Oleh: Marsel Koka
Lampu baru menyala di rumah kecil itu. Malam sudah datang dan dingin mulai terasa. Senja yang seharian begitu lelah telah pergi dan akan kembali esok.
Dari dapur rumah itu, terdengar tiga orang berbicara satu sama lain. Mereka adalah Natalia, Ranty dan Yohana seorang perempuan yang usianya sudah mulai renta.
Mereka duduk berdampingan di sekitar tungku. Sesekali tangan Natalia mendorong kayu api. Sedangkan Ranty adiknya duduk sambil mengunya jagung.
Yohana, duduk berhadapan dengan sebakul jagung yang diletakkan di sisi tungku. Api menyala tidak begitu besar. Sebuah batu ceper diletakan di atas nyiru, dan sebuah lainnya untuk meniti.
Digorengnya biji jagung dengan tangan kanan. Dalam keadaan yang masih panas satu persatu jagung diletakan di atas batu dan satu persatu jagung di titi dengan tangan kanannya.
Begitu seterusnya tangan kanannya mengambil jagung dari nyiru, memasukannya ke dalam kuali, menggoreng dan mengangkat dan menitinya. Cepat teratur dan dalam satu irama yang tetap jagung titi memenuhi nyiru di bawa batu ceper.
Itu dilakukannya sendiri dengan segenap pikiran dan perasaannya demi memperpanjang hidup dua malaikat kecil yang ditinggal pergi oleh ayah dan ibunya.
Yohana berusaha sekuat mungkin agar kedua cucunya tetap merasakan kasih sayang dari dua orang yang mereka sapa sebagai ayah dan ibu. Walaupun itu terasa agak sulit mengingat usianya yang renta itu.
Namun ia selalu berusaha menyediakan apa yang mereka minta dan menolak apa yang harus ditolak. Dia sering menghabiskan waktu dalam doa yang panjang sekadar meminta Tuhan memperpanjang umurnya.
Dia tak pernah lupa menelurkan cerita-certa menarik ke kuping Natalia dan Ranty sebelum mereka mengarungi tidur malam mereka.
Natalia sebagai seorang kakak, menyadari bahwa dirinya tidak pernah benar-benar dicintai dan merasahkan cinta dan kasih sayang laki-laki yang dikenal sebagai ayah, walau dia tahu bahwa Ia dilahirkan dari seorang ayah.
Yang ia tahu hanya kasih dari seorang wanita yang dia panggil sebagai ibu. Namun lagi-lagi kasih ibunya ibarat setetes embun yang hilang dirampas oleh fajar pagi hari.
Di saat ia merindukan pelukan dan ciuman ibunya, malah maut lebih awal mengambil pergi ibunya.
Sejak saat itu ia selalu merasa kalau malam berjalan lebih lama dan siang terasa selalu begitu terik.
Dia mulai mengerti bahwa yang terberat dari hidup adalah ketika dia dan Ranty adiknya belum sepenuhnya mendapat kasih dari seorang ayah dan cinta dari seorang ibu.
Padahal, ibu adalah salah satu tempat curhat yang terpercaya dan melalui ibu ia menemukan solusi hidupnya. Hidupnya benar-benar berat sejak awal.
Kadang Ia merasa luka yang membutuhkan banyak waktu untuk menyembuhkan. Ia terluka karena harus dilahirkan namun kehadirannya justru menamba luka.
Dan yang paling menyedihkan adalah tak punya siapa-siapa selain Ranty adik dan Yohana neneknya. Selain itu hanya bulan dan juga ribuan bintang di atas langit.
Ia seperti layang-layang yang dilempar ke udara namun mengambang dibawa angin kemana saja.
Ia masih butuh kata-kata bijak dari ayah dan ibunya agar menjadi pribadi yang tangguh dan dewasa. Namun Ia harus rela memaksa dirinya memikul tanggung jawab sebagai bapa dan sebagai ibu.
