Oleh: Fancy Ballo
Sudah berabad lamanya Gereja berkarya di Indonesia. Tetapi sejauh mana peran gereja dalam memajukan masyarakat [umat] untuk memberantas kemiskinan?
Gereja dalam pengertian ini ialah selain secara sosiologis sebagai sebuah institusi, tetapi lebih kepada Gereja sebagai komunitas religius dan hierarkis.
Sudah sejauh mana Gereja merealisasikan misi dengan datang, lihat, dan menyentuh langsung realitas kemiskinan, ketertinggalan, penindasan, dan berbagai soal kepincangan kehidupan ekonomi-sosial-politik masyarakat di Indonesia.
Pada peringatan Hari Komunikasi sedunia yang ke-55 tahun ini, Paus mengajak kita untuk terlibat. Gereja diajak untuk kembali memahami hakikat misi-Nya yang paling mendasar.
Allah yang menjadi manusia, mewajah dalam pribadi Yesus dan menyentuh realitas kemanusiaan kita dalam sejarah.
Allah yang datang, lihat, dan menyentuh, adalah wujud komunikasi yang paling intens dengan manunsia. Manusia tergerak hati, menjadi akrab, dibebaskan dan diselamatkan.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk mereduksi pesan Paus yang universal kepada Gereja sabagai subjek pelaksana pesan secara partikular.
Namun, ini perlu menjadi buah refleksi bagi Gereja, dan kiranya sangat relevan menjadi catatan bagi misi pewartaan Gereja dewasa ini.
Apakah Gereja cukup berani untuk datang dan lihat, turun dari zona nyaman rumah pastoral dan biara-biara, pergi menjumpai umatnya dalam situasi yang apa adanya?
Ataukah Gereja masih cenderung untuk menjumpai umat karena ada apanya?
Inilah yang menjadi penekanan utama dari pesan “datang dan lihatlah” agar Gereja mampu mewartakan kebenaran yang sungguh lahir dari pengelaman perjumpaan bukan atas ‘desas-desus’.
Kehadiran Gereja, perihal keterlibatan praksisnya dalam pembangunan masyarakat sepanjang sejarah memang selalu menuai pro-kontra.
Ada yang menghendaki keterlibatan praksis Gereja secara konkret dalam situasi yang dialami masyarkat.
Dan ada juga yang menolak bahwa bukan tugas Gereja untuk terlibat secara konkret baik secara sosial, ekonomi atau politik.
Dengan demikian Gereja hanya terlibat sejauh berkaitan dengan perjuangan harkat martabat manusia serta hak-hak asasi manusia.
Atau dengan kata lain, Gereja hanya terlibat sejauh berkaitan dengan pembangunan moralitas kemanusiaan.
Dokumen Sinode Para Uskup Tahun 1971 Iustitia In Mundo mengatakan bahwa Gereja bertugas untuk menjadi saksi bagi dunia dan ini harus tampak dalam institusi-institusi Gerejawi dan kaum Kristiani sendiri.
Namun, Sinode ini pun memberi batasan bahwa upaya untuk pencarian solusi konkret secara sosial, ekonomi, atau politik untuk terciptanya keadilan di dunia ini bukanlah tugas Gereja.
Jadi, di hadapan realitas kemiskinan, Gereja hanya hadir sebagai instrumen penghibur dan menguatkan orang-orang miskin dan tertinndas agar mereka kuat dan tabah dalam situasi itu.
Sembari gereja memberikan harapan kebahagiaan eskatologis setelah penderitaan di dunia ini.
Sebuah sinar harapan baru kemudian lahir dalam surat Nasehat Apostolik Paus Paulus VI (1957) yang berjudul, Evangelii Nuntiandi.
Dikatakan bahwa pewartaan Injil tidaklah lengkap apa bila tidak mengungkapkan hubungan yang bersifat langsung antara Injil dengan kehidupan manusia secara konkret, baik personal maupun secara sosial. Hal ini menuntut implikasi nyata dari tugas Gereja.
Dan Gereja mesti sadar bahwa keselamatan yang dikerjakan Allah di tengah realitas ketertindasan kaum Israel di Mesir itu adalah bentuk keterlibatan yang paling nyata dan ontetik.
