*Cerpen
Oleh: Marsel Koka
Kris. Itu sapaannya. Nama yang dibabtis saat Ia belum sepenuhnya lugas mengucapkan Tuhan. Ia mekar dalam keluarga sederhana.
Ayah dan ibunya petani biasa dengan penghasilan yang pas-pasan. Lingkungan tempat ia tumbuh juga tak tenar-tenar amat.
Hanya kampung pencil namun akur dalam membaur. Dulu Ia hanya seorang anak kecil dengan mimpi yang masih dingin.
Namun kini tumbuh perlahan dalam derap yang tenang, sambil coba mengapai langit sebagai musafir.
Beberapa tahun silam, setelah SMAnya tamat, Ia merasa hilang arah dan buntuh tempat tuju.
Ingin mengejar yang benar tapi tahu harus ke mana. Sekolah politik Ia tak ingin.
Sebab telah banyak anak bangsa yang sementara pasrah dan marah pada pejabat yang malah salah jaga jabatan yang dipercayakan.
Sekolah hukum, Ia tak tulus. Karena sudah dari dulu hukum telah dijuluk. Tajam ke bawah dan patah ke atas.
Tapi kini tak lagi. Sekolah polisi? Ia tahu diri. Mana mungkin orang tak punya duit itu mungkin? Apalagi orang dalam juga tak ada. Ya itu zaman yang lama, tapi sekarang sudah taka da.
Satu pagi ketika mentari masih membisu diselimutnya, Kris melangkah ke rumah kawannya.
Di sana, matanya menangkap sebuah kertas yang telah tergeletak tak pada tempatnya. Padanya terdapat sebuah amanat, “datang dan lihatlah”.
Konon, dua kata itu juga yang membuat Petrus, Yakobus dan Yohanes, nelayan sederhana di pedalaman Galilea terhentak segerah, lalu melepaskan segalanya.
Termasuk pukat, ladang, dan juga sanak keluarga. Di awal itu kertas diulis begini, jika engkau ingin menemukan kebenaran dalam hidupmu, maka cari dan temukan kebenaran itu sampai dapat! Niscaya pasti kau sampai.
Kenapa harus kamu, bukan dia dan mereka di rumah sebelah? Protesnya mamanya. Ma, bukan kita apalagi kamu bisa menahan cinta yang telah mengikat anak kita. Dia yang tak berawal dan tak berahir itu mengatur apa yang Dia mau dan bebas memilih siapa yang Dia ingin. Bukan kita Ma, Bukan! Ma, Tuhan itu pandai membuat tanda heran. Ia menangkap, saat kau berada pada keadaan yang tak disangka-sangka. Ia ahli dan pandai mengambil hati yang Ia kasihi. Kata ayahnya tegas.
Pertengahan Juni semuanya terukir. Di pintu rumah segala suka juga duka tumpah ruah. Dengan dua tiga kali tangan melambai.
Dan dengan nada yang patah-patah, mamanya berkata, nak selamat mengarung di tempat barumu. Semoga kamu selalu menyatuh dengan sang waktu.
Jangan lupa Ingat mama, saat kau menjamu di meja perjamuan. Juga bawa bapamu saat kau sembayang. Kau, anak yang kusayangi namun tak mengapa jika kuserahkan pada-Nya. Percakapan selesai. Pintu rumah pun di tutup.
Kehidupan seminari Ia mulai. Hari-hari selalu bervariasi. Doa, belajar, kerja dan makan seperti biasa. Berjalan pada saatnya.
Banyak sahabat tak sedarah tapi diikat dalam satu cinta. Yang paling berat menurutnya adalah saat Ia harus bisa membaur dalam satu alur dengan kawan yang berbeda asal.
Itu tak pernah gampang sebab salah-salah Ia bisa pisah jalan. Dia sadar kalau seminari adalah tempat tinggal orang-orang lincah, dengan gaya filsafat yang khas.
Maka dari itu, giat belajar tidak boleh sia-sia. Percakapan di meja makan kadang selalu berlama-lama karena banyak hal yang dibahas, namun tak juga tuntas dikupas.
Jadwal yang paling Ia dambakan adalah olaraga di lapangan. Bagi yang lain dia jendral lapangan tengah dan pesepak bola yang handal.
Dibanggakan oleh kawan-kawan, karena selalu mengalahkan lawan dengan gaya beraksi yang sulit diprediksi. Laju kakinya tak gampang dijangkau kalau engkau sisa sejarak dari belakang.
Kadang saling berantam jika gagal mengalah saat takbrak yang tak sengaja. Tapi Ia sang kapten yang ganteng bak sang idola Kristian Ronaldo.
Semangatnya juangnya tak muda pudar walau teman lain tak lagi nyali bermain. Namun selebihnya dia pria pembawa cerita dan gagah menulis sajak.
Di biara Ia belajar tuk bangun tepat waktu, sembanyang dengan penuh pasrah dan disiplin muali dari yang kecil.
Dia percaya bahwa, disiplin akan kekuatan yang akan membuat dirinya benar-benar tak terhentikan.
Baginya disiplin harus berawal pada hal-hal yang tak boleh dipikirkan dan melepaskan apa yang seharusnya ditanggalkan.
Kemenangan pertama dan utama baginya bukan harus mengalahkan musuh tetapi tertelak pada kemampaun untuk mengendalikan diri.
Hari-hari dihadapkan dengan bermacam-macam warna. Ada tawa yang renyah.
Ada canda yang lepas. Ada sedih yang pedih. Ada susah yang duka. Ada kawan yang beramal namun juga ada lawan yang berwajah ganas.
