Oleh: Om Gege
Ketika Sri Mulyani membebaskan pajak atas dividen, dengan sendirinya ia membebaskan orang-orang superkaya, oligark, dari kewajiban membayar pajak penghasilan. Maka pajak kian jauh dari idealnya sebagai sarana redistribusi kesejahteraan. Sebaliknya, ia alat kian mengonsentrasikan monopoli kekayaan negeri ke tangan oligark. Pajak jadi mekanisme perampokan legal terhadap orang-orang miskin demi mempertahankan tingkat kesejahteraan kaum superkaya.
Saya tidak sedang bergenit-genit dengan kiasan ketika menyebut perpajakan saat ini sebagai mekanisme perampokan terhadap kaum miskin demi mensubsidi kerakusan golongan penduduk 1 persen terkaya. Saya memilih diksi tersebut dalam makna sebenarnya.
Saya juga tidak sedang ikut-ikutan membahas problem viral rencana pajak sembako, sekolah, dan layanan sosial yang hari-hari terakhir ini bikin publik marah besar. Sudah banyak ulasan di media tentang rencana keterlaluan itu.
Saya ingin membahas sesuatu yang agak sepi dari perhatian publik padahal sangat vulgar mempertontonkan karakter asli rezim ini: rezim pajak perampokan terhadap rakyat biasa.
Orang-orang yang malas memeriksa kenyataan akan mudah percaya bahwa saat ini pajak berfungsi utama sebagai mekanisme redistribusi kekayaan. Negara mengutip uang dari warga yang lebih beruntung dan mendistribusikannya kepada warga kurang beruntung melalui proyek pembangunan yang menyerap angkatan kerja; melalui layanan publik cuma-cuma; dan melalui berbagai macam program jaring pengaman sosial.
Pengertian tentang fungsi pajak sebagai mekanisme redistribusi kekayaan memang tidak salah, bahkan seharusnya justru demikian. Tetapi sejatinya pengertian itu lebih bekerja di ranah ideal, das sollen, bukan yang sungguh terjadi, tidak di ranah praktik saat ini. Lebih lagi, fungsi pajak yang seperti ini bukanlah yang sejatinya ada di pikiran dan niat kelas penguasa, golongan yang punya kekuasaan untuk memengaruhi kebijakan perpajakan.
Fungsi pajak yang lebih nyata (dalam kapitalisme) dan sungguh-sungguh dikehendaki kelas penguasa adalah yang mereka sebut fungsi anggaran. Lebih spesifik lagi, pajak sebagai sumber pendanaan pengadaan public goods. Goods adalah segala sesuatu yang bermanfaat, entah berupa barang, pun jasa.
Public goods, dalam pengertian yang diterima ekonomi pasar, adalah 1) barang atau jasa yang pengadaannya tidak bisa dilakukan oleh aktor pasar sebab kelewat mahal atau yang tidak menguntungkan karena 2) barang atau jasa yang pemanfaatannya tidak bisa dibatasi hanya kepada orang-orang yang membayar.
Ekonomi politik klasik akan menjelaskan dengan kata-kata Smith, bahwa Negara – institusi politik yang mereka pisahkan secara tegas dari pasar/masyarakat sipil – hanya boleh mencampuri urusan masyarakat sipil/pasar dalam dua hal: pengadaan public good dan kompensasi terhadap kaum yang mengalami kerugian di pasar (kalangan miskin).
Karena tidak ada aktor pasar yang mau dan atau mampu mendanai public goods dan agar semua orang –diasumsikan turut menikmati manfaat public good– turut membayar, Negara diberikan otoritas untuk menarik pembayaran dalam bentuk pajak.
Dengan otoritas itu, negara memaksa semua warga Negara (wajib pajak) turut membayar jasa keamanan dan pertahanan, kantor-kantor layanan publik, pembangunan infrastruktur, dan macam-macam public goods lain. Dengan demikian tidak ada free rider, tidak ada penumpang gelap. Semua orang harus membayar karcis untuk menikmati banyak bentuk public goods, entah sungguh merasakan manfaatnya pun tidak berdampak apa-apa – bahkan mungkin merugikan — bagi kehidupannya.
Pajak adalah sumber penerimaan terbesar negara. Lebih rinci lagi, kontributor terbesar pendapatan pajak berasal dari pajak penghasilan. Pada 2020, dari realisasi penerimaan pajak Rp1.069,98 triliun, lebih dari separuh (Rp583,95 triliun) berasal dari PPh pasal 21 yang populer disebut PPh karyawan (buruh) sebab dikenakan atas “penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lainnya atas pekerjaan, jasa, atau kegiatan lain dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak atau karyawan dan harus dibayar setiap bulannya.”
