*Cerpen
Oleh: Marsel Koka
Orang tak begitu banyak saat Dia bersujud di Gereja tua itu. Hanya sepasang muda mudi dan dua tiga orang tua duduk di beberapa bangku. Wajah mereka tampak muram dan sedikit tegang.
Itu terlihat pada kerutan dahi dan sorot mata yang memperlihatkan keyakinan akan sesuatu yang pasti, tetapi perlu perjuangan keras untuk mencapainya.
Dia begitu khusyuk dengan doanya. Tangan terkatup dan mata terpejam. Begitu hening begitu damai. Itu kebiasaan yang dia buat setiap kali dia masuk di Gereja itu.
Kadang Ia sendirian berjam-jam di tempat itu. Pokoknya Dia tak ingin melewati hari-harinya tanpa menyepi bersama sunyi dalam kapela itu.
Annibale Maria di Francia itu nama panjangnya. Nama yang diberi oleh Francis ayahnya dan Anna Toscano ibunya, tepat dua bulan setelah Ia lahir pada 5 Juli 1851.
Tetangga rumahnya bilang mereka keluarga berada dengan penghasilan banyak karena berdarah bangsawan. Kehidupannya diwarnai oleh kasih sayang yang pantas dari ayah dan ibunya.
Malam itu rembulan bersinar dengan terangnya. Annibale duduk persis di samping ibunya setelah ayahnya dan tiga saudara-saudaranya.
Di depan mereka ada gua kecil. Disimpan patung Bunda Maria dan Salib Tuhan Yesus, serta buku-buku doa.
Mereka berdoa seperti malam yang sudah-sudah. Malam itu setelah doa selesai, dan sambil mengenggam tangan ibunya, Ia bilang.
Ma, aku ingin mengapai langit dan menjadi menghuni surga!
Kata-kata itu membuat Anna ibunya terkejut dan girang dalam di hatinya. Anna tak pernah menyangka jika anaknya akan berbicara selancang dan seyakin itu.
Dia sendiri tak pernah tahu dan bahkan tidak pernah membayang-bayang tentang kata-kata itu keluar dari mulutnya.
Nak, wujudkan mimpimu! Langit akan membawamu pada tempatnya. Para penghuni surga akan mendoakan dan memuliakanmu. Dan jika kamu sampai pada-Nya, biarkan aku, ayahmu dan juga kakak dan adikmu duduk di sampingmu nak.
Percakapan selesai. Lilin dalam gua dipadamkan. Pintu kamar dikunci. Mereka pun terlelap bersama malam.
Sepanjang malam, Ibunya susah tidur. Ia bangun memandang wajah anaknya. Membelai. Tersenyum. Lalu tidurnya lagi. Jauh di lubuk hatinya Anna mulai merasa bahwaa sesuatu akan terjadi dalam diri putranya itu.
Besok, lusa, Mingu depan, Bulan depan, Tahun depan. Pokoknya kapan saja pasti akan ada sejarah yang terukir.
Dia yakin nama anaknya serta keluarga akan dikenang oleh sejarah. Kata-kata anaknya itu ia tabur dan selip dalam setiap baris doanya.
Tuhan, terjadilah padanya, kehendak-Mu!
******
Usia sudah memasuki ke tujuh belas tahun. Satu waktu Ia masuk lagi di Kapela itu. Burung kecil riang sekali saat Dia masuk.
Mereka terbang ke sana ke mari seolah-olah ingin menemani Dia yang datang pada pagi itu. Setelah beberapa saat duduk, Ia mulai masuk dalam hening yang teramat dalam. Walaupun dia sendirian tapi sepertinya Dia sedang ditemani oleh penghuni surga.
Rogate, Rogate, Rogate.
Kata itu menyambar telinganya. Berulang kali. Pergi dan temukan itu. Buka dan lihatlah. Cari dan camlah. Dapat dan kerjakan. Suara-suara itu mendesak-desak.
Baru kali ini ia mendengar suara sejelas itu. Untuk apa dan supaya apa dia tidak mengerti. Ia diamkan dalam batinnya sambil membiarkan dirinya menyerap kata itu.
Sejak saat itu Ia menjadi pribadi yang semakin berbeda dari anak-anak seumurannya. Kadang, orang merasa begitu teduh ketika duduk di sampingnya.
Orang merasa lega ketika berbicara padanya. Orang merasa kuat ketika mendengar nasihatnya. Pada ayahnya Dia mulai bercerita tentang kehebatan tokoh-tokoh dalam Kitab Suci.
