*Oleh: Astra Tandang
Janji kesejahteraan itu diproduksi melalui berbagai diskursus dan wacana bahwa adanya bandar udara akan mengurangi kemiskinan, membuka lapangan pekerjaan, hingga meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Atas diskursus dan wacana serupa, maka pemerintah seringkali menggelar karpet merah bagi setiap perusahaan yang bergerak di sektor bisnis penerbangan.
Imbasnya banyak daerah yang dikonversi menjadi area pembangunan badar udara baru.
Misal, yang terjadi di Kabupaten Mangggarai Timur, NTT sekarang ini. Sebelum menerapkan kebijakan yang memperbolehkan ekspansi bisnis penerbangan di wilayah Manggarai Timur, Pemerintah Daerah Manggarai Timur melalui sejumlah pejabat birokrasi dan anggota DPRD, telah membentuk hegemoni dengan mengeluarkan berbagai wacana “bandara untuk kesejahteraan” terlebih dulu ke tengah masyarakat.
Khususnya masyarakat yang memliki hak ulayat atas tanah Tanjung Bendera, salah satunya adalah suku Motu.
Tujuannya tentu, agar kebijakannya itu dianggap wajar, diterima dan pada akhirnya berhasil.
Bahkan dengan menggunakan mekanisme hibah, tanah warga seluas 100 hektare mesti harus dikorbankan untuk rencana pembangunan yang ada.
Seperti yang diucapkan Wakil Bupati Mnggarai Timur Jaghur Stefanus dalam sambutanya pada saat kegiatan peninjauan lokasi 31 Mei 2021 di Tanjung Bendera.
Menurutnya, kehadiran bandara adalah keberuntungan yang dimiliki oleh semua warga Manggarai Timur, khususnya warga di sekitar bandara nantinya.
“Seperti apa yang tadi sudah dikatakan oleh pak Ketua DPRD Matim, lahan ini (Tanjung Bendera), kalau saya boleh katakan lahan tidur, tapi berkat hati baik bapa dan ibu dari Motu menyerahkan lahan ini untuk Pemda, juga bukan untuk kpentingan Pemda sendiri, tapi untuk kepentingan kita semua, untuk kepentingan warga masyarakat Matim secara keseluruhan. Kalau sudah jadi bandara, inilah kepentingan kita bersama, kalian bisa buka usaha, buka apa saja. Pokoknya ada banyak sekali keberuntungan yang dimiliki oleh warga masyarakat sekitar,” kata Jaghur.
Memeriksa Lebih Dalam
Kesejahteraan dari pembangunan bandar udara yang dijanjikan tidaklah semudah membalikan telapak tangan.
Penting bagi kita untuk memeriksa lebih dalam setiap wacana pembangunan yang sedang digelar.
Benarkah bandara untuk kesejahtaeraan, atau kesejahteraan yang dijanjikan hanyalah mitos belaka dan malah akan membawa banyak mudarat nantinya.
Ada beberapa alasan yang sependek pengetahuan saya menjadi penting untuk kita berpikir lebih teliti atas rencana pembagunan bandara di Tanjung Bendera, Manggarai Timur.
Pertama, yaitu pembangunan bandara itu hanya memfasilitasi pelaku bisnis besar, bukan masyarakat biasa (ordinary people) yang tingkat eknominya masuk kategori kelas menengah ke bawah.
Bisnis bandar udara itu membutuhkan modal yang sangat besar dan hal ini yang membuat keterbatasan pelaku pasar untuk bisa terjun didalamnya.
Hanya pelaku dengan modal besar yang dapat merambah bisnis ini.
Kedua, dalam rangka memangkas disparitas pendapatan masyarakat atas bawah, jalan pembangunan yang ditempuh cenderung menggunakan logika trickle down effect (efek menetes ke bawah).
Bahwa dengan adanya pembangunan bandara maka akan memberi efek pada kegiatan ekonomi di bawahnya.
Persis pada psosisi ini masyarakat semakin ditegaskan keberadaannya sebagai pengemis yang terus berharap akan adanya kesejahteraan yang menetes dari orang-orang kaya atau pemilik modal.
Meski sebelumnya anda adalah pemilik tanah atas bandara tersebut. Dan logika pembangunan ini tidak bisa beroperasi begitu saja.
Dengan berbagai keterbatasan, akses bagi masyarakat untuk ikut berperan dalam bisnis penerbangan yang sedang dilakukan tentu tidak diberi begitu saja.
