*Cerpen
(Tentangmu Agar Tak Lupa Pulang)
Oleh: Aris Amlupu
Dingin Februari. Kau dan senja sama saja bagiku. Bukan karena indah jingganya melainkan sama-sama tidak bisa dimiliki, hanya bisa dikagumi setelah suatu penantian panjang, lalu menghilang begitu saja. Tanpa kabar, tanpa permisi.
Apa lagi yang dapat membikinku seluka ini, kalau bukan harap yang terlalu dan rindu yang aduh.
Hujan selalu datang di ceruk mataku. Tiap rintiknya selalu menjajah seluruh isi kepala, membawa seluruh kenangan dan ditumpahkan begitu riuh.
Pernah kucoba agar tak ada lagi hujan, tapi malah kau tanam gemuruh yang begitu menggelegar di dadaku dengan kepergianmu. Akhh, sial.
“Ina mendekatlah kemari. Apa yang kau pahami tentang kepergian?”
“ Luka, hilang dan tak bisa dipeluk”
“Jangan, jangan begitu Ina, terkadang setiap insan harus pergi agar tahu sensasinya rindu dan mengerti artinya pulang”
Ini awal pertarungan air mata dan rindu dimulai yang hati adalah taruhannya. Entah siapa yang menang, masing-masing kita tak pernah bisa meramalnya, hanya rapalan sembahyang diam-diam yang paling paham.
Oleh hujan pertama November kita dipertemukan. Sewaktu benih-benih petani menumbuhkan tunas yang begitu subur, cinta kita pun ikut tumbuh dengan begitu hijaunya.
Kita seperti sepasang kemarau yang sama-sama menantikan tetes hujan atas dahaga panjang dari luka-luka di masa lalu. Kita seperti musafir-musafir gurun yang selalu berharap menemukan Oase.
Kita sama-sama pernah seperti sungai-sungai kecil yang selalu berjuang agar sampai pada muara. Setengah mati. Ya dan hampir mati.
“Ama, aku percaya akan cinta di dalam surga, pencipta rindu yang melangit dan doa yang membumi. Berjanjilah padaku, ketika hujan turun di musim yang tak menentu dengan gigil yang gigih, kau selalu di sisiku dan pelukmu adalah obatnya.
“Ina, aku tak ingin berjanji atas nama Bapa pencipta cinta, Putera penebusan luka dan Roh pemberi kekuatan, sebab telah banyak berjanji atas nama sumpah yang nyatanya sampah.
“Kau akan meninggalkanku sama seperti berandalan-berandalan di masa laluku?”
“Tidak Ina, tidak akan pernah. Aku akan tetap mencintaimu dengan kepala batu.”
Barangkali semuanya harus begitu. Kita tak perlu berjanji sehidup semati, tetapi kita semestinya berusaha agar tak saling melukai satu dengan yang lain. Aku tak tahu dengan apa harus dinamakan pertemuan ini. Cinta selepas hujan kah?
Ya… saya kira begitu. Cinta selalu diidentikkan dengan hujan. Sebab, selain rintiknya yang menumbuhkan tunas hijau, genangannya selalu membawa kenangan yang membuat kita kembali jatuh.
Seusai musim-musim hujan selesai, kita menyimpan segalanya dalam hati. Apa yang kita panen? Tak tahu. Kita bingung. Hanya sembayang diam-diam yang paling paham.
Luka dan jangan lupa? Haruskah kunamai demikian?
Setelah musim-musim berlalu, dingin Februari datang dengan begitu tergesa. Merenggas segala. Harapan. Mimpi. Cita dan cinta.
“Ama, kau adalah lelaki yang selalu bikin luka. Bukankah sudah kubilang padamu, jangan pergi. Mengapa kau tak merantau saja ke batinku. Sebab selama kau masih tersenyum, duniaku akan baik-baik saja.”
Barangkali benar, dingin di ingatan adalah perpaduan selepas hujan kepergian dan kemarau yang tak cepat mengantarmu pulang.
Aku adalah Ina yang selalu dan sedang terluka, tapi masih diam-diam merapal sembahyang dengan rindu yang malu-malu. Aku adalah Ina yang selalu menamakan diri kuat.
Ya ketika aku masih sanggup. Sekarang aku tak pernah mempersoalkan kepergianmu, yang kucemaskan adalah kepulanganmu. Kuharap kau selalu menjadi pelayar yang hanya mau kembali berlabuh pada dermaga yang setia menantimu.
“Ama kapan pulang?”
Kau hanya perlu tahu saja, sejauh apapun aku melangkah, selalu ada kerinduan untuk pulang pada Palung ketika selalu ada palang di pelupuk mata yang bening.
Sebab pada teduh tatap matamu, segala keluh yang menjadi kesah berhenti mengaduh.
Pada tiap diksi yang menjelma puisi, aku jadi susah kau bikin. Siapa yang pandai bersastra dan siapa yang paling setia merapal mantra hingga tak ada yang mau pangling.
Aku adalah lelaki timur yang dengan jiwa keras sekeras batu karang, namun kau buat luluh lantah dengan sekali senyum. Benar katamu “ Senyum adalah doa paling sederhana, seumpama tetes air pada karang, sedikit, selalu dan perlahan namun meremukkan”
“Ina, aku akan pulang. Itu pasti.”
Malam kembali bergeming. Tidurlah dengan rindu yang gunda gulana. Jangan terlalu larut. Biar engkau mengerti bahwa aku memberimu rindu agar kau selalu setia menanti aku kembali.
Tidurlah. Jangan risau. Di sini, waktu takkan cukup untuk menghabiskan rindu, walau berkali-kali, beribu ribu, bertahun-tahun dan berabad-abad. Tidurlah Ina.
Di musim yang tak pasti,
Mangulewa, 14 Juni 2021