Oleh: Joanes Pieter Paulus Alais Calas
Globalisasi, suatu istilah yang begitu laris dalam kurun waktu dua dekade terakhir.Hampir semua sektor kehidupan sudah terpapar dengan istilah ini.
Bahkan berhasil merebut cara-cara berpikir dan bertindak manusia untuk bisa tampil sebagai manusia yang adaptif dengan perkembangan zaman.
Ini merupakan gerakan menuju kewargaan dunia universal yang melampaui batasan negara-kebangsaan.
Globalisasi muncul tidak saja berwajah harapan, namun lebih dari itu dia juga muncul sebagai ancaman.
Singkatnya, kehadirannya bersama kita muncul sebagai makhluk ‘’multi face’’.
Wataknya yang dinamis ini, tergantung sejauh mana sistem pertahanan manusia (human capital) untuk meresponsnya.
Jika sistem pertahanan kita lemah maka, dia akan menjadi ancaman bagi kita. Dan sebaliknya, jika sistem pertahanan kita bagus, dia akan memberi harapan untuk kita.
Ketika globalisasi menjelma menjadi gaya hidup baru, watak dan prilaku manusia seakan disulap seketika.
Manusia mendapatkan jalan keuntungan untuk melancarkan segala aktivitasnya.
Namun di sisi lain, ada yang terkorbankan, bahkan diperparah dengan kemerosotan karaker manusia yang enggan terbendung.
Nah,di sini bagi mereka yang belum siap seakan bertemu jalan buntu dan pasti menjadi korban.
Disadari atau tidak perkembangan masyarakat kita semuanya dikendalikan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi.
Harapannya, kita tidak saja terhanyut oleh kelebihan-kelebihan yang telah tersaji.
Tentu penting berpikir lebih jelih terkait munculnya masyarakat berisiko (the risk society). Ini adalah dasar untuk menyelamatkan generasi yang akan datang.
Sebab, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menggeroggoti keaslian nilai-nilai yang diwariskan oleh leluhur kita.
Pendidikan sebagai arena persemaian sumber daya manusia memiliki peran vital dalam membentuk sistem pertahanan manusia dari gempuran zaman.
Berkaca pada keadaan saat ini, mungkin sudah saatnya kita melihat fungsi pendidikan jauh lebih dalam lagi. Jelas hal ini sangat beralasan.
Sebab, masih banyak di antara kita yang menganggap urusan mendidik dan mengajar hanya digarap oleh sekolah, sehingga tidak heran, dalam ruang sosial nyata ada begitu banyak problem yang erat kaitannya dengan akar persoalan tadi.
Selain ruang sosial nyata, ruang digital juga ikut terdampak. Bahkan diperparah oleh persoalan karakter.
Sebab, dunia pendidikan kita dinilai belum mampu mendorong persoalan karakter bangsa.
Hal ini imbas dari ukuran-ukuran yang kita gunakan dalam pendidikan kita tidak dikembalikan pada karakter peserta didik, namun untuk kebutuhan pasar.
Sehingga pendidikan kita terkesan banyak kehilangan nilai-nilai luhur.
Namun, yang perlu kita garisbawahi ialah pasar tanpa karakter akan hancur dan menghilangkan aspek-aspek kemausiaan.
Bicara tentang media sosial saat ini tidak lepas dari bicara generasi milenial.
Generasi milenial adalah generasi yang paling rentan munculnya sikap-sikap minimalis.
Sebab, hampir sebagian besar pengguna media sosial adalah generasi milenial.
Kita boleh saja menganggap media sosial adalah anugerah. Selain sifat praktis dan efektivitasnya membuat manusia semakin menyatu dengan keberadaannya.
Namun, bukan berarti kita terhanyut oleh segala sajian media sosial yang begitu menarik.
Media sosial hadir bersama kita dengan wajah ganda. Ketika manusia berhasil lepas dari cengkeraman masa lalu yang serba terbatas, bukan berarti menjamin manusia akan bebas dari ikatan masalah.
Masalah yang muncul di ruang publik akhir-akhir ini lebih banyak sumbangan dari media sosial.
Hal ini yang mempertegas pandangan kita bahwa sisi gelap media sosial ternyata mempunyai kekuatan yang seimbang terhadap ruang harapan di masyarakat kita.
