*Cerpen
Oleh: Fransiskus Sardi
Sepulang dari caffe, Mario, mahasiswa di sebuah kampus di Jogja, mengutak-atik hanphonenya sambil membaca chat yang masuk di WhatsApp-nya. Dia baru saja mendengar kabar, kakak kandungnya, Fredo, dikeluarkan dari sebuah kampus swasta di kota Karang. Buruknya lagi, hingga tahun terakhir kuliahnya, orang tua Maryo belum mengetahui bahwa kakaknya telah dikeluarkan dari kampus.
Mario tidak bisa berbuat apa-apa. Kakaknya sedang berada di Kupang sedangkan dirinya di Jawa. Beberapa hari setelah informasi perihal kakanya mencuat di kampung halaman, Mario sudah mendengar kemarahan yang dilontarkan oleh papa dan mamanya lewat telepon. Mereka kecewa dengan kelakuan Fredo yang tidak jujur. Hingga 4 tahun setelah peristiwa itu, Fredo tidak berani pulang ke kampung halamannya di Bajawa, Flores.
Awalnya Fredo berniat memberitahukan situasi perkuliahannya, tapi dia juga takut melarat di kota Karang. Fredo memanfaatkan ketidaktahuan orangtuanya untuk terus meminta uang kuliah. Walaupun sebenarnya dia sudah berhenti kuliah sejak awal semester empat. Teman-teman kuliah Fredo mengetahui hal itu, tetapi tidak seorangpun berani memberitahukan hal ini pada orangtua Fredo.
Jam kuliah Fredo dihabiskan bersama seorang gadis cantik campuran Jawa-Rote. Fredo mengamini bahwa masa depannya tidak ditemukannya di kampus, tapi di hati wanita yang namanya tidak ingin disebut. Bagi Fredo, perempuan itu adalah masa depannya.
Persoalan yang dialami Fredo membuat orang tua mereka tidak mempercayai kepada semua adik-adik Fredo. Bahkan orangtua Fredo bersumpah suatu saat anak-anak mereka tidak akan diberi kesempatan untuk kuliah. Jika Mario mengikuti jejak kakaknya Fredo. “Papa tidak akan membiayai kuliah adik-adikmu jika kamu mengikuti jejak kakakmu, kamu harus menjadi contoh. Kegagalanmu adalah kegagalan adik-adikmu juga” demikian pernyataan Papanya yang masih direnungkan Maryo.
***
Sesampai di kosnya, Mario merenungkan arti keberadaanya di kota ramah itu. Sudah tiga tahun ia menempuh pendidikan di Fakultas Filsafat. Ia tahu, kuliah bukan hanya tentang mengejar masa depan, lebih dari itu kuliah adalah tentang merajut semua pengharapan dan menyatukannya dengan cita dan cinta mereka yang selalu mendukung cita-cita itu. Mario selalu skeptis dengan dirinya, pasca kejadian tak terduga yang menimpa dirinya di suatu malam di pojok kota Gudeg.
Sejak kecil Mario menyakini bahwa ijazah tidak pernah menjamin masa depan seseorang. Bahkan hingga ia kuliah pun ijazah bukan suatu prioritas utama dan pertama yang dicarinya. “Ilmu pengetahuan dan pengalaman jauh lebih penting dari lembaran berisi tanda-tangan dosen” Mario membatin sambil rebahan memandang seekor cicak yang menontonya sejak hari pertama ia masuk di kamar kosnya itu. Cicak selalu menjadi saksi bisu setiap pergulatan dirinya.
Maryo pernah bermenung bahwa semua lembaga: entah pemerintahan maupun swasta membutuhkan lembar ijasah sebagai syarat mutlak untuk bisa diterima sebagai pekerja dalam sebuah institusi atau perusahaan. Ijazah menjadi lembar legitimasi sejauh mana seorang memiliki wawasan akademis. Dalam ijazah tertera nilai, padahal nilai belum tentu mewakili kemampuan pemilik ijazah. Mario aneh ketika melihat banyak yang memiliki ijazah, tetapi tidak mampu menjadikannya sebagai taring menuju kesuksesan. Ijazah dijadikan kertas dekorasi kamar. Lucu, tapi ini nyata dan bahkan booming di era Covid-19 ini.
***
Salah satu syarat untuk mendapat ‘kertas legitimasi’ ini adalah harus menyelesaikan kuliah. Seorang yang tidak mendapatkan ijazah berarti tidak menyelesaikan kuliahnya. Logika ini telah lama dirawat oleh khalayak ramai, bahkan menjadi stigma bahwa ijazah, kuliah, kerja, PNS, dan sukses adalah rangkaian perjalanan yang tidak bisa dipisahkan. Padahal kalau melihat realitanya, banyak orang sukses tanpa ijazah. Entahlah! Tapi ini fakta menarik yang sudah berulang dikaji.