Pada ibunya Ia tak pernah lelah memuji keberanian dan ketaatan Bunda Maria. Dan pada saudara-saudaranya Ia selalu mengagumkan dan menguraikan kehebatan Santo dan Santa dalam Gereja.
******
Tanggal 16 Maret 1878 Ia menerima urapan suci. Resmi dipinang menjadi imam Allah, seorang gembala mudah yang gagah.
Seperti para gembala kebanyakan, setiap hari Dia juga tak pernah lalai merayakan Ekaristi, doa dan segala macamnya. Pokoknya gelorah cintanya mulai tampak dalam pelayan setiap hari.
Pagi itu hari menjelang siang. Panas terik mulai terasa ketika kakinya melangkah lorong-lorong kota Mesina.
Manusia lalu lalang dan sibuk dengan urusan masing-masing. Ada yang jalan sendirian, ada yang bersama pasangan.
Ada pejalan kaki, ada pula yang mengendarai mobil mewah. Datang pergi begitu saja. Mereka sibuk dengan tujuan dan tempat masing-masing.
Matanya tiba-tiba menangkap seorang pria kumal. Ia sebatang kara di tepi jalan. Duduk beralaskan aspal dan beratapkan langit. Wajahnya pasi.
Ada yang buang muka ketika tangannya meminta. Ada marah-marah sambil melemparkan koin pada tangannya.
Di tepi jalan itu, dia tidak saja letih oleh panas terik tetapi letih oleh hujatan orang yang lewat.
Di sana cinta dan belas kasih menjadi sesuatu yang nihil dan bahkan utopis. Barangkali, orang tidak menemukan dirinya sebagai makhluk ilahi tetapi lebih sebagai benda yang bisa disepak begitu saja.
Bagi mereka yang lewat, Ia sudah tidak ada, sudah mati bahkan dilihat sebagai sebatang mayat yang tidak berharga lagi.
Di tepi jalan itu, Ia tidak hanya semata-mata mengalami penderitaan fisik, buta, tetapi semua perasaan yang lain.
Ketakutan akan kematian, kejengkelan karena selalu direndahkan, keputusasaan karena nyaris kehilangan hidup dan kekesalan karena penghinaan moral padanya.
Annibale yang dari tadi memperhatikan, kini mendekat. Setelah persis di depannya. Langkahnya berhenti. Sambil memegang pundaknya Ia menyapa.
Namamu?
Aku Zangkone. Bisiknya.
Di mana kamu tinggal?
Itu di sana Avignone Quarter!
Ayo tunjukkan tempat itu!
Annibale membiarkan dirinya dituntun oleh pengemis buta itu. Berjalan penuh hati-hati. Sesekali mengangkat dan menarik jubah ke atas karena jalanan lumpur dan becek.
Bau tak sedap menyengat hidung. Beberapa mata mulai melotot dengan teliti dari samping. Ada semacam marah yang mengunung dibenak orang yang berdiri di sisi kanan dan kiri jalan.
Untuk apa pria berjubah ini muncul di tempat kita. Dia mau berkhotbah dan menyenangkan kita dengan kata-kata indahnya lalu pergi tanpa menghasilkan apa-apa? Jangan terima dia! Jangan lagi dibodohi oleh kata-katanya manisnya! Mereka pembohonga! Barangkali demikian kata-kata yang ada dalam benak orang di sisi kiri dan kana jalan itu.
Ini Avignone, tempat tinggalku! Kata Zangkone.
Bocah-bocah kumal perlahan-lahan datang mendekat. Ibu-ibu yang kesepian memperhatikannya dari rumah-rumah reot mereka. Beberapa pemabuk paksa bangun minta ditambahi sopi.
Namun Annibale hanya menyapa mereka dengan santun dan senyuman ramah, walau hatinya tercabik-cabik oleh pemandangan yang telanjang di depan matanya.
Di sana dia mengerti bahwa di Avignone, kemiskinan lebih mendominasi dari pada keindahan kota Mesina.
Anak-anak yatim lebih kentara daripada keluarga utuh yang berteduh di rumah-rumah mewah, tangisan lebih deras dari pada pujian dan doa-doa dari Gereja-Gereja megah kota Mesina.
Masihkah aku menjadi seorang gembala lalu berdiam diri dalam Gedung megah Katedral sana sedangkan di umat gembalaanku mati kelaparan? Layakkah aku menjadi gembala jika domba-dombaku tersesat dalam lumpur dosa, dan mati dalam luka batin yang tak sembuh?