Yang pasti disuguhkan adalah janji, jika nanti ada orang kaya yang datang, mereka akan terkena dampaknya.
Ketiga, yaitu baik kebijakan maupun korporasi yang mengelola bisnis penerbangan tidak mengakomodasi adanya penyertaan saham dari masyarakat pemilik tanah.
Padahal berdasar peraturan agraria mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum Nomor 2 tahun 2012, penyertaan saham sebagai ganti rugi dimungkinkan.
Malah yang terjadi cenderung berujung pada ganti rugi yang diarahkan ke uang. Harus dipahami bahwa, bandara itu keberadaanya bukan hanya berusia satu atau dua tahun saja, tetapi bisnis ini akan berlansung bertahun-tahun dan melewati lapisan demi lapisan generasi.
Tentu serangkaian perubahan sosial dan ekonomi ikut membuntutinya. Tanjung Bendera akan menjandi kota yang sibuk dan mesin pesawat yang mengakut orang-orang ekonomi kelas menengah ke atas, seperti para pejabat atau pengusaha akan berderu setiap saat.
Sebagai generasi muda dari suku Motu, tampaknya saya mesti mengajukan pertanyaan ini; di manakah orang-orang Motu atau orang-orang dari suku-suku yang memiliki hak ulayat atas tanah Tanjung Bendera dan masyarakat Rongga nantinya ditengah kehadiran bandara?
Kita sudah tercerabut dari tanah Tanjung Bendera dan tidak memilki saham apa-apa pada bisnis bandara yang ada.
Saya membayangkan kita hanya menjadi pennonton dan orang asing dari hiruk pikuk pembangunan yang dihadirkan.
Memang selama ini, setiap pembangunan yang harus mengrobankan tanah warga, jarang sekali ada cerita penyertaan saham bagi masyarakat pemilik tanah.
Karenanya hal serupa jangan biarkan terjadi pada rencana pembagunan bandara yang tengah berlangsung di Kabupaten Manggarai Timur.
Keempat, alasan terakhir adalah pengelolaan bandara memerlukan keahlian teknologi tinggi.
Biasanya, masyarakat sekitar dan pemilik tanah yang mayoritas belum mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi hanya akan dipekerjakan pada posisi rendah.
Menjadi buruh, kuli atau pekerjaan kasar lainnya. Menjumpai masyarakat sekitar yang menduduki posisi tinggi, seperti pilot, ATC atau asisten manajer tampaknya susah ditemukan atau bahkan tidak ada sama sekali.
Beberapa poin pertimbangan yang saya ajukan ini sesungguhnya telah menegaskan bahwa janji bandara untuk kesejahteraan masyarakat adalah sebuah mitos.
Karenanya, penting bagi kita dan khususya masyarakat yang terdapak untuk mengambil sikap protes agar dikemudian hari tidak menimbulkan konflik dan mewariskan beban sejarah pada pemerintahan dan generas-generasi selanjutnya.
Jalan Perubahan
Kini wacana “bandara Tanjung Bendera untuk kesejahteraan” menjadi perhatian protes banyak orang.
Apalagi wacana tersebut diproduksi di tengah banyaknya maskapai penerbangan tanah air sedang lesuh merugi dan mesti memangkas sejumlah rute-rute penerbangan.
Selain masyarakat luas, protes tersebut telah dan sedang dilakukan sendiri oleh sejumlah suku yang punya hak ulayat atas tanah Tanjung Bendera.
Meski hingga kini titik negosiasinya belum sampai pada terima atau tidaknya atas rencana pembangunan bandara.
Namun adanya aksi perlawanan dari berbagai pihak dengan mengoreksi semua mekanisme dan dampak yang terjadi dari pembangunan bandara akan menjadi satu hal yang sangat penting.
Inilah jalan perubahan yang harus ditempuh dan medesak untuk digarap.
Hal tersebut bisa dilakukan lewat membangun solidaritas, memperkuat identitas bersama, melakukan pembacaan yang mendalam, menciptakan narasi perjuangan yang sama hingga nantinya sampai pada penentuan sikap menolak atau menerima pembangunan bandar udara di tanah Tajung Bendera, Kabupaten Manggarai Timur atau menawarkan agenda pembangunan yang lain.
Penulis adalah mantan Ketua PMKRI Cabang Yogyakarta periode 2019/2020.