Sebut saja pornografi, porno aksi, plagiarisme, sekularisasi, individualisme dan lain sebagainya merupakan kemenangan sisi gelap media sosial yang sudah merusak karakter kita sebagai pengguna.
Anak-anak menjadi generasi yang paling rentan terhadap penggunaan media sosial yang kurang bijak.
Hal lain juga diperparah dengan waktu produktif mereka yang tersita akibat penggunaan media sosial yang tidak sepantasnya.
Pada kasus lain juga, yang mungkin belum terlalu familiar dalam wacana akademik, bahwa media sosial telah dijadikan sebagai ‘’pasar pencitraan” untuk mendapatkan follwers, like atau subscribe sebanyak mungkin, dengan mengambil keuntungan di atas penderitaan orang lain.
Misalnya, pada kasus kecelakaan lalu lintas yang merenggut nyawa seseorang.
Dalam konteks ini, sikap minimalis yang muncul dari generasi muda saat ini adalah mempublikasikan kondisi korban di TKP (Tempat Kejadian Perkara) di media sosial.
Kondisi ini memicu kritik terhadap budaya populer kita yang sudah mengabaikan rasa kemanusiaan.
Banyak anak-anak (pelajar) saat ini yang sudah mulai menjauhi tugas pokoknya sebagai siswa.
Media sosial telah berhasil merampas waktu belajar mereka ke hal-hal yang tidak produktif.
Akibatnya banyak siswa siswi yang gagal dalam belajar. Selain gagal belajar, disusuli prilaku yang sering mangkir dari perhatian orang tua dan sekolah.
Media sosial juga sebagai agen sosialisasi. Dia akan menjadi media pembentukan karakter yang baik jika anak-anak menggunakannya dengan cara-cara yang bijak.
Sehingga proses sosialisasi yang terjadi benar-berar proses sosialisasi yang sempurna.
Fenomena ini seharusnya menggores kesadaran kita, dengan melihat pendidikan dalam konteks yang lebih luas bahwa, pendidikan adalah tanggung jawab bersama.
Keluarga dan sekolah sebagai agen (media sosialisasi) reproduksi karakter dan fungsi kontrol terhadap perkembangan anak, baik di dunia nyata maupun di media sosial.
Sehingga anak tampil menjadi pribadi yang bermutu baik di dunia nyata maupun di media sosial.
Sosialisasi tidak akan berjalan jika peran media sosialisasi kaku.
Adapun media sosialisasi yang otomatis memiliki peran tersebut adalah lembaga sosial.
Lembaga sosial adalah alat yang berguna untuk melakukan seragkaian peran menanamkan nilai dan norma sosial, di antaranya keluarga dan sekolah.
1. Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan institusi yang paling penting pengaruhnya terhadap proses sosialisasi anak.
Hal ini dimungkinkan berbagai kondisi keluarga; pertama: merupakan kelompok primer yang mempunyai intensitas interaksi yang tinggi di antara anggotanya, sehingga akan berpengaruh terhadap ikatan emosional.
Kedua, orang tua memiliki otoritas yang kuat untuk menanamkan karakter pada anak
Para sosiolog meyakini (dalam Muslich, 2010) bahwa peran penting dalam kemajuan suatu bangsa.
Sebab itu, mereka berteori bahwa, keluarga adalah unit yang penting sekali dalam masyarakat.
Jika keluarga-keluarga yang merupakan pondasi masyarakat lemah, maka masyarakatpun akan lemah.
Oleh karena itu, para sosiolog meyakini bahwa berbagai masalah dalam masyarakat seperti kejahatan seksual, dan kekerasan yang merajalela, serta berbagai perosalan lainnya merupakan akibat dari lemahnya institusi keluarga.
Hal teknis yang perlu diintervensi lebih jauh oleh keluarga adalah mengawasi prilaku anak dalam penggunaan media sosial, mulai dari hal-hal kecil seperti membatasi penggunaanya, serta mengontrol sesering mingkin konten-konten yang tersaji.
Hal ini untuk mengantisipasi anak mengakses konten yang berbau pornografi ataupun secara tidak sengaja melihatnya, serta menggiring mereka untuk membaca bacaan yang tidak produktif.
Selain itu juga, peran vital keluarga yang tidak kalah pentingnya adalah penanaman nilai-nilai karakter pada anak.
