*Cerpen
Oleh: Stefan Bandar
Langit kian menguning saat mentari kembali menuju peraduannya. Angin senja yang berhembus perlahan berhasil mengoyangkan dedaunan yang masih bercokol pada rantingnya.
Paduan suara para jangkrik mulai berdendangan bersamaan dengan kicauan burung yang terbang menuju sarangnya.
Aku masih duduk di atas ranjang tidur sembari menatap bercak-bercak cahaya senja yang jatuh di lantai kamarku.
Apakah engkau masih mencintaiku meski suatu saat nanti kita berada di jalan hidup yang berbeda?
Tiba-tiba pertanyaan itu kembali muncul dalam benakku. Akh, seandainya waktu bisa kuputar kembali, mungkin aku akan menjawabi pertanyaan itu dengan rumusan jawaban yang sedikit berbeda.
Aksara, demikianlah nama dari lelaki yang memberiku pertanyaan itu. Dia adalah satu dari sekian ribu pria yang membuat aku mengerti tentang cinta.
Dia adalah lelaki yang selalu mewarnai hari-hariku, seperti pelangi yang mewarnai langit. Dia bagiku adalah segalanya, sesuatu dari seluruh yang selalu kuutamakan.
Aku pernah mencoba pergi darinya. Aku hanya mencoba apakah hari-hariku akan selalu bahagia tanpa dirinya. Aku hanya mencoba apakah aku akan selalu baik-baik saja tanpa menatap wajahnya.
Akh, aku tak bisa. Seperti ada sesuatu yang hilang saat aku jauh darinya. Hari-hariku terasa sepih tanpa mendengar senandung yang biasa diuntaikannya lewat chellphone.
Setelah tiga tahun menjalani semuanya, ketika rasa itu telah menyatu dalam sebuah kisah, akhirnya alam kembali menunjukkan kuasanya.
Ia begitu saja membuat rasanya berubah dan mungkin juga merubah jalan hidupnya. Begitu kejam ia mengambilnya dariku tanpa memahami seberapa besar rasaku kepadanya.
Jika aku diberi kesempatan untuk bertanya kepadanya untuk yang terakhir, maka aku hanya ingin bertanya apakah pantas engkau membuatku mencintaimu secara utuh kemudian engkau tinggalkan begitu saja.
Tetapi jika aku berhak mengusulkan satu pertanyaaan agar ia dapat bertanya kepadaku, maka aku ingin dia bertanya seberapa rindunya aku ketika jauh darimu.
—————-
Puan, aku ingin bertemu denganmu sekarang, sebuah pesan tiba-tiba muncul di layar chellphoneku. Pesan itu datang dari seorang lelaki yang tidak asing lagi dalam hidupku.
Aku menunggumu di taman kota. Ada hal yang ingin aku sampaikan, demikian pesan lain darinya. Aku coba menebak-nebak sebab tidak biasanya ia mengirimku pesan seperti itu.
Seperti biasa, aku mendandan diriku sesempurnah mungkin. Aku ingin menjadi seorang wanita yang menarik di matanya.
Aku ingin menjadi seorang yang paling sempurnah dalam kisah hidupnya sebab memang dia bagiku adalah sebuah kesempurnaan.
Entah berapa kali aku menatap senja yang hendak tenggelam, namun itu tidaklah lebih indah dari senyuman yang kulihat di bibirnya.
Aku melangkahkan kakiku dengan sedikit pelan ketika memasuki taman kota. Pandanganku beredar ke beberapa tempat, mencari sosok yang membuatku berada di tempat itu.
Di beberapa sudut berdiri orang yang sedang asik bercerita. Ada yang duduk bergerombolan, tetapi ada pula yang berdiri sendiri.
“Puan,” tiba-tiba sebuah suara datang dari balik punggungku. Aku segera menoleh. “Ehh, kamu sudah dari tadi?” tanyaku ketika melihat Aksara berdiri tegak sembari melemparkan senyumannya kepadaku. “Sepuluh menit sebelum kamu datang,” jawabnya singkat. “Ayo kita ke sana”, katanya sambil menarik tanganku.
