*Oleh: Fortunatus Hamsah Manah
Peneliti Senior Litbang (Penelitian dan Pengembangan) Kompas Bambang Setiawan mengungkapkan hasil survei tahun 2020 yang merupakan hasil kajian Litbang Kompas soal politik uang.
Bambang menyebut, mayoritas responden menjawab untuk tidak melaporkannya kepada pihak berwenang.
“Mayoritas masyarakat tidak melaporkan praktik politik uang kepada pihak berwenang,” ujar Bambang.
Sementara mayoritas responden mengaku puas terhadap kinerja Bawaslu dalam mengawasi netralitas aparatur sipil negara (ASN).
Hal itu berdasarkan tiga indikator yakni puas, tidak puas, dan tidak tahu. Bambang mengungkapkan kajian tersebut dalam acara diskusi publik bersama media dan pemantau pemilu dengan tema ‘Persiapan dan Tantangan Penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024’ yang diadakan Bawaslu di Media Center Bawaslu, di Jakarta, Rabu (16/5/2021).
Menurut Burhanuddin dkk, 2019, jumlah pemilih yang terlibat politik uang dalam Pemilu 2019 di kisaran 19,4% hingga 33,1%.
Kisaran politik uang ini sangat tinggi menurut standar internasional, dan menempatkan Indonesia sebagai negara dengan peringkat politik uang terbesar nomor tiga sedunia, dengan kata lain politik uang telah menjadi praktik normal baru dalam Pemilu Indonesia.
Hal ini sejalan dengan temuan Bawaslu dan berbagai lembaga survei terdapat kasus politik uang yang terjadi pada Pemilu serentak tahun 2019 antara lain, Pertama, 12 kasus dugaan politik uang yang terjadi pada masa tenang tanggal 14 sampai dengan 16 April 2019 dan pada hari pencoblosan yaitu 1 kasus Kabupaten Ciamis, 1 kasus Kabupaten Kuningan, 4 kasus terjadi di Kabupaten Pangandaran, 1 kasus di Kota Bandung, 1 kasus di Kabupaten Indramayu, dan 4 kasus di Kabupaten Garut.
Kedua, menurut hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengadakan survei tentang Pemilu 2019 dan Demokrasi di Indonesia, menyatakan bahwa terdapat 47,4 persen masyarakat membenarkan adanya politik uang yang terjadi dalam Pemilu Serentak 2019, dan 46,7 persen menganggap politik uang tersebut sebagai hal yang dapat dimaklumi.
Sedangkan menurut data Koalisi Masyarakat Sipil, terdapat 44 temuan terkait politik uang selama masa tenang Pemilu 2019.
Sementara berdasarkan temuan Bawaslu terdapat 24 putusan tentang politik uang yaitu 23 putusan inkarah dan 1 dalam proses banding.
Praktik politik uang sebagian besar terjadi pada hari pencoblosan tanggal 17 April, saat masa tenang selama tiga hari, dan sebelum memasuki masa tenang.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat ada 28 kasus pelanggaran Pemilu 2019 yang telah diputuskan dalam persidangan.
Dari jumlah tersebut, pelanggaran berupa politik uang paling banyak terjadi. “Paling banyak dari 28 (kasus) itu persoalan politik uang,” kata Ketua Bawaslu Abhan di Hotel Bidakara, Jakarta, Senin (11/2) sebagaimana dilansir katadata.co.id.
Politik uang terjadi dengan berbagai macam modus. Dia mencontohkan, ada praktik yang dilakukan dengan membagikan sembako kepada masyarakat.
Ada pula praktik politik uang yang langsung dilakukan dengan memberikan uang kepada para pemilih. Selain itu, ada praktik politik uang dengan menjanjikan pergi umrah.
Celah Hukum Politik Uang
Dari gambaran tersebut di atas, mari kita menelaah permasalahan dan celah hukum yang memungkinkan meningkatnya potensi praktek politik uang.
Permasalahan tersebut memunculkan pelanggaran karena terdapat kelemahan dari segi aturan, pengawasan, dan sistem Pemilu yang membuka berkembangnya politik uang.
Berikut adalah beberapa permasalahan yang membuka peluang besar dalam berkembangnya praktik politik uang di Pemilu 2019 yaitu: terdapat Celah Regulasi yang Menyebabkan Subjek Hukum Dapat Lolos dari Jeratan Undang-Undang.
