Oleh: Inosensius Sutam
Daniel Anduk dipanggil Tuhan pada Minggu, 13 Juni 2021. Daniel adalah seorang musisi, penyanyi, dan seniman Manggarai.
Ia wafat namun karyanya abadi. Ia mati tapi karyanya seperti rahim yang tanpa henti melahirkan inspirasi. Ia pergi tapi lagu-lagunya tinggal tetap.
Ia hilang tapi karyanya gampang dicari. Ia ditutup tanah. Namun karyanya terus bertumbuh di tanah Manggarai. Ia dikuburkan. Namun suaranya bergema terus sepanjang masa.
Nama Daniel Anduk tenar di tahun 80-an di Manggarai. Tentu juga bagi orang Manggarai diaspora. Ia menjadi menjadi tongkat estafet dari Makarius Arus yang tenar tahun 70-an.
Bersama Makarius Arus, Daniel Anduk membawa musik dan seni suara Manggarai dalam fase baru. Mereka adalah peletak dasar perkembangan seni suara dan musik daerah Manggarai setelahnya.
Keduanya membawa seni suara dan musik Manggarai selaras zaman pada periode 70-an dan 80-an. Bahkan hingga kini.
Tempora mutantur, nos et mutamur in illis, waktu (zaman) berubah dan kita pun berubah di dalamnya. Daniel Anduk dan Makarius Arus menjadi tanduk kehidupan yang menyebabkan kita tidak tersesat dalam perubahan zaman itu.
Tidak kehilangan musik dan lagu leluhur kita. Ke-Manggarai-an kita dalam warna dan syair lagu dan musik yang unik dan khas bertahan. Bahkan bersaing di tengah samudera kehidupan budaya yang keras, namun menarik.
Kita bisa mencatat banyak hal tentang Daniel Anduk, dan tentu saja juga Makarius Arus.
BACA JUGA: Memetik Warisan di Balik Wafatnya Sang Legendaris Daniel Anduk
Pertama, keduanya membawa seni suara Manggarai ke ruang publik yang lebih besar. Mereka sendiri menjadi merek. Brand.
Dan mereka sukses dalam hal ini pada zamannya. Ada rasa percaya diri pada mereka. Menjadi artis tanpa mereka sadari.
Salah satu faktor yang mendukung ialah pada saat itu sudah muncul teknik merekam lagu dengan menggunakan kaset kosong. Lalu dijual.
Dan kemudian diperdengarkan pada saat pesta di kampung-kampung Manggarai. Lagu-lagu mereka menjadi menu yang tidak boleh dilewati setiap pesta.
Kedua, mereka mempertahankan keaslian lagu dan musik Manggarai sambil memperhatikan kebutuhan pasar. Tentu perkembangan zaman.
Mereka berhasil membuat asimilasi dan harmonisasi yang bagus antara yang tradisional dan yang modern pada zaman mereka berkarya.
Gambus misalnya diganti dengan gitar. Namun tidak menghilangkan kekhasan bunyi gambus dalam gitar.
Ketiga, keduanya bisa membuat lagu dan musik Manggarai bersaing dengan musik impor. Mereka mau katakan Manggarai punya musik.
Kami punya seni. Kami adalah seniman. Penyanyi dan pemusik. Masyarakat Manggarai pun disajikan menu lagu dan musik asli yang menyentuh jiwa ke-Manggarai-an mereka.
Mereka menjadi pahlawan seni dalam hal ini laki pangga rami (jantan yang membentengi kehidupan) khususnya dalam bidang seni tarik suara.
Mereka mengamalkan falsafah néka téing tangé bérit (jangan memberi bantal penyanggah diri). Boleh menerima yang baru, yang dari luar.
Tetapi jangan sampai kita kehilangan jati diri. Keaslian kita adalah kekayaan umat manusia.
Keempat, mereka jadikan musik sebagai mata pencaharian. Musik bukanlah lagi sekedar hobi. Bukan hanya untuk bersenang-senang melepaskan penat dan rasa capai.
Ia menjadi produk yang menghasilkan duit. Ini ekonomi kreatif pada saat itu. Mereka menjadi perintis ekonomi kreatif pada zamannya.