Pantaskah aku berjubah panjang namun umatku di Avignone dibiarkan telanjang tanpa busana yang pantas? Tidak kah akirnya aku ingkar janji pada kaul-kaulku karena umatku hidup dalam kemiskinan sedangkan aku hidup dalam kemewahan? Pertanyaan-pertanyaan itu menganggu hatinya sejak saat itu.
Tuhan, tunjukkan padaku kehendak-Mu? Batinnya terus menerus.
Dia tahu betul bahwa dari ilmu yang ia dapat mengatakan bahwa kepeduliaan terhadap orang yang menderita adalah sebuah tanggung jawab etis sekaligus merupakan perintah moral.
Artinya dia tidak hanya menyadari keadaan getir itu tapi pada saat yang sama dipaksa untuk melakukan sesuatu.
******
Malam itu Dia sendiri di bangku doa, ditemani dua lilin yang bernyala, buku Alkitab di tangannya serta keheningan yang khususk dalam kapela.
Matanya tertuju pada penggalan Injil Matius 9:38 yang bertulis“Tuaian Memang Banyak Tetapi Pekerja Sedikit Oleh Karena Itu Mintalah”.
Dia tidak mengerti kenapa matanya enggan beralih dari sepenggal ayat itu. Ia membacanya ulang-ulang lalu hening.
Sesungguhnya perjumpaan dengan Zangkone di tepi jalan itu adalah sebuah perjumpaan yang didesak oleh cinta, diresapkan oleh cinta dan ditautkan pula oleh cinta.
Rogate, kata-kata yang Ia dengarkan beberapa tahun silam memberinya jawaban. Berdoalah, kerjakanlah dan jadikanlah dirimu sebagai pembawa perubahan bagi Avignone. Isnpirasi itu menghiasi seluruh hati dan pikirannya.
Imamatnya sebetulnya lahir dari, karena dan untuk Rogate. Imamatnya juga hanya berarti jika Ia merelakan yang perting dari dirinya untuk Zancone dan orang-orang di Avignone.
Rasa cinta yang diberikan ke dalam hati orang yang bersengsara, barangkali jauh lebih mulia daripada mulut yang komat-kamit tanpa isi di dalam rumah peribadatan.
Sepeser yang diletakan di atas tangan orang yang susah nestapa, jauh lebih luhur daripada lama-lama bersembayang di altar.
Rogate itu sama artinya dengan melihat, merasakan, berjuang dengan umat gembalaannya.
Itu berarti teori-teori teologi dan praktek cinta menyatu. Komtemplasi dan aksi bersentuhan. Perhatian dan tanggung jawab bersinggungan. Eros dan agape bertemu.
Pada May 16, 1897, Annibale, Imam kudus itu dan persis di Avigone tempat kumuh itu Ia mendirikan Rogasionist sebagai sebuah kongergasi yang memiliki misi khusus untuk mendoakan agar semua panggilan dalam hidup agar menjadi kudus.
Dengan matra yang sangat terkenal yakni Ya Tuhan Utuslah Rasul Yang Kudus Ke Dalam Gereja-MU”. Di mana dan kapan saja, siang malam bahkan sampai selama-lamanya mereka mengucapkan doa itu.
Catatan:
- Rogate: berasal dari kata Bahasa latin yang berarti mintalah atau berdolah
- Rogasionit adalah: kongergasi yang memliki misi khusus yakni berdoa bagi panggilan dalam Gereja
- Annibale Maria di Francia adalah seorang santo dalam gereja Katolik yang mendirikan biara atau kongregasi Rogasionis Hati Yesus
- Avignone adalah tempat kumuh yang di tempat oleh banyak orang miskin, terlantar dan gelandangan di kota Mesina-Italia, namun St. Annibale mengubahnya menjadi sebuah tempat yang kemudian membangun asrama dan juga kongregasi Rogasionis
- Zangkone adalah pengemis buta yang dijumpai di pinggir jalan, Ia yang kemudian menghantar Annibale untuk mengenal Avignone.
- Gereja Yohanes Malta adalah tempat di mana St. Annibale mendapatkan inspirasi Rogate untuk pertama kalinya ketika Ia berumur sekitar 17 tahun.
Penulis: Marsel Koka. Asal: Minsi-Riung Barat, Bajawa, Flores-NTT. Tinggal: Rogasionist Maumere-Flores