Oleh: Stefan Bandar
Kita adalah dua makhluk asing yang pernah dipertemukan alam dalam putaran waktu. Kita berjalan dalam peziarahan hidup kita masing-masing, lalu tiba-tiba kita bertemu. Entah karena sebuah keharusan ataukah karena sebuah kebetulan, tetapi pertemuan itu sungguh tidak dapat kita hindar.
Lalu kita saling berkenalan. Engkau memperkenalkan dirimu kepadaku tanpa kuminta. Engkau mengutarakan banyak hal tentang dirimu tanpa kuharapkan untuk tahu. Tetapi dari cerita-ceritmu itu ada banyak hal yang aku sadar, termasuk menyadari tentang cara alam mempertemukan kita.
Harus kuakui bahwa setelah pertemuan itu aku selalu memikirkan dirimu. Ada banyak puisi yang kurangkai dalam keheningan. Ya, aku seringkali menulis beberapa bait puisi tentang dirimu saat embun pagi belum beranjak dari rerumputan, saat senja hendak tenggelam. Namun sayang, aku tidak terlalu pandai membacanya sehingga puisi-puisi itu terus terlelap dalam lembaran usang.
Ada banyak hal yang kutulis tentang kamu. Ada banyak syair yang kurangkai tentang waktu yang mempertemukan kita. Engkau membangunkan sajak-sajak lama yang menempel pada masa laluku. Engkau memfonis seluruh diriku dengan bayangmu, memenjara jiwaku dalam segala kenangan yang kita lalui bersama.
Aku seringkali menyebut namamu dalam doaku ketika mentari masih berada di balik gunung di timur sana. Tetapi apakah engkau pernah mengaminkan doa-doaku itu? Aku pernah memimpikan kita dalam suatu pertemuan. Tetapi apakah engkau pernah mengharapkanku hadir dalam mimpimu?
Engkau membuat aku mengerti arti sebuah keindahan. Engkau juga membuat aku bersyukur berkali-kali. Hadirmu bagiku adalah sebuah keindahan yang perlu disyukuri. Setidaknya itulah tanda terima kasihku kepada Tuhan yang kita puji dan puja bersama. Setidaknya itulah caraku membalas kebaikan alam dalam kisah hidupku.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
“Nadya, sepertinya aku harus mengajakmu menemui kedua orang tuaku. Aku ingin engkau menemui mereka. Aku ingin mereka tahu hubungan kita dan memohon restu mereka,” kata Nick memecahkan keheningan antara kami senja itu. “Aku tidak berharap kisah kita ini hanya sampai pada pertemuan seperti ini. Aku ingin menjalin hubungan serius denganmu dan jika aku harus pergi menemui orang tuamu maka aku akan pergi menemui mereka dan mengatakan semua tentang kita kepada mereka,” sambungnya.
“Heemm,, baiklah jika kamu menginginkan hal itu, Jack. Aku juga berpikir untuk menemui kedua orang tuamu. Tetapi apakah kamu sudah pernah menceritakan tentang aku kepada mereka?” tanyaku.
“Iya, aku sering menceritakan kamu kepada mereka. Ada banyak hal yang aku ceritakan kepada mereka. Mereka sangat penasaran dengan kamu sehingga mereka memintaku membawamu ke sana. Aku pernah berjanji pada mereka mengajakmu bertemu mereka bulan kemarin. Tetapi hal itu tidak mungkin sebab bulan kemarin aku sibuk mengurus beberapa pekerjaan kantor yang harus aku selesaikan. Jadi aku pikir aku harus mengajak dan membawamu ke sana hari minggu nanti,” katanya.
“Hari minggu? Sepertinya aku sudah memiliki janji dengan teman-temanku. Kami berjanji adakan reuni bersama di restaurant Ponggaro, di samping lapangan kota sana. Apakah kamu mau ikut, Jack? Sekalian aku ingin memperkenalkan kamu dengan mereka. Oh iya, beberapa temanku tanya tentang foto kita yang aku unggah minggu lalu di fb. Mereka penasaran denganmu, Jack. Mereka ingin bertemu langsung denganmu,” kataku sembari memandangnya yang duduk membisu menatap senja yang hendak tenggelam.
Harus kuakui bahwa pria yang duduk di sebelahku memiliki rupah yang menawan. Banyak perempuan yang mengejar-ngejarnya meskipun hanya untuk sekedar foto bersama. Dan aku adalah salah satu wanita yang memujanya. Namun entah mengapa dari sekian banyak wanita itu dia memilih aku menajadi sandaran hatinya.
Aku tidak menerimanya khanya karena rupanya atau karena popularitasnya. Aku menerimanya karena kau tahu bahwa aku membutuhkan suatu hal yang juga dia butuhkan. Hal itu adalah cinta. Dia membutuhkan sandaran untuk jiwanya yang lelah dan aku membutuhkan dekapan untuk menghangatkan tubuhku yang dingin kaku.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
“Nadya, apakah kamu berpikir dia akan datang? Saya curiga dia hanya memberi kita janji palsu. Apakah kamu sudah mengenalnya lebih dekat?” sebuah suara tiba-tiba muncul dan berhasil memecahkan keheningan ruangan itu. “Aku juga berpikir bahwa dia bukan seoarang yang baik, Nad. Minggu lalu saja dia sudah membohongi kita. Kalian masih ingat kan? Kasihan sekali kalau lelaki tampan seperti dia ternyata tidaklah lebih dari seorang pembohong,” sebuah suara menyahut dari sudut yang lain. “Oh, iya aku ingat. Dulu dia pernah berjanji untuk traktir aku dan Nadya makan malam di sebuah restoran di sebelah toko pakaian itu. Hampir dua jam kami menunggu di sana tetapi dia tidak datang. Eh, ujung-ujungnya aku harus mengeluarkan uang saku untuk membayar semua makanan. Sebenarnya seperti apa sih aslinya lakimu itu, Nad?” sahut suara lain lagi.