Kehidupan masyarakat dalam banyak bidang, baik ekonomi-sosial-politik di Indonesia hingga dunia abad ke-21 ini masih jauh dari kata sejahtera.
Masih begitu banyak kehidupan masyarakat yang kalut dalam realitas kemiskinan. Baik akibat derita ketidakadilan ekonomi, sosial dan politik, dan juga derita keterbatasan sumber daya manusia.
Inilah realistas wajah muram masyarakat Indonesia yang perlu disibak, dan menuntut peran praktis Gereja.
Datang dan lihat, untuk sama-sama “berpikir dan bekerja” agar masyarakat terbebaskan dari kemiskinan.
Data Badan Pusat Statistik Indonesia Tahun 2020, menunjukan peningkatan persentase peduduk miskin sebesar 9,78 persen dari tahun sebelumnya.
Jumlah penduduk miskin dilaporkan pada Maret 2020 sebesar 26,42 juta orang. Dengan rincian jumlah penduduk miskin terbanyak terdapat di wilayah pedesaan.
Dari data yang ada, dengan kembali pada pokok pesan Paus untuk datang dan lihat, dan dilatarbelakangi amanat dalam Evangelii Nuntiandi menunjukan bahwa tugas pewartaan Gereja untuk membebaskan kemiskianan di Indonesia masih sangat relevan dan bahkan urgen.
Gereja mesti datang menjumpai masyarakat dalam realitas kemiskinan yang apa adanya, melihat untuk mengenal secara lebih jelas.
Mengetahui sebab-sebab terdalam sebagai faktor yang melanggengkan status quo kemiskinan di dalam kehidupan masyarakat.
Sehingga Gereja dengan bantuan berbagai analisis ilmu pengetahuan mampu mendongkrak baik itu kondisi ekonomi, politik, dan atau budaya yang menjerat kehidupan masyarakat pada kemiskinan untuk upaya pembebasan kepada kesejahteraan.
Gereja mesti lebih berani untuk menanggalkan kewibawaan seorang raja, meninggalkan istana pastoral dan biara-biara dan menjadi nabi untuk memberi kesaksian.
Datang membangun komunikasi dengan oang-orang miskin di desa-desa terpencil. Melihat realitas orang-orang yang karena kemiskinan hingga tidak mampu untuk memberi derma, tidak berani mengundang pastor untuk merayakan ekaristi syukuran, dll., lalu mencari jalan keluar sebagai bentuk keterlibatan kasih Kristus untuk mengangkat mereka dari situasi itu.
Kehadiran Gereja juga hendaknya mampu membangun realasi yang sehat dengan para pemimpin dalam masyarakat di bidang pemerintahan.
Lebih jauh Gereja mesti terlibat dengang mengambil posisi yang sama sebagai masyarakat untuk menyuarakan hak-hak mereka.
Berani mayampaikan kritik dan saran atas berbagai kebijakan yang tidak pro-rakyat, konsisten menentang berbagai praktik pemerintahan yang korup, dan mengapresiasi bila kebjikan diarahkan secara tepat guna bagi masyarakat.
Dengan demikian Gereja terhindarkan dari praktik yang mencari nyaman, bernaung di bawah “ketiak” penguasa dan mengambil jarak dari masyarakat.
Relasi yang dibangun harus merupakan representasi dari keberadaan orang-orang miskin yang terabaikan dan perjuangan untuk kepentingan mereka, bukan untuk kepentingan Gereja ke dalam.
Akhirnya, keterlibatan Gereja di tengah situasi kemiskinan dan ketertindasan masyarakat haruslah berbuah kepada perubahan.
Datang dan lihat adalah tugas pewartaan Gereja yang paling sederhana, serentak pula menuntut keberanian berjalan turun untuk membawa naik banyak orang dari lumpur kemiskinan kepada kesejahteraan.
Sehingga kebenaran pewartaan Yesus dalam sejarah keselamatan, Allah yang menjadi manusia, sungguh dirasakan dan dialami secara nyata oleh masyarakat.
Masyarakat digerakkan dan mampu mencapai perubahan kepada hidup yang lebih baik.
Demikian pun iman mereka semakin diperteguh oleh karena kesaksian yang nyata dalam keterlibatan yang menyentuh realitas mereka.
Penulis adalah Mahasiswa STFK Ledalero