Misalnya: nilai ketakwaan dan keimanan, yang benar dan mendasar.
Terlepas dari apa agamanya tentu saja akan diwujudkan dalam prilaku. Sehingga akan tidak akan terpengaruh imannya oleh konten-konten berbau pornografi.
Toleransi, anak perlu dibekali dengan nilai toleransi sejak dini.
Bagaimana orang tua membiasakan untuk saling menghargai perbedaan, baik suku, ras ,ataupun agama.
Sehingga, kebiasaan ini akan terus dibawa oleh anak dalam lingkungan pergaulan yang lebih luas, khususnya di media sosial.
Anak bisa lebih antisipatif apabila ada konten-konten yang berbau SARA serta tidak menjadi pelaku dari masalah.
Selain itu juga penanaman nilai kemandirian. Anak perlu dibiasakan untuk bisa mandiri. Bukan berarti lepas dari tanggung jawab orang tua.
Mandiri dalam konteks ini misalnya anak dilatih untuk tidak sering memetik hasil, namun bagaimana anak dilatih untuk menghargai proses.
Jika kebiasaan ini terus terbawa, maka anak punya kematangan untuk berusaha.
Bahkan sampai pada level akademis anak akan lebih mandiri dalam mengerjakan tugas yang merupakan hasil keryanya sendiri, bukan hasil plagiat dari media sosial.
2. Sekolah
Lembaga pendidikan merupakan salah satu media sosialisasi yang formal.
Dikatakan lembaga pendidikan, karena anak dibentuk tidak saja kapasitas intelektualnya, lebih dari itu mental dan karakter juga menjadi sasaran yang harus ditempuh oleh sekolah agar menjadi manusia yang beriman, berakhlak mulia, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pementukan karakter peserta didik.
Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik di lingkungan keluarga bisa memberikan peluang unsur-unsur negarif mengintai anak dalam penggunaan media sosial yang tidak terkontrol.
Hal ini yang membuat peran sekolah dituntut untuk bisa menggantikan peran keluarga di rumah.
Di sekolah, anak akan diajari bagaimana menghargai proses. Artinya, anak-anak tidak dengan mudahnya mendapatkan hasil yang maksimal melalui cara-cara yang instan.
Ini berarti belajar menghargai proses jauh lebih penting. Sebab, hasil yang bagus, belum tentu melalui proses yang baik, dan sebaliknya, proses yang baik, akan mendatangkan hasil yang baik pula.
Sekolah mestinya mempunyai aturan yang tegas dalam menyikapi prilaku anak dalam penggunaan media sosial yang tak terkendali. Apalagi jika sudah berdampak buruk bagi anak.
Tentunya, sekolah lebih extra ordinary, mengambil langkah preventif, agar hal-hal negatif yang muncul ke permukaan saat ini tidak akan tampak lagi di hari yang akan datang.
Pentingya media sosialisasi bergandengan tangan (keluarga dan sekolah) menjadi harapan baru untuk membangun kepribadian anak.
Apalagi menyikapi dalam menggunakan media sosial. Sebab, dari sisi pengendalian formal keluarga memiliki beberapa kelemahan untuk membatasi prilaku penggunaan media sosial anak namun, dari sisi alokasi waktu untuk mendamping, keluarga mempunyai kesempatan yang banyak mengontrol prilaku anak.
Jadi, keduanya tidak bisa berjalan bersebrangan, maupun mempertahankan ego.
Sekolah dan keluarga semestinya mempu membangun kesepahaman dan kesepakatan bersama untuk mengontrol prilaku anak di media sosial.
sebab waktu terbanyak seorang anak ada di luar lingkungan sekolah (keluarga).
Perilaku apa saja yang muncul dari anak saat di rumah terkait penggunaan media sosial, mestinya pihak keluarga perlu menginformasikan ke pihak sekolah.
Bila perlu memberikan kesempatan kepada guru untuk melihat secara langsung anak didik di dalam belajar latar belakang hidup dan tentang masalah-masalah serta penanganan dari keluarga, serta memberikan motivasi kepada orang tua untuk lebih transparan dan dapat bekerja sama dalam upaya megawasi perkembangan anak.
Penulis adalah Pegiat Literasi Komunitas Cangkir 16.