Aku terdiam mendengar semua ucapan teman-temanku. Memang kuakui bahwa seringkali Jack tidak menepati janjinya. Ketika kutanya alasan dia tidak hadir di sana, ia selalu mengatakan hal yang membuat aku percaya kepadanya. Berbagai alasan diberikannya kepadaku dan semuanya cukup jelas untuk dipercaya.
“Mungkin dia memiliki hal lain yang lebih penting. Toh, kita tidak tahu apa kesibukannya di sana dan aku sendiri juga belum mengenal lebih dalam tentang Jack. Tetapi bagiku mungkin melakukan semuanya dengan alasan yang kuat,” kataku membela Jack yang belum juga muncul.
“Jangan sampai kamu dibodohi oleh cinta, Nad. Jangan sampai dia hanya mempermainkan perasaanmu dengan rupahnya yang menawan. Jujur si, lelakimu tiu idaman seluruh perempuan. Tetapi kalau dia melakukan hal seperti ini, perempuan mana coba yang mampu bertahan,” kata seorang sahabatku yang sedari tadi diam saja.
“Hemm, mungkin saat ini dia juga memiliki hal yang sangat penting sehingga dia tidak bisa memenuhi janjinya. Atau mungkin karena gerimis di luar sana makanya dia tidak datang,” kata seorang yang lainnya lagi.
Memang di luar gerimis turun perlahan bahkan dari senja tadi. Dan sekarang sudah mulai lebat. Apalagi restoran tempat kami dinner cukup jauh dari rumahnya. Mungkin dia tidak akan datang, gumanku.
Makanan yang kami pesan beberapa saat yang lalu kini tersedia di atas meja. Dengan segera kami melahap makanan tersebut sambil menceritakan beberapa kejadian yang berlalu. Beberapa kali tawa kami menggema memecahkan keheningan ruangan besar itu. Di sudut sana beberapa pasang mata memerhatikan kami dengan serius, dengan tatapan sindiran.
“Eh, coba kamu cek di fb kamu. Ada berita baru ni. Ada kecelakaan di gang sebelah,” kata Lasni yangsedari tadi sibuk dengan chellphonenya. “Kasihan ya. Lelaki ini meninggal di tempat kejadian,” sambungnya lagi.
“Coba aku lihat,” kata Marny. “Eh, orang ini sepertinya tidak asing ya. Coba deh kalian lihat,” katanya lagi. “Astaga, ini kan Jack, cowok kamu Nad,” kata Nadya terkejut. Aku segera bangun dan berlari menuju tempat kejadian yang letaknya tidak jauh dari restoran itu.
Aku menerobos kerumunan orang banyak yang berdiri menatap kaku tubuh yang tergeletak di tengah jalan. Kulihat air hujan yang mengalir di atas aspal berubah. Darah keluar dan mengalir bagaikan aliran air dari mata air disaat ujan turun. Sebuah sepeda motor tergeletak dengan bentuknya yang tidak jelas lagi. Sepeda motor yang sering membawa aku melintasi gunung-gunung di timur sana. Seikat mawar merah tergeletak dengan plastik yang terrobek sebagiannya. Akh, Jack!
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Terkadang waktu itu sangat kejam. Ia tidak pernah mengerti betapa sakitnya menahan rindu. Ia tidak pernah memahami betapa pedihnya ketika sebuah penantian hanya berujung pada sebuah perpisahan tanpa ucapan selamat tinggal. Sekejap saja engkau datang dan singgah namun menyisahkan kenangan yang abadi dalam hidupku.
Barangkali kita memang hanyalah sebuah kebetulan saja. Mencoba merangkai cerita-cerita indah adalah kebiasaan kita tetapi kita lupa untuk saling bertanya apakah kita memiliki definisi yang sama tentang cinta. Kita mencoba berjalan bersama tetapi lupa saling bertanya apakah tujuan kita sama. Kita adalah makhluk asing yang dipertemukan alam dan juga dipisahkan alam.
Aku tahu bahwa setelah mengingkari janji itu engkau bahagia di sana. Engkau seolah tidak pernah memikirkan bahwa aku juga memiliki perasaan, membutuhkan kehadiran dirimu. Apakah aku pernah berlaku tidak adil dengan perasaanmu? Bukan aku. Engkaulah yang berlaku tidak adil dengan perasaanku.
Setelah kepergiamu saat itu ada banyak hal yang kulakukan. Bahkan mencoba melakukan hal-hal yang tidak pernah kuinginkan. Aku mencoba menahan luka yang begitu perih, menghapus air mata yang tertumpah begitu saja. Kamu tahu bahwa aku adalah seorang yang membenci air mata. Namun di hadapan bayangmu air mataku jatuh berkali-kali.
Penulis adalah mahasiswa STFK Ledalero