Pertama, pada tahap kampanye dan masa tenang subjek pemberi uang diatur dalam UU Pemilu (UU No. 7 Tahun 2017) hanya pelaksana, peserta atau tim kampanye.
Pada tahap pemungutan suara subjek pemberi diatur lebih luas menjadi “setiap orang”.
Hal ini akan berdampak kepada tidak terjeratnya pelaku yang di luar kategori pelaksana, peserta atau tim kampanye pada saat melakukan politik uang selama tahapan kampanye dan masa tenang.
Sementara menurut Pasal 269 ayat (1), 270 ayat (1), (2) dan (3) pelaksana kampanye Pemilu adalah pengurus partai politik, calon anggota legislatif, juru kampanye Pemilu (mewakili partai/ calon), orang seorang dan organisasi yang ditunjuk partai politik.
Secara normatif, pelaksana kampanye inilah yang melakukan kampanye kepada peserta kampanye (masyarakat).
Namun pada masa kampanye dan masa tenang, ketentuan ini tidak dapat digunakan menindak pelaku politik uang, jika praktik politik uang dilakukan seseorang yang tidak terkait dengan pelaksana kampanye yaitu partai politik atau calon anggota legislatif (Pasal 84).
Keterbatasan norma hukum ini menyebabkan praktik politik uang marak terjadi pada masa sebelum pencoblosan, di mana praktik politik uang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mungkin dijerat oleh pasal mengenai politik uang.
Kedua, UU Pemilu hanya mengatur larangan praktik politik uang kepada pemberi atau orang yang menjanjikan, sementara penerima tidak diatur secra tegas. Pada Pasal 228 UU Pemilu mensyaratkan adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap sebagai landasan penerapan sanksi administrasi ke pada partai politik yang menerapkan mahar politik pada proses pencalonan presiden dan wakil presiden.
Selain itu UU Pemilu tidak mengatur tentang sanksi pidana terkait mahar politik.
Hal ini mengindikasikan bahwa pembahasan dan penetapan peraturan perundang-undangan yang syarat akan kepentingan politik, sehingga substansi UU Pemilu tidak sesuai dengan harapan.
Ketiga, penetapan presidential treshold (ambang batas) yang mengakibatkan kecendrungan partai politik melakukan negosiasi dan mengarah kepada mahar politik. Presidential threshold akan menciptakan oligarki politik.
Hal ini sejalan dengan pendapat Marli (2018), yang menyatakan bahwa syarat pencalonan harusnya lebih mudah dan terbuka karena akan ada lebih banyak calon alternatif sehingga dimungkinkan adanya muncul tokoh baru dan bisa menekan mahar pencalonan, pembatasan hak warga negara juga dapat dapat dilihat dari pembatasan dalam pencalonan.
Keempat, adanya kelemahan dan keterbatasan regulasi Pemilu yang menjadi kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di kabupaten/kota untuk melakukan penindakan terhadap pelanggaran Pemilu khususnya politik uang.
Hal ini terkait dengan aspek hukum soal pembuktian politik uang yang mengharuskan Bawaslu memiliki bukti material berupa saksi pelapor, pihak pelaku politik uang dan alat bukti pendukung lainnya.
Kelima, menurut bunyi Pasal 89 UU Nomor 8 Tahun 2012 suatu tindakan memenuhi unsur praktek politik uang jika pelaksana kampanye melakukan pemberian uang/materi sebagai imbalan kepada peserta kampanye (pemilih) untuk memilih atau tidak memilih parpol tertentu.
Untuk membuktikan adanya pelanggaran Pemilu pada masa sebelum pencoblosan terkait politik uang maka ketentuan pasal ini mengharuskan Bawaslu kabupaten/kota melacak bukti-bukti material yang mengarah pada praktik politik uang.
Padahal upaya untuk mendapatkan alat bukti praktik politik uang tidak mudah jika saksi tidak bersedia bersaksi dan bukti hasil transaksi politik uang tidak terpenuhi.
Kondisi ini menyebabkan penindakan pelanggaran politik uang yang terjadi sebelum pencoblosan tidak dapat dilakukan maksimal.