Coba bandingkan dengan kontribusi konglomerat Indonesia terhadap total penerimaan pajak? Menurut peneliti perpajakan dari DDTC Fiscal Research Bawono Kristiaji, berdasarkan data Ditjen Pajak tahun 2017, konglomerat secara pribadi hanya berkontribusi 0,8 persen terhadap total penerimaan pajak.
Kondisi ini bukannya tidak disadari oleh para ekonom kunci pemerintahan Joko Widodo. Menkeu Sri Mulyani mengakui kecilnya kontribusi kaum kaya raya terhadap penerimaan pajak. Untuk itu ia merencanakan kenaikan pajak penghasilan orang pribadi (PPh OP) bagi orang-orang kaya sebesar 5%. Orang-orang yang pendapatannya di atas Rp5 miliar per tahun akan dikenakan PPh 35%. Saat ini cuma 30%.
Kenaikan yang cuma 5% ini tentu saja menggelikan. Tetapi yang membuat rencana ini menjadi semata-mata bualan gelembung sabun adalah kenyataan bahwa beberapa bulan sebelumnya Sri Mulyani menerbitkan PMK-18/PMK.03/2021 yang merupakan pengaturan teknis lebih lanjut dari Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha.
Kedua peraturan ini merupakan turunan dari UU Cipta Kerja, omnibus law cilaka yang mengabdi kepada kepentingan oligark dalam negeri dan kapitalis global yang sangat membutuhkan liberalisasi ekonomi ugal-ugalan demi mempertahankan tingkat laju keuntungan bisnis mereka.
PMK-18/PMK.03/2021 mengatur mekanisme pembebasan dividen dari objek PPh. Dividen yang diterima dan diperoleh wajib pajak orang pribadi dari dalam negeri dan dari luar negeri dikecualikan dari objek PPh dengan syarat harus diinvestasikan di Indonesia dalam jangka waktu tertentu.
Pasal 34 menyebutkan 12 bentuk umum investasi yang boleh dipilih sebagai syarat dividen bebas pajak. Pasal-pasal selanjutnya menjabarkan lebih rinci lagi. Termasuk di dalam rincian tersebut adalah pembelian emas atau bahkan cuma mengendapkan begitu saja penerimaan dividen dalam rekening tabungan.
PMK bebas pajak dividen ini membuat rencana Sri Mulyani menaikkan pajak PPh kepada orang kaya menjadi omong kosong yang mengocok perut tetapi perihkan hati. Jelas-jelas sumber penghasilan utama orang-orang superkaya adalah dividen. Jelas-jelas pula, pemanfaatan utama pendapatan oleh kaum kapitalis adalah untuk diinvestasikan lagi. Berbeda halnya dengan buruh. Bahkan berbeda pula dengan landlord, kelas penguasa di era masyarakat feudal. Dua yang terakhir memanfaatkan pendapatan untuk subsisten, untuk pemenuhan kebutuhannya.
Sebagai ekonom pro-ekonomi liberal, Sri Mulyani dan jajarannya tentu memahami kecenderungan ini. Mereka tak perlu membaca Marx sebab bukan Marx yang mengatakan demikian melainkan David Ricardo, dedengkot ekonomi politik klasik, pendukung ekonomi pasar yang sekaliber Smith.
Nikolai Bukharin (dalam bukunya, The Economic Theory of the Leisure Class) menyatakan, golongan terkaya di dalam masyarakat kapitalis pada dasarnya adalah parasit sebab mereka bisa berleha-leha menikmati kekayaan tanpa harus bekerja. Mereka menikmati pendapatan berlimpah bukan dari upah terhadap kerja melainkan dari penyertaan modal mereka di institusi keuangan (yang sejatinya sama pula dengan dividen atas saham).
Lima belas tahun sebelum Bukharin, dalam buku berjudul nyaris serupa – sekalipun bukan dengan pendekatan ekonomi politik – Thorstein Veblen juga menjelaskan, hal utama yang membedakan elit ekonomi puncak dengan orang kaya biasa adalah pada kepemilikan waktu luang, ketidakharusan bekerja tetapi tetap bisa hidup berfoya-foya. Kepemilikan waktu luang itu sesungguhnya yang dipamerkan, yang membuat mereka dijuluki the leisure class.
Waktu luang menjadi pembeda kunci kalangan superkaya dengan rakyat biasa sebab pendapatan orang-orang superkaya bukan berasal dari kompensasi atas kerja melainkan dari asset, dari kekayaan yang dijadikan modal untuk menghasilkan lebih banyak kekayaan — Seorang pelajar Marxist mungkin merasa perlu menambahkan ‘karena melalui penguasaan asset itu, mereka merampas sebagian nilai tambah yang dihasilkan buruh’.
