“Sebut saja namanya Maryam yang mengisi ruang kosong di hati ini”
*Oleh: Aken Ruing
Aku terlalu nyaman bersamamu. Aku takut kehilanganmu. Aku takut bila tidak bersamamu, melewati dini hari yang hening tanpa menerima pesanmu. Tidak rela kehilangan perhatian-perhatian kecil yang membungkus hangat hatiku.
Tak ada yang mampu kurahasiakan lagi Maryam yang selalu kusapa dengan nama manjamu “Ina”. Aku selalu lupa, ah bukan, aku memang tidak ingat, mengapa kita bisa begitu dekat.
Aku tahu Ina bukan sosok yang mudah dekat dengan siapa pun. Aku juga tahu, Ina bukan tipe orang yang mudah membuka hatimu untuk siapa pun.
Sulit kupercaya saat Ina memberikan nomor dengan alasan agar aku punya teman berbincang saat terjaga tengah malam.
Saat ini, aku menyesal tidak menanyakan alasanmu. Apa aku terlalu terkesima mengetahui siapa dirimu? Apa aku terlalu bahagia kamu membuka hatimu untukku? Entahlah.
Ina, terlalu banyak perbedaan di antara kita. Ina seseorang yang memandang segalanya berdasarkan analisismu dan aku selalu menyertakan perasaanku.
Dalam hal apa pun, kita tidak pernah bertemu dalam satu titik yang sama. Percakapan kita melalui pesan-pesan singkat dan panjang pun tak pernah berujung mufakat.
Bagaimana bisa, aku yang tidak suka diatur dan kamu yang suka mengatur serta memaksakan pendapatmu yang aku akui kebenarannya, bisa terlibat percakapan panjang seolah tak berujung?
Lucunya, kita seolah enggan untuk mengakhiri percakapan kita. Ya, itulah kita. Aku dan Ina.
Sejujurnya, aku menyukai percakapan kita. Saat tumpukan pekerjaan memaksamu untuk jeda sejenak.
Saat dingin pagi membuat tanganku gemetar mengetik pesan untukmu. Aku menikmati setiap detik yang bergulir bersamamu. Apakah ini salah? Perasaan yang aku miliki? Rasa yang tumbuh di hatiku?
Perasaan yang menyiksaku. Perasaan yang membuatku takut suatu hari kamu akan pergi dariku.
Ketakutan yang tidak beralasan dan konyol. Mungkin karena aku tahu bagaimana rasanya kehilangan. Menyedihkan, bukan?
Tidak ada yang salah di antara kita. Mungkin ini hanya rasaku saja. Sejujurnya, Ina tidak pernah menawarkan rasa apa pun padaku. Tidak juga hatimu. Sejak awal aku sudah tahu semuanya.
Aku mengerti seperti apa hubungan kita. Mungkin karena aku terlalu nyaman bersamamu. Membicarakan segala hal denganmu.
Ahhh, seharusnya tidak kubiarkan hatiku bermain-main di hatimu. Tidak seharusnya kubiarkan perasaanku mengembara terlalu jauh hingga memasuki ruang di hatimu.
Ina, seolah menyediakan celah yang memudahkan aku masuk ke dalam hatimu.
Pria seperti apa aku ini? Saat ini, apakah terlambat bagiku untuk menghapusmu? Sesulit inikah melepasmu dari ingatanku?
Saat aku sadari, betapa aku selalu merindukan percakapan kita. Kerinduan yang sudah menjadi candu untukku.
Selamat malam, kaka sudah tidur? Apa yang kamu lakukan seharian ini? Apakah harimu menyenangkan? Tadi kamu tidak terlambat makan siang, kan? Sudah makan malam? Tidurlah, jangan terlalu malam! Semoga mimpi indah! Jangan telat tidurnya tidak baik untuk kesehatanmu. Kalau bosok pergi kemana – mana jangan lupa pake jaket, halm, masker, dan bawa motor hati – hati.. tetap semangat.. Jangan lupa selalu tersenyum ya.
Hmmm, jangan terlalu khawatir denganku aku pasti selalu baik – baik. Jaga kesehatanmu juga. Aku sedih bila kamu sakit. Ina membuat aku cemas. Aku rindu kalau seharian tak ada kabar darimu.
Betapa aku merindukan semua pertanyaan itu memenuhi aplikasi WA-ku. Perhatian kecil yang tidak pernah berhenti membuat perasaanku melambung.
Perhatian kecil yang membuatku tidak peduli siapa dirimu. Perhatian kecil yang membuat aku menjadi perempuan serakah dan tidak tahu malu.
Konyolnya, hatiku menolak untuk tersadar. Ah, begitu besarkah artimu bagi diriku? Sehingga aku menolak untuk kehilanganmu? Kurasa, ada yang salah dengan isi kepalaa dan juga hatiku.
Kata perpisahan memang tidak pernah terlontar darimu. Baik secara langsung saat kita bertemu maupun melalui pesan. Namun, aku terlalu enggan untuk menanyakan perubahan sikapmu.
