertulang”! Atau mungkin kita ingat salah satu syair lagu Exist, Mencari Alasan: “Manis di bibir, memutar kata. Siapa terlena pastinya terpana. Bujuknya, rayunya, dan suaranya meminta simpati dan harapan”.
Lidah dan bibir memainkan peran yang sangat sentral dalam berbicara apalagi lidah dan bibir seorang politisi.
Bicara dengan kata-kata indah dan berjanji dengan kata-kata manis adalah salah satu selebrasi yang sering kali mendominasi setiap hajatan politik dan demokrasi, entah Pilkada, Pilgub, Pileg atau pun Pilpres.
Seolah-olah selebrasi politik tanpa janji-janji manis bukanlah hajatan demokrasi.
Janji adalah menyatakan kesediaan atau kesanggupan untuk berbuat sesuatu tanpa adanya keberatan dari seorang pemimpin yang dipilih oleh masyarakat untuk kesejahteraan bersama.
Janji memberi harapan dengan menggunakan lidah yang tak bertulang menjadi hal yang lumrah diumbar walaupun sering lupa.
Lidah seorang politisi sering digunakan untuk menghembuskan angin surga keadilan dan kesejahteraan di tengah masyarakat.
Seolah-olah kesejahteraan dan keadilan sosial adalah buah kerja instan yang bisa disulap dalam sekejap bila rakyat memilih mereka.
Sering terdengar dan terbuai tanpa menakar sejauh mana janji-janji itu rasional dan dapat dilaksanakan.
Masyarakat dengan mudah terlena dan terpana oleh bujuk-rayuan para pemimpin atau dengan cepat “menelan” janji-janji manis dan menghirup dalam-dalam angin surga yang ditiupkan para pemimpin.
Politik dan janji memang tidak dapat dipisahkan, mereka adalah sepasang “suami-istri” yang tak dapat dipisahkan. Boleh dikatakan, tidak ada politik tanpa janji (Filmon Hasrin)
Pertanyaannya, janji yang mana harus dirasakan oleh masyarakat? Pertanyaan ini penting untuk dijawab oleh penyebar janji bahwasannya untuk membawa kemajuan dalam membangun kesejahteraan masyarakat yang lebih sejahtera.
Persoalannya bukan terletak pada ada atau tidaknya janji melainkan kualitas janji. Mantra utama mematikan lawan tanding seolah-olah janji, gosip dan fitnah murahan.
Rasionalitas dan hati nurani masyarakat tersandera oleh kata-kata/janji yang mengawan-awan dan cara-cara yang melabrak etika dan tata aturan demi meraih kepercayaan agar kemenangan bisa digenggam.
Politisi meraih kepercayaan masyarakat yang sebesar-besarnya agar kemenangan dapat digenggam adalah hal yang mati-matian diperjuangkan.
Janji
Menurut kamus bahasa Indonesia karya Windy Novia S.pd, Janji adalah kesediaan dan kesanggupan yang diucapkan.
Tetapi hemat saya janji adalah kesanggupan para pihak yang berkomitmen tentang sesuatu hal pada saat dan tempat tertentu yang harus dilakukan karena ada keterikatan moral.
Bukan hanya sekadar diucapkan! Tetapi keterikatan moral karena dalam sebuah janji selalu ada pihak pertama, kedua, dan seterusnya yang memiliki integritas moral dan keadaban sebagai manusia yang berbudaya dan terikat untuk melaksanannya.
Ketika para politisi mampu menepati janji, maka ikatan moral antarindividu akan terjalin harmonis dan kepercayaan semakin terbangun karena mereka mampu melaksanakannya.
Menepati janji merupakan wujud memuliakan, menghargai, dan menghormati keadaban, keluhuran martabat dan moralitasnya sebagai manusia yang berbudaya, yang ikut dalam komitmen atau perjanjian itu.
Politik Janji
Menjadi pemimpin bukan hanya sekadar mengumbarkan janji-janji manis untuk memperoleh kepercayaan dan legitimasi publik.
Mengumbarkan janji akan berpotensi tidak menepati. Pemimpin sering bersilat lidah dan bermanis bibir lalu memutar kata untuk mendapatkan simpati, kepercayaan dan menggenggam kemenangan.
Menurut Nietzsche dalam karyanya Der Wille Zur Macht (The Will To Power, 1968), tak seorang pun yang perilakunya tidak dimotivasi oleh kehendak untuk berkuasa. Artinya, setiap orang mempunyai kehendak untuk berkuasa.
Manusia menggunakan media bahasa untuk mepengaruhi orang lain sebagai legitimasi atas dirinya.
Oleh karena itu, untuk mendapatkan kekuasaan seseorang seringkali menggunakan kata-kata demi merajut kepercayaan masyarakat.
Dalam hal ini janji-janji manis Politsi menjadi sarana untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan.
Namun ketika janji mampu menunjukkan bukti, maka hal itu menjadi acuan dasar memilih selain visi, misi dan strategi.
“One action is better than just a million words”. Memberikan atau menunjukkan bukti kepada publik tidak lain adalah menyatakan kebenaran dan fakta atas apa yang pernah dikerjakan. Bukan asal omong dan instan seorang politisi!
Karena itu publik mestinya bisa menakar, menilai, memilah sebelum menjatuhkan seorang pemimpin politsi.
Sampai kapan kita berharap pada ‘harapan palsu’. Mari! Kita berhak mendapat yang terbaik dari seorang penebar janji.
Rangkaian kata-kata dengan polesan bibir manis seorang penebar janji jangan sampai membuat kita terlena, kehilangan logika dan akal sehat serta membutakan mata hati nurani kita.
Masyarakat seharusnya membutuhkan kerja nyata dari seorang politisi., sekali bicara langsung bertindak atau kalau boleh tutup mulut dan kerja, kerja dan kerja (Jokowi)
Jika kita kembali ke belakang kebohongan seorang politisi tampak jelas menebarkan janji di tengah masyarakat. Masyarakat mestinya sadar bahwa banyak kebohongan dari seorang politisi.
Ahkir-ahkir ini pun perealisasinya belum jelas yang dirasakan di hati masyarakat pada umumnya.
Banyak infrastruktur, impitan ekonomi yang semakin merosok karena situasi Covid-19 dan bahkan banyak para politisi korupsi uang negara.
Janji politisi bisa jadi hanya untuk segelintir orang saja. Sehingga janji manis hanyalah sekedar kata manis untuk mendapatkan simpati masyarakat.
Politik
Tentunya saya berpikir atau siapa pun yang memahami politik secara sederhana adalah untuk menciptakan kebijakan pemerintah dalam masyarakat.
Namun jika politik hanya berpikir tentang janji, maka jangan heran kemiskinan dan kegagalan dalam menciptakan kesejahteraan.
Mari kita tuntaskan bersama bahwa kehidupan dunia politik setidaknya untuk kebaikan bersama (bonum communee).***
Penulis adalah mahasiswa STFK Ledalero dan anggota biasa PMKRI Maumere