Kami melewati beberapa orang yang sedang asyik bercerita.
Beberapa bola mata menatap kami dengan tajam, kemudian kembali melanjutkan cerita mereka. Kami berjalan menuju sebuah tempat yang letaknya di sudut taman.
“Tumben ya, malam ini tidak hujan”, katanya membuka percakapan antara kami. “Iya, aku juga sedikit heran. Atau mungkin malam ini dikhususkan untuk kita bisa bertemu”, jawabku sembari tertawa kecil.
Untuk beberapa saat kebisuan kembali menguasai kami. “Aksara, sebenarnya apa yang ingin kamu katakan kepadaku?” tanyaku mencoba mengusir kebisuhan yang ada di antara kami beberapa saat yang lalu.
“Puan, apakah engkau masih mencintaiku meski suatu saat nanti kita berada di jalan hidup yang berbeda?” tanyanya dengan tiba-tiba.
“Iya, aku akan selalu mencintaimu, Aksara. Bahkan sampai kapanpun”, jawabku pelan. “Eh, apakah pertanyaan yang membuat kamu memintaku datang ke tempat ini?” tanyaku. Ia terdiam untuk beberapa saat.
“Puan, sebenarnya ada satu hal penting yang aku ingin sampaikan kepadamu. Sebelumnya aku ingin berterima kasih karena kamu mau datang ke sini”, katanya dengan nada tertahan.
“Ehh, koq kamu seperti ini. Emangnya tadi sore kamu makan apa sih sampai-sampai kamu berubah seperti ini. Santai aja Aks”, kataku ketika menyadari sikap Aksara yang tiba-tiba brubah.
“Mungkin kamu akan marah ketika mendengar hal ini. Aku minta maaf ya, jika seandainya selama ini aku pernah menyakiti kamu”, katanya lagi dengan nafas tertahan. “Emangnya kamu mau omomg apa, Aks?” tanyaku yang mulai merasa penasaran.
“Aku akan pergi ke Amerika minggu depan. Aku akan melanjutkan pendidikan di sana.
Entahkah ini pertemuan kita yang terakhir atau tidak, aku sungguh minta maaf jika aku pernah membuatmu terluka.
Jujur, engkau adalah seorang wanita yang memberi warna dalam perjalanan hidupku. Namun harus kuakui bahwa”, katanya dengan nafas tertahan.
“Kamu kan hanya pergi ke Amerika. Itu bukan berarti hubungan kita sampai di sini kan? Kita masih bisa LDR. Aku akan menjaga hatiku untukmu. Aku akan selalu setia menunggu kamu”, kataku.
“Aku mengerti maksud kamu. Tetapi aku tidak yakin apakah aku bisa bertahan dengan hubungan kita ini ketika jarak memisahkan kita”, katanya lagi.
Entah mengapa tiba-tiba air mataku jatuh perlahan. “Aksara, entah berapa lama dan bseberapa jauh kamu pergi, aku tidak akan pernah lelah menunggumu”, kataku sambil memeluk dirinya.
Benar apa yang dikatakannya. Setelah hari itu aku tidak lagi bertemu dengannya. Bahkan aku tidak lagi mendengar kabar tentang dirinya.
Aku juga menanyakan beberapa temannya prihal dirinya yang hilang begitu saja. Namun semuanya sia-sia saja sebab mereka juga tidak mendapatkan kabar tentang dirinya.
Mungkin benar. Aku berhak mencintainya tetapi aku tidak berhak membuat dirinya mencintaiku. Aku berhak menunggu dirinya datang tetapi aku tidak berhak menahannya pergi.
Dan mungkin aku berhak mengagumi dirinya tetapi aku tidak berhak memilikinya.
—————–
Desember 2018, saat tanggal akhir bulan itu. Tahun yang ke sepuluh setelah aku berpisah dengannya. Tanggal hari ulang tahunku yang ke dua puluh delapan.