Jika ada bukti empirik adanya praktik pemberian uang atau materi kepada pemilih, maka pihak Bawaslu kesulitan mendapatkan saksi yang bersedia diminta keterangan.
Bentuk Pemberian Politik Uang Tidak Teridentifikasi Sebagai Kasus Politik Uang
Transaksi pemberian uang terkadang tidak dilakukan calon secara langsung tetapi melalui perantara tim sukses atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan calon.
Modusnya beragam seperti melalui acara pengajian, wiridan, PKK ibu-ibu di RT/RW di tingkat desa atau acara- acara sosial yang dikemas dengan kehadiran calon.
Dalih yang paling umum untuk penyampaian pemberian uang atau barang adalah pengganti uang transportasi.
Praktik pemberian uang dengan dalih pengganti transportasi jelas mengarah pada politik uang, namun pembuktian hukumnya terkendala oleh konteks kejadian dan makna politik uang itu sendiri.
Jika pemberian didalihkan sebagai ganti transporasi dan pada saat kejadian pembagian, sang calon tidak menyinggung visi, misi, dan tidak mengadakan ajakan untuk memilih dirinya, maka konteks pembagian transportasi sulit didakwakan sebagai politik uang.
Situasinya demikian menyebabkan langkah penegakan hukum terpadu (Gakumdu) yang dilakukan bersama antara Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan, sulit dilakukan karena kendala pembuktian hukum dari makna politik uang.
Kendala lain adalah sulitnya Badan Pengawas Pemilu menghadirkan saksi.
Umumnya orang yang mengetahui ada praktik politik uang tidak bersedia bersaksi karena khawatir menyinggung pelaku yang dikenalnya.
Kegagalan Badan Pengawas Pemilu dalam konteks Gakumdu dalam rangka membawa dugaan politik uang ke ranah hukum menjadi fenomena umum.
Artinya, walaupun dugaan politik uang meluas dan menjadi pembicaraan luas masyarakat (pemilih), namun jika tidak didukung alat bukti yang secara hukum kuat (saksi, uang/ meteri, pelaku dan terpenuhinya aspek politik uang) maka Pengawas Pemilu tidak dapat melanjutkan ke aspek penuntutan yang lebih tinggi ke kepolisiaan atau kejaksaan.
Ketiadaan alat bukti menyebabkan penindakan hukum praktik politik uang gugur di tengah jalan.
Memperkuat Aturan Hukum Melalui Sanksi Pidana dan Administratif
Peraturan terkait politik uang dan mahar politik yaitu UU Nomor 10 Tahun 2016, dan UU Nomor 1 Tahun 2015 mengatur bahwa partai politik atau gabungan partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan Gubernur, Wali Kota ataupun Bupati.
Peraturan pada Undang-undang Pilkada tidak hanya memberikan sanksi pidana kepada orang yang melakukan mahar, tapi juga administrastif.
Pelanggar dilarang mengajukan calon kepala/wakil kepala daerah untuk periode berikutnya. Sanksi lain adalah pembatalan atas penetapan calon terpilih, kepala daerah yang dilantik.
Berbeda dengan itu, undang-undang Pemilu nomor 7 Tahun 2017, sanksi hanya sebatas pelarangan terhadap partai politik untuk mengajukan calon presiden pada periode berikutnya.
Aturan itu tidak menyebutkan mengenai pembatalan pasangan calon, calon terpilih atau perberhentian Presiden atau Wakil Presiden yang telah dilantik.
Peraturan KPU nomor 22 Tahun 2018 tidak mengatur lebih lanjut tentang mahar.
Seharusnya Undang-undang Pemilu dapat segera direvisi menyesuaikan dengan Undang-undang Pilkada, setidaknya jika Undang- undang tidak terbentuk, peraturan pemerintah bisa mengatur peraturan ini secara rinci.
Jadi, aturan hukum harus direvisi untuk memperjelas sanksi hukum dan sanksi administrasi jika terjadi pelanggaran mengenai mahar politik ataupun politik uang.
Aturan ini juga harus lebih mempermudah pengawas untuk membuat alat bukti.
Sesuai teori Von Feurbach, kriminalisasi yang disertai ancaman hukuman yang berat memberikan efek psikologis yang mencegah seseorang melakukan kejahatan serupa.
Penulis adalah Anggota Bawaslu Kabupaten Manggarai