Tapi tak mengapa. Yang pasti. Kasihnya terjalin semakin apik dengan pemilik segala hati.
Dia tak pernah pulas tertidur kalau belum menyatu dengan pemberi waktu. Bangunnya tepat waktu dan menyembah tak pernah telat.
Pokoknya satu waktu akan kukecap cawan itu. Batinnya.
Meminum cawan adalah niat dan titahnya yang ihklas, setiap saat. Niat itu Ia semai ketika pagi hendak merekah dan mengenggam saat senja meremang.
Bahkan seiring lajunya waktu, hasrat itu semakin mengairi hatinya. Tak henti Ia titipkan inginnya lewat api lilin dan asap dupa ke surga.
Ia bawa saat sembayang dan melambung saat pujian melantun. Pokoknya di sekitar altar hasratnya mengawan. Lalu Ia bawa serta ketika kakinya melangkah ke kamar belajar. Dan tertidur di kamar tidurnya.
Dulu ia sempat berpikir, kalau-kalau di sana Ia akan aman dari bahaya dan nihil dari kerikil.
Malah di titik ini Ia salah tanggap. Tinggal di rumah formasi justru membuatnya terus teruji.
Dihadang kabut tebal, diguncang hujan lebat dan lewati malam-malam dalam nyenyak tak sempat.
Semua telah tertulis, “jika engaku ingin mengabdi Tuhanmu, maka bersiaplah untuk pencobaan. Jelas sekali. Karenanya Ia kadang merasa seperti perahu kecil di lautan lepas.
Diterpa badai sampai ombang ambing. Tak pasti akan kembali dan sulit duga kapan bisa pulang. Kadang semangat gamang, lalu pasrah jadi andalan.
Seringkali jalannya basah, disesaki bebatuan kasar nan tajam. Raga tak bersemangat lalu digoda tuk goncang.
Sudah sering berlinang air matanya. Namun Ia itu tak membuatnya menyerah kalah. Bahkan ia semakin mencintai dinding dan tembok-tembok sunyi itu.
Dia merasa, bangku adalah tempat ajaib, sebab di sana Ia merapalkan segala rasa dan membumbung segala sujud dan ujud agar niat dan hasrat tak kusam dilanda gunda.
Ia pernah memintah Tuhan tuk melupakan sukma lalu mengharapkan rahmat agar dahaga terawat dalam-dalam. Dan kadang dijawab dengan sahaja.
Sudah seringkan Ia hasilkan puisi, dan bahasakan sajak untuk sekadar mengamankan rasa yang dihajar berantakan.
Namun kadang ia lelah mengenggam penat. Hidupnya kadang membuatnya benar-benar ditantang. Satu waktu di saat senja bergegas, Ia menulis begini:
Jalan lubang
Penat raga
Kabur pandang,
Isaratkan keraguan,
Sampai kapan,
Gundah jiwa menghilang
Semoga jalan jangan menyimpang
Menulis memang sudah menjadi cara baginya tuk sekadar mengkrabkan gamang di dada.
Dan mengheningkan getir di kening. Pokoknya semua yang tidak boleh dilupakan, ia tulis lewat puisi dan bahasakan dalam sajak.
Dia juga belajar menimba hihmat dibalik semua peristiwa. Itulah sebabnya mengapa Ia tak lelah berserah dan kandas pada jalan panjang.
Baginya, sesulit apa pun model problemnya musti dihadang dan lalui sampai akhir waktu. Sebab ia mengerti bahwa Dia yang memanggilnya tak pandai ingkar janji. Ia bisa menguji namun tidak dengan janjinya.
Pada kesempatan lain saat Dia mengadu pandang dalam doa yang panjang, Kris mengeluh begini:
Engkau pemikat hatiku
Aku hanyalah debu, tercipta oleh embus nafasmu
Hidup matiku akan terkulai dalam butiran sampah
Tidak kah kau ingat
Kadang aku mengambang
Pada lara dan nestapa yang datang
Sebab susah jalan keluar
Benar ada makna pada segala yang datang
Ada hikmah di balik yang simpang
Namun sampai berapa lama kah itu?
Nasihat mamanya selalu jadi andalan. Nak, adakalanya cara Tuhan untuk menjadikan kita lebih kuat adalah dengan memunculkan kesulitan bertubi-tubi, jadi kau harus menjadi seperti pohon di tengah gurun, yang walau diterpa angin, tetap berdiri tegak.
Sebab akarnya telah menancap dalam-dalam. Jadilah raga yang selalu gagah dihadapan bahaya dan jadilah pribadi yang berani menerjang badai.
Miliki keberanian dalam hati. Keberanian bagai ombak menantang matahari! Titah mamanya dulu. Kata-kata itu ia jadikan bantal di ranjang dan mimpi di tidur pulasnya.
Perjalanan memang panjang namun bisa tiba dengan girang. Hari-hari bisa kelabu namun selalu ada waktu membangun yang baru. Langit cerah bisa hilang sekejam karena disekap kabut tebal. Tapi akan cepat bergegas dihempas angin kencang.
Kris masih yakin jika sang Klalik telah memanggilnya sejak Ia terbentuk dalam kandungan ibunya.
Dia juga percaya jika Tuhan yang dia puja juga tak mudah menduakan sukmanya. Dia yakin ketika saatnya tiba, semua akan jadi indah. Itu pasti.
Penulis: Marsel Koka. Asal: Minsi-Riung Barat, Bajawa, Flores-NTT. Tinggal: Rogasionist Maumere-Flores