Maka ketika Sri Mulyani membebaskan pajak atas dividen, dengan sendirinya ia membebaskan orang-orang superkaya atau oligark dari pajak penghasilan. Rencana kenaikan pajak penghasilan bagi orang-orang kaya, yang sekalipun cuma 5% tetapi diumbar-umbar seolah-olah jadi bukti pemerintah pro-keadilan, menjadi sia-sia belaka, menjadi semata-mata aksi memeluk angin.
Karena tidak terlibat membayar pajak, karena kontribusinya terhadap pajak penghasilan tak sampai 1% — bandingkan dengan kelas pekerja yang berkontribusi lebih dari separuh penerimaan pajak Negara –, maka golongan superkaya inilah penumpang gelap, free rider dari beragam public goods yang diadakan pemerintah.
Tetapi kaum 1 persen ini – satu persen jumlahnya, tak sampai 1 persen kontribusinya terhadap pajak, tetapi hampir 50% penguasaannya terhadap kekayaan nasional – bukan cuma free rider biasa. Mereka adalah free rider gerbong eksekutif. Mereka menikmati perjalanan gratis dalam gerbong nyaman berfasilitas lengkap. Sementara yang membayar perjalanan tersebut adalah kelas pekerja, rakyat biasa Indonesia yang harus duduk berdesak-desakkan di gerbong ekonomi yang sumpek, panas, dan bau.
Kaum 1 persen adalah free rider gerbong eksekutif sebab merekalah kelompok yang paling menikmati beragam public goods.
Memang siapakah yang paling membutuhkan penegakan hukum? Tentu saja kaum kaya sebab 80% isi produk hukum sejak zaman dahulu adalah urusan perlindungan terhadap private property.
Memang siapakah yang paling menikmati manfaat pembangunan jalan raya, pelabuhan, bandara, dan lain-lain infrastuktur?
Ya kaum 1 persen itu juga. Sebab jalan raya, pelabuhan, pembangkit listrik, dll lebih berfungsi sebagai alat memperlancar ekspansi investasi dan pasar terhadap barang-barang yang dihasilkan perusahaan milik elit ekonomi dibandingkan untuk melayani rakyat. Periksa saja isi pidato-pidato Presiden Joko Widodo tentang pembangunan infrastruktur. Investasi selalu jadi kata kunci utama.
Jadi, orang-orang yang menikmati manfaat paling besar dari publik goods justru merupakan orang-orang yang membayar paling sedikit. Orang-orang yang jumlahnya cuma 1 persen total penduduk ini justru menguasai hampir separuh total kekayaan nasional.
Ketika perekonomian menghadapi krisis, dan Negara harus menjaga keberlangsungan ekonomi dengan memperbesar belanja pembangunan infrastruktur, dan sebagai konsekuensinya membutuhkan banyak anggaran, orang-orang miskin, rakyat biasa, kaum 99 persen justru yang jadi korban ekstensifikasi dan intensifikasi pajak.
Maka pajak kian jauh dari idealnya sebagai sarana redistribusi kesejahteraan. Bahkan pajak bukan lagi alat mencegah free rider. Sebaliknya pajak (dalam konteks saat ini) jadi alat kian mengonsentrasikan monopoli kekayaan ke tangan segelintir orang. Pajak jadi alat yang menjaga kaum kaya raya tetap jadi penumpang gelap dengan segala hak istimewanya. Rakyat yang dipaksa membayar semua kemewahan itu. Pajak menjadi mekanisme perampokan yang legal terhadap orang-orang miskin demi mempertahankan tingkat kesejahteraan orang-orang superkaya dan kelanggengan sistem ekonomi yang menguntungkan mereka.
Tiada jalan lain untuk mengakhiri realita perampokan ini. Indonesia harus memberlakukan pajak kekayaan. Hanya melalui pembebanan pajak terhadap asset yang dikuasai orang-orang superkaya, redistribusi kesejahteraan dapat dilaksanakan.
Pemberlakuan pajak kekayaan tidak bisa dimintakan secara suke rela kepada elit kekuasaan saat ini yang tidak lain cuma operator kekuasaan oligarki. Oligarki adalah demokrasi semu, demokrasi yang dikendalikan kaum superkaya.
Pemberlakuan pajak kekayaan hanya mungkin jika rakyat memaksa. Jalan konsitusional untuk memaksakan itu adalah dengan rakyat biasa – para korban rezim pajak perampokan ini — membangun partai politiknya sendiri, mengirim wakil-wakilnya untuk bertarung di dalam pemilu, dan merebut kekuasaan. Dengan kekuasaan itu, rakyat mengubah politik perpajakan Indonesia agar mengabdi kepada kepentingan mewujudkan masyarakat Indonesia adil-makmur.***