Masa kecil yang sebetulnya harus dinikmati bersama teman-teman seusianya kini dirampas pergi bersama kepergian kedua orangtuanya.
Kini hanya bayangan yang tak dapat diraih dengan tangannya, dan hanya bisa dia sentuh dengan ingatannya.
Di satu malam yang makin larut, Natalia duduk sambil melihat keluar jendela. Matanya memandang bulan sabit yang ditemani oleh ribuan bintang di seklilingnya.
Namun pemandangan itu berubah segerah dan menjadi begitu pekat ditutupi awan tebal. Persis pada pemandangan seperti itu, mamanya pergi meninggalkan mereka selamanya dua bulan kemarin.
Dulu mamanya jatuh sakit pada saat mereka tidak memiliki sedikit uang untuk membiayai perawatan. Yang diandalkan hanya dukun dan segala macamnya.
Dan sejak saat itu ia tak pernah sembuh sampai Ia menghembuskan nafas terahirnya. Selama ibunya sakit, dia tak pernah sedikit melihat ayahnya datang dan apalagi merawat ibunya.
Entah apa yang mendasarinya. Dia tidak tahu. Laki-laki yang ia sebut sebagai ayah secara kasar pergi bukan saja meninggalkan ibunya tetapi dia dan adiknya.
Barangkali dia merasa bahwa sebagai laki-laki ia memiliki segala macam kebebasan untuk pergi mengkianati cinta istrinya itu.
Sejak kejadian itu, rindu dan sakit menjadi semacam kawan yang setia menemani dan juga lawan yang selalu dimusuhinya secara diam-diam.
Seperti awan gelap yang menantikan hujan demikian rindu Natalia juga demikian pada ibu dan ayahnya. Namun ia merasa bahwa rindunya sia-sia sebab ia merindukan orang sebenarnya tak pernah datang lagi. Dengan hati yang setengah hancur ia menulis,
Mama, aku menantimu, namun sepi yang kurasa, aku menunggumu, namun sunyi kuterima, bolehkah engkau kembali padaku?
Itu semua ditulis dalam kertas kecilnya. Lalu ia lipat dan simpan di kaki Bunda Maria. Barangkali Ia berharap Bunda Maria menyampaikan itu pada mamanya.
Mama, hatiku sebetulnya belum terlalu kuat untuk menahan guncang atas kepergianmu. Aku seperti daun kering yang jatuh dari rantingnya. Dibuang karena sudah tak berguna.
Ibu kau adalah sosok wanita penting dan begitu berarti untuk hidupku. Aku tahu selama sembilan bulan engkau mengandung, kemudian engkau pertaruhkan nyawamu agar aku bisa bernafas lega.
Setelah itu engkau tak pernah lelah merawat dan mendidikku dengan segala keikhlasanmu. Membuka mata dan hatimu mulai dari aku bayi hingga besar.
Ibu, kenapa semua harus beakhir saat keringat dan lelahmu belum sempat kuhapus dengan tanganku sendiri. Kata-kata seperti itu selalu muncul dalam benak kecilnya setiap saat.
Pada kesempatan lain Natalia menulis begini, Ayah, Natalia ingin bertemu denganmu. Aku hanya ingin engkau bahwa aku masih ada.
Tidak lebih dari itu. Aku pantas mendapatkan cinta dan perhatian yang seharusnya aku dan Ranti dapatkan, bukan? Aku juga mau berbagai denganmu tentang sukacita dan dukacita yang aku rasahkan saat ini.
Dan jika ya, maka ijinkan aku memeluk tubuhmu untuk pertama dan terkahir walau hanya sebentar. Namun jika aku sudah ditakdirkan untuk hidup tanpa mengenal seorang ayah. Biar kujalani saja.
Namun di sini ada rindu yang selalu jatuh di terik sepi yang selalu lupa bertedu. Rindu yang tak pernah habis.
Penulis: Marsel Koka. Asal: Minsi-Riung Barat, Bajawa, Flores-NTT. Tinggal: Rogasionist Maumere-Flores