Tiga hari sebelumnya seorang tukang pos datang ke rumahku. Ia membawa sebuah amplop yang berisi sebuah undangan.
Kartu itu cukup unik sebab di dalamnya tidak ditulis perayaan yang akan dilaksanakan dan juga tidak dicantum identitas dari pengirim.
Hanya sebuah tempat dan waktu pelaksanaan yang dicantumkan di sana dengan sebuah salam hangat.
Aku mencoba menebak-nebak. Kira-kira siapa yang memberiku kartu undangan itu. Aku sempat ragu untuk mennghadiri upacara itu.
Namun karena rasa penasaran yang cukup besar, maka aku memilih untuk mengikuti acara yang aku sendiri belum tahu.
Aku memarkirkan motorku di depan sebuah rumah yang cukup bagus, di antara beberapa motor yang telah mendahuluiku berada di sana.
Aku melihat beberapa orang yang menggunakan pakaian resmi duduk di bawa sebuah tendah yang cukup besar. Sepertinya akan ada perayaan ekaristi, gumanku. Untunglah aku menggunakan pakaian yang layak.
Aku memilih duduk di barisan paling belakang. Aku sengaja memilih duduk paling belakang karena aku sendiri merasa sedikit asing dengan orang-orang yang berada di sekitarku.
Tidak ada seorangpun yang aku kenal. Beberapa saat kemudian beberapa orang datang dan mengisi barisan paling depan.
Aku terperangah ketika kupandang sosok yang tidak asing bagiku, berjalan di tengah-tengah tenda itu menuju sebuah altar yang diiringi lagu pembukaan dari anggota koor.
Lebih lagi ketika aku menatap jubah putih yang menyelimuti tubuhnya. Apakah dia adalah Aksara. Demikian pertanyaan yang muncul dalam benakku.
Benar, dia adalah Aksara. Dia adalah seorang pria yang pernah membuatku mengerti tentang cinta, memberiku sebuah janji, lalu menghilang begitu saja.
Tapi kini dia adalah seorang imam, seorang yang akan mencintai semua orang dengan cara yang sama.
Ia pergi dariku untuk memperjuangkan rasa yang ada di dalam dirinya. Mungkin aku hanya memahami rasa di dalam diriku tetapi tidak pernah tahu bagaiman rasa itu di dalam dirinya.
Aku nyaman berada di sampingnya tetapi aku lupa apakah ia nyaman dengan diriku.
—————
Aku hanyalah wanita biasa yang akan menangis jika disakiti. Aku cuman seorang wanita yang membutuhkan cinta, bukan luka.
Aku hanya seorang gadis yang sedang memunggut rindu, gadis yang akan terluka jika kesetiaannya disia-siakan. Aku bukanlah bahu yang menjadi tempat sandaran untuk sesaat.
Tetapi aku juga seorang yang iklas, yang akan melepaskan jika memang aku tidak lagi pantas untuk memilikinya.
Seperti mengikhlaskan dia yang pergi mengarungi pilihan hidupnya meskipun aku haru setengah mati melupakannya. Aku sadar bahwa tidak semua yang aku harapkan akan terpenuhi meskipun itu adalah setengah dari hidupku.
Setelah kepergiannya hari itu, aku selalu berdoa. Dua hal yang aku semogakan, pilihan perjalanan hidupnya dan keadaanku yang baik-baik saja setelah kepergiannya.
Harus kuakui bahwa mencintai itu berarti harus berkorban, dan aku telah memenuhi keharusan itu meski hanyalah sebuah luka yang aku dapatkan.
Setelah kutemui dirinya berbalutkan jubah putih, aku menyadari bahwa hatinya telah kembali kepada Dia yang tergantung di salib.
Aku menyadari bahwa dia tidak lagi mencintai hanya seorang wanita. Kini dia menjadi seorang pria yang akan mencinti siapa saja, dengan cinta yang sama.
Stefan Bandar adalah Mahasiswa STFK Ledalero. Tinggal di Biara Rogasionis, Maumere