Bisa jadi, aku terlalu takut mendengar pengakuanmu bila kutanyakan kesenjangan yang tercipta di antara kita.
Takut Ina mengatakan sesuatu yang akan membuatku terluka. Takut Ina mengatakan bahwa apa yang terjadi di antara kita adalah suatu kesalahan atau kekhilafan? Ketakutan yang seharusnya tidak boleh ada. Ya, seharusnya karena kita tidak pernah bersepakat dalam satu rasa.
Sejak awal kita tahu di mana posisi kita masing-masing. Di mana sebenarnya hati kita berada? Oh, bukan. Tepatnya, di manaya Ina hatinya berada? Namun, aku berusaha tidak peduli akan kenyataan itu.
Aku terlalu nyaman bersamamu. Aku takut kehilanganmu. Aku takut bila tidak bersamamu, melewati dini hari yang hening tanpa menerima pesanmu.
Tidak rela kehilangan perhatian-perhatian kecil yang membungkus hangat hatiku.
Perhatian kecil yang tak pernah gagal menghadirkan senyum tipis di bibirku, degup tak beraturan di jantungku, serta perasaan asing yang mengaliri sel-sel di tubuhku. Konyolnya, aku izinkan perasaanku lepas kendali karenamu.
Sesungguhnya, aku merindukan percakapan kita. Saat anganku tak mampu melupakanmu sedikit pun. Tentangmu yang terlalu dalam tertinggal di ingatanku.
Menguasai seluruh ruang di kepalaku. Sesulit apa pun aku berusaha untuk melenyapkanmu dari ingatanku, tetapi aku selalu balik pada titik yang sama, aku terlalu takut kehilanganmu.
Kamu mungkin akan tertawa melihat kebodohanku.
Aku selalu ingat apa yang kamu katakan di awal kedekatan kita “Ingat kita bertemu karena satu alasan satu tujuan demi panggilan Tuhan”. Saat itu aku hanya terdiam dan terseyum tanpa suara mendengar kata-katamu.
Bila kamu tahu apa yang terjadi dengan hatiku, mungkin kamu yang akan tertawa melihat kebodohanku. Bisa jadi juga kamu kasihan padaku.
Ina berhasil mengacaukan perasaanku. Mematahkan hatiku. Konyolnya, aku butuh patah berkali-kali untuk bisa melupakanmu. Membencimu.
Terlalu banyak ruang di hati dan ingatanku yang kamu curi dariku. Menyedihkannya, kamu tidak tahu itu. Mungkin kamu memang tidak peduli itu.
Jangan jatuh cinta padaku karena Ina akan terluka. Aku telah memilih di mana hatiku berlabuh. Tapi, jika Ina sedang bersedih dan perlu teman bercerita, hubungi aku.
Aku akan selalu ada untukmu. Aku akan menghiburmu. Aku akan membuatmu kembali tersenyum.
Ina Maryam benar. Ina telah berhasil membuatku tersenyum sekaligus menangis. Tidak ada sehari pun tentangmu yang lolos dari ingatanku.
Tidak ada yang baik-baik saja denganku setelah kita menjauh. Ini bukan salahmu. Semua tentang rasa yang ada di hatiku.
Sekali pun aku tidak pernah menyesalinya. Tentang rasa yang tidak pernah sampai ke hatimu. Tentang ingatan yang tidak bisa mati di benakku.
Sejujurnya, aku masih merindukan percakapan kita. Aku terlalu payah untuk melupakan segala tentangmu. Sepayah usahaku untuk tidak mengingat percakapan kita. Sesuatu yang ingin aku hapus tentangmu.
Tentangmu yang menguasai ruang kosong dihatiku. Ternyata sesulit ini melupakanmu. Apa aku yang terlalu payah dalam hal melupakan?
Bagaimana dengan Ina? Aku yakin kau baik-baik saja. Aku melihat rona bahagia itu di wajah Ina.
Ya, Ina dengan pemilik hati di mana Ina labuhkan hatimu. Aku masih waras dan tahu diri untuk tidak menjadi orang ketiga bagi hubungan Ina bersama Dia tidak mungkin ina mengabdi dua tuan sekalis.
Aku hanya selalu mampu menyimpan perasaanku rapat-rapat darimu. Aku tidak pernah bisa merusak hubungan Ina dengan Dia.
Mungkin juga aku tidak punya keberanian untuk melakukannya. Sekalipun pikiran jahat itu ada di kepalaku. Saat ini aku hanya ingin mencintaimu dalam setiap hening doaku. Apakah itu bisa untuk menghapus seluruh rindu tentangmu?
Maumere, 12 Mei 2021
Tuhan sang penggoda
Profil Penulis:
Yoakim Lango Ruing lahir di Lerahinga – Lembata NTT. Aken Ruing adalah nama pena dikenal sebagai seorang yang puitis. Menulis menjadi cita – citanya karena dengan menulis Yoakim Lango Ruing bisa lepas dari penderitaannya.