Fredo yang berhenti kuliah bahkan tidak menyelesaikan kuliahnya berarti tidak memiliki ijazah. Tidak memiliki ijazah berimplikasi untuk tidak memiliki pekerjaan, tidak memiliki pekerjaan membawanya pada penilaian sebagai pribadi yang tidak punya masa depan yang jelas. Demikian rantai kesuksesan yang diukur dari tingkat pendidikan dan ijazah. Kesuksessan ditentukan sejauh mana dan setinggi apa gelar pendidikan. Padahal kesukesesan tidak semata karena ijazah tapi karena perjuangan yang tiada akhir.
***
Baru saja bermenung tentang lembar kertas. Mario tiba-tiba teringat akan journal hariannya yang masih terbuka di atas meja belajar di pojok kamarnya itu. Cepat-cepat dia bangun dan membuka salah satu halaman dalam journal itu, sekadar untuk bernostalgia. Dan ternyata dia menemukan goresan menarik tentang perjalanan cintanya dalam huruf-huruf mati yang ber-roh.
Sudut Kamar Kos, 22 September 2017
“Saya tidak tahu harus memulainya dari mana untuk menulis ini, semuanya seperti tiba-tiba, datang tanpa undangan dan pergi pun tanpa pamit. Dia tidak terlalu cantik, juga tidak terlalu sempurna, tapi ada yang ‘lain’ dari dirinya.
Selama ini saya berjuang memahami dan menemukan apa sebenarnya ketidaksempurnaan yang membuat saya merasa disempurnakan dengan kehadirannya. Saya tidak sepandai sastrawan-sastrawan dan penyair-penyair ulung dalam menggambarkan kecantikan atau ketampanan seseorang. Saya hanya yakin bahwa saya terjebak dalam sebuah permainan kasmaran.
Wanita ini datang di saat saya sedang dalam kesepian hati, bukan karena saya ditinggalkan Tuhan, orang tua atau pun teman, tetapi lebih tepatnya kekasih hatiku pergi ke tempat yang membuat hubungan jarak jauh kami menjadi semakin rumit. Semenjak pertemuan terakhir kami tahun lalu di sebuah bukit – yang biasa disebut orang-orang saat itu dengan sebutan bukit cinta – kami menjalani hubungan LDR dengan bantuan om handphone dan tanta WhatsApp.
Biasanya sepanjang malam dia dan saya menghabiskan waktu untuk berbagi cerita. Dari kesibukan kuliah kami masing-masing hingga curhat tentang cita-cita masa depan kami berdua sebagai kekasih hati. Tidak jarang juga kami marah-marah dan baikan lagi. Sering curiga, sering sayang-sayangan, layaknya seorang yang sedang kasmaran. Sialnya tiba, ketika dia harus pergi menjalankan tugas kampusnya selama sebulan disebuah pelosok yang lupa direkam oleh pemerintah. Di sebuah tempat tanpa jaringan. Saya jadi gundah, menghabiskan waktu hanya dengan membaca, dan menonton youtube.
Ketika ada yang hilang, yakinlah semua orang ingin ada yang menemani dan menggantikan posisi dia yang hilang itu. Tepat saat itulah wanita yang sering saya panggil dengan banyak nama menggerogoti hati saya. Dia menjadi serendepityku. Hampir saya melupakan kebiasaan membaca saya hanya karena diganggu oleh dirinya. Gejolak cinta mungkin tumbuh di saat seperti ini. Saya berusaha menolak, berusaha untuk sadar bahwa saya sudah memiliki kekasih, walaupun dia sedang menghilang karena jaringan sedang tidak mengizinkan kami untuk kangen-kangenan seperti sebelumnya.
Saya mencoba untuk menghindar dari wanita yang saya anggap cinta sesaat itu tapi saya terjebak dalam permainan itu. Hingga kalimat terakhirnya akan selalu saya ingat “Jika kamu menghendakiku, kapanpun kamu mau, kamu bisa datang menemuiku. Saya tahu ini berat untukmu, tapi kau adalah bagian dari hidup saya sejak kita ada bersama di dalam ruangan ini. Perlu juga kau ketahui bahwa saya mencintaimu seperti pertama kali saya menjumpaimu, kamu tahu itu dan aku juga selalu tahu itu”.
Barisan kalimat dalam journal ini selalu mengema dalam diri Mario, dia terjebak antara mempercayai kertas ijazah atau kertas journal hariannya, antara cita-cita masa depan atau cinta untuk masa depannya.
Fransikus Sardi adalah Mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Tinggal di Wisma Claretian Yogyakarta.