Kelima, mereka melakukan refleksi diri dan kritik sosial lewat lagu-lagu karya mereka.
Tema-tema lagu Makarius Arus dan Daniel Anduk kental dengan kehidupan personal mereka sendiri tetapi juga kritik sosial yang dilakukan secara sopan dan elegan.
Tentu tak ketinggalan tema cinta. Dan satu dua tema spiritual/religius. Tema-tema itu sering bercampur pada lagu karya mereka.
Berkarya seni adalah sebuah saluran pendidikan. Keduanya sadar betul falsafah bernyanyi orang Manggarai. Déré hitu ngong toing agu titong = Bernyanyi adalah mendidik dan menuntun jalan hidup.
Oné déré téing jangka boto ciri watang lamba salang, téing molor boto ciri ronggo pandé do’ong = Dalam lagu diberi nasihat, teguran, peringatan dan kritik supaya orang jangan menjadi penghalang jalan kehidupan, jangan menjadi halangan untuk bertumbuh dan berkembangnya kebenaran pribadi dan personal.
Keenam, Daniel Anduk dan Makarius Arus mempunyai keterbatasan fisik (tidak dapat melihat sejak lahir). Tetapi masih mampu berbuat lebih. Mereka hidup mandiri. Tidak menjadi benalu.
Bahkan bisa menghidupi keluarganya. Dengan lagu mereka menarasikan hidupnya. Hidupnya menjadi sebuah narasi keberhasilan. Tentu relatif.
Buta mata, tetapi hati dan jiwa tetap bisa melihat dengan jelas. Tegar dan bermotivasi untuk hidup mandiri. Orang Manggarai selalu mengatakan kalimat ini: “koném buta mata, koném buta huruf, maik néka buta sempula” (Boleh buta mata, buta huruf, itu tak apa-apa, asalkan jangan buta hati, dan buta jiwa).
Dalam keterbatasan fisik, Makarius Arus dan Daniel Anduk telah menunjukkan mata hati dan mata jiwa yang terang dan tepat, serta benar.
Ketujuh, mereka mengagungkan hidup sederhana dan rendah hati. Sampai mati mereka hidup dalam kesederhanaan dan kerendahan hati. Hal ini datang dari rasa syukur atas hidup.
Puas dengan yang ada. Namun tidak pernah puas dan bosan bekerja. Kerendahan hati dan kesederhanaan itu melahirkan deretan kata bermakna. Sederhana dan rendah hati selalu kaya makna.
Kedelapan, Daniel Anduk orang pertama yang vokalnya direkam secara modern. Diiringi musik berwarna dangdut.
Hal itu dilakukannya di Surabaya. Ini betul sebuah pintu baru bagi perkembangan musik tradisional Manggarai.
Dangdut yang adalah muslik melayu sudah terkenal secara nasional. Ternyata bisa diharmoniskan dengan warna suara Manggarai.
Sebuah tenunan yang indah untuk merajut ke-Indonesia-an. 100% Manggarai, 100% Indonesia.
Yang terakhir, dari poin keenam dan ketujuh di atas, Daniel Anduk dan Makarius menjadi orang yang dermawan dan sukarela dalam hidupnya.
Keduanya memakai hati dalam berkarya. Musik dan lagu untuk mereka adalah jalan untuk membagi dan memberi diri untuk orang lain. Lagu dan musik menemukan maknanya dalam kemurahan hati bagi sesama.
Membagi kesederhanaan, memberi dalam kekurangan adalah seni yang paling indah.
Hidup dengan itu menjadi sebuah lagu abadi, musik kekal. Inilah peradaban kasih.
Poin-poin di atas mengarah kepada satu kesimpulan. Daniel Anduk (dan Makarius Arus) mendendangkan etika hidup. Mereka bernyanyi dalam etika dan beretika dalam nyanyi. Selamat jalan Kraeng Daniel Anduk. RIP. Doa kami untukmu.
*Inosensius Sutam adalah rohaniwan katolik dan dosen UNIKA Santu Paulus Ruteng, Flores, NTT.