Oleh: Yohanes A. Loni
“You are the student of problem” (Kalian adalah mahasiswa-mahasiswa persoalan).
Dari pernyataan di atas, pada hemat saya filsuf Popper mengidealkan seorang pelajar berkualifikasi kritis, peka dan tanggap terhadap realitas sosial yang sedang terjadi di masyarakat.
Idealisme Popper ini menjadi penggugah kesadaran akademis mahasiswa akan situasi dunia politik saat ini.
Kesadaran aktivis tidak hanya idealisme secara konseptual dan teoritis di atas kursi akademis, tetapi berani bersikap kritis, peka dan tanggap, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap realitas sosial.
Kesadaran Aktivis
Di tengah aneka dinamika sosial dan tantangan zaman dewasa ini, pilihan menjadi aktivis bagi seorang mahasiswa merupakan pilihan ideal yang mesti dipertanggungjawabkan dengan cara menjaga kualitas dan integritas diri sebagai seorang kader.
Seorang aktivis berhadapan dengan politik praktis harus memberikan solusi atas persoalan-persoalan yang sedang terjadi di masyarakat dengan berbagai aneka problematikanya.
Aktivis tidak akan “turun ke jalan” kalau tidak memiliki pengetahuan mengenai persoalan masyarakat serta memiliki perhatian terhadap persoalan-persoalan masyarakat.
Protes dalam sejumlah bentuk seperti demonstrasi, pawai dan tulisan dalam bentuk opini hemat saya ada semacam ketidakpuasan aktivis dengan kebijakan dan argumentasi yang jelas oleh penguasa negri ini.
Demontrasi salah satu bentuk partisipasi dari gerakan aktivis yang notabenenya sudah melakukan analisis-analisis terhadap perkembangan perpolitikan nasional maupun lokal.
Demonstrasi, unjuk rasa, dan sejenisnya merupakan respons dari keadaan yang terjadi dalam suatu lingkungan politik.
Tugas aktivis akan berekspektasi terhadap apa yang dilakukannya. Ekspektasi itu bahwa pemerintah dan para politisi yang menjabat membuat kebijakan-kebijakan yang tidak berdasarkan kepentingan rakyat tetapi lebih pada kepentingan pribadi.
Di sinilah aktivis selalu melayangkan berbagai macam bentuk kritikan terhadap pemerintah dalam dimensi politik.
Kesadaran aktivis menggunakan kerangka akademik, sehingga aktivis mempunyai pemahaman konseptual terhadap apa yang terjadi dan bagaimana seharusnya.
Aktivis harus melibatkan diri dalam masalah-masalah strategi politik, baik strategi permainan power atau strategi modernisasi (kultural).
Aktivis Berhadapan dengan Penguasa
Kita menyaksikan para politikus dengan “kegelapan nurani”. Yang terjadi adalah manipulasi ruang publik untuk menjadi “ruang horor”, tempat dimana kekuatan gelap bermain.
Di dalam ruangan itu, sang penguasa tidak lagi sanggup membuat siscernment untuk membedakan yang antara “yang baik” dan “yang buruk”.
Sering terjadi para penguasa menutup diri terhadap perintihan dari bawah. Suara dipinggir jalan diabaikan.
Keluhan dari gubuk reyot dibekukan. Hak seorang petani dihapuskan dengan sogokan si kaya.
Hakim dan jasa mempermainkan keadilan dan kebenaran para legislator menampilkan diri dalam wajah ganda.
Di hadapan rakyat, mereka tampil santun dan ramah, sementara dalam tugas dan komunikasi politik, mereka pintar bermain dengan seribu satu intrik.
Masa depan tanpak bukan sebagai pilihan. Semuanya tinggal sebagai slogan. Manusia semacam kehilangan “kultur cita rasa” dan “budaya empat” terhadap sesamanya.
Ada kematian nurani dan kegelapan cara berpikir yang baik. Alasannya, pragmatisme hidup manusia bermuara pada “ingat diri”.
Politik kehilangan inspirasi keadilan untuk kesejahteraan hidup.
Agama-agama kehilangan charitas sebagai roh, dan sering menampilkan diri sebagai institusi dogmatis dan fundamnetalistis.
Agama tidak lagi menjadi etos yang memeri jaminan keamanan hidup.
Bahkan Tuhan dalam agama sering dihadirkan sebagai figur bapak yang berwajah maut dan menakutkan orang-orang beriman suka menjual nama Allah dalam ruang publik hanya untuk nafsu diri.
Aktivis Berhadapan dengan Politik Praktis
Mahasiswa memiliki kesadaran politik praktis.
Pertama, gerakan instrumental (instrumental movement) dimana orang-orang yang terlibat dalam aksi politik kolektif menginginkan implementasi (untuk pemenuhan) hak-hak warga negara.
Kedua, yaitu gerakan ekspresif (expressive movement) tercipta bukan karena mereka menginginkan sesuatu yang sifatnya eksternal, tetapi merupakan ekspresi dari sesuatu yang mereka alami sendiri, seperti halnya ketidak adilan.
Namun kesadaran politik yang ada sekarang tampaknya tidak dibangun atas refleksi kritis terhadap realitas, bahkan terkadang cenderung sporadis.
Aktivis tidak terikat dengan lingkungan kekuasaan politik tertentu. Aktivis adalah kelompok intelektual yang independen.
Gerakan aktivis berada di luar struktur dan lembaga politik. Aktivis adalah kekuatan kritis yang bekerja di luar sistem tetapi kiprah mereka selalu berorintasi pada perubahan sistem.
Politik belum menjadi politik yang bermartabat, kalau tatanan hidup bersama dan demokrasi kehilangan roh kemanusiaan. Bahwa sesungguhnya, demokrasi, kebenaran, keadilan, rasionalitas dan iman tidak boleh mengabaikan “cita rasa kemanusiaan dan “simpati”.
Perjuangan politik harus bermuara pada politik “martabat”. Tujuan politik bagi aktivis harus bermuara pada pengolahan imajinasi dan cita rasa kemanusiaan.
Penulis adalah mahasiswa STFK Ledalero dan anggota biasa PMKRI Maumere