Oleh: Hendra Charlitoz
“Hanya ada dua pilihan; menjadi apatis atau mengikuti arus. Tetapi aku memilih untuk menjadi Manusia Merdeka”.
Pernyataan tegas Soe Hok Gie di atas dilatarbelakangi oleh kemunafikan orang-orang gila di negeri ini, polusi demokrasi yang ditandai dengan pembudidayaan korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta beragam bentuk ketidakadilan struktural yang melanda Indonesia kala itu.
Memiliki kepribadian yang sederhana, kritis, dan idealis menjadi titik tolak dan suatu kemestian bagi generasi mahasiswa di era milenial ini untuk berjalan sambil berdandan menyongsong sebuah perubahan signifikan dalam berpikir dan bertindak.
Idealisme dan Heroisme Soe Hok Gie
Di tengah anomali iklim politik yang kurang bersahabat dan penuh pergulatan yang mencekam di bawah pemerintahan Soekarno, Soe Hok Gie muncul sebagai seorang anak muda.
Ia terlahir penuh kesederhanaan dan masa kecilnya diwarnai dengan kesulitan dan krisis yang melanda bangsa Indonesia.
Ia tumbuh dan berkembang menjadi sosok yang berani. Semasa sekolahnya, Soe Hok Gie pandai bergaul dengan semua orang.
Dari sinilah perlahan-lahan sikap kritis mulai muncul di tengah situasi negeri yang tidak kondusif.
Soe Hok Gie adalah aktivis berkartu mahasiswa yang memainkan peran yang begitu vital dan signifikan mengkritik segala bentuk kemunafikan orang-orang gila pada masa pemerintahan Soekarno.
Keberanian dan kegigihan Soe Hok Gie memantik semangat rekan-rekan lainnya untuk sama-sama berjuang menuntut hak dan keadilan.
Sikap kritis dan memiliki naluri pemberani menjadikannya sosok yang berperan penting dalam sejarah perjuangan aktivisme mahasiswa pada rezim Orde Lama.
Satu hal yang harus disadari oleh para aktivis mahasiswa adalah bahwa eksistensi gerakan mahasiswa harus menjadi bagian terintegrasi dengan perjuangan rakyat semesta.
Oleh karena itu di masa depan gerakan mahasiswa akan semakin memanifestasikan diri sebagai gerakan sosial.
Menjadi Aktivis Merdeka
Pemikiran dan sikap Soe Hok Gie yang kritis mencerminkan dirinya sebagai intelektual yang independen.
Aktivis yang mengecap kehidupan di era digital 4.0 harus belajar dari sikap kritis Soe yang berani membongkar kesadaran palsu yang dibangun oleh para penguasa.
Sikap kritis menjadi ciri khas dari mahasiswa yang dewasa ini dituntut berpikir dan bertindak dengan cermat tentang beragam persoalan yang dialami masyarakat umum.
Mahasiswa sebagai agen of changes harus mempertahankan sikap intelektual yang independen yang membuat keberadaan mereka diakui sebagai kekuatan moral yang mampu mengkritik kebobrokan dalam kehidupan masyarakat.
Aktivisme punya posisi yang strategis untuk merongrong sistem yang korup. Ia menjadi semacam watcdog yang bisa menggonggongi elit politik yang menyimpang dari politik yang mengutamakan asas-asas demokrasi.
Hal ini penting mengingat bahwa para politisi kita sedang terjangkit sebuah kegagapan aksiologis, ketimpangan antara perkataan dan perbuatan.
Di muka rakyat yang polos kebenaran diumbar dan dijanjikan buat dijunjung sementara di belakang layar mereka justru bercumbu dan bersetubuh dengan oligarki demi keuntungan pribadi.
Aktivis mahasiswa harus menunjukkan eksistensinya sebagai Manusia Merdeka yang memiliki seribu tumpukan rasa kepekaan atas beragam ketidakadilan, berjuang murni demi kemaslahatan komunal, dan bukan diintervensi atau diboncengi oleh kepentingan politik.
Dari Kritis ke Kritik, Aktivis Menolak Bungkam!
Satu hal yang mesti diberi atensi adalah pergerakan mahasiswa harus senantiasa dilandasi oleh upaya transformasi dan kontribusi secara optimal sehingga bersifat adaptif dan compatible dengan perkembangan zaman.
Maka pola dan strategi pergerakan harus senantiasa diperbaharui sesuai tuntutan realitas sosial politik pergerakan mahasiswa dengan mempertimbangkan situasi, kondisi, sikap-sikap, dan momentum yang tepat.
Gerakan yang sekadar memobilisasi massa tanpa sebuah postulat rasional bisa jadi terjebak dalam anarkisme dan radikalisme.
Setiap pergerakan dalam bentuk perlawanan ini tentu perlu diorganisasi secara baik. Sebab tanpa organisasi sebuah perlawanan cenderung musiman dan tidak bertahan lama.
Perlawanan terhadap ketimpangan yang terjadi di Indonesia yang dilakukan dan digerakkan oleh organisasi yang adalah perhimpunan para aktivis mahasiswa harus benar-benar terstruktur dan terorganisasi secara rapi dan dikemas secara elegan.
Tidak cukup mendulang animo silent majority yang sudah muak dengan rezim yang timpang, rakyat pun mesti diberikan seperangkat pengetahuan mengenai arti dan tujuan pergerakan.
Menyoroti realitas yang terjadi dewasa ini seiring perkembangan teknologi dan informasi yang mutakhir, turut serta mempengaruhi mentalitas dan militansi generasi muda dalam menjawabi tantangan zaman.
Ada tiga hal yang menjadi problematika sekaligus atensi bagi aktivis masa kini yaitu:
Pertama, budaya membaca. Perkembangan zaman memaksa setiap orang untuk bermental instan dan hampir meniadakan kebiasaan membaca.
Menjadi aktivis tidak sekadar mengeksposisikan penampilan fisik, namun bagaimana kita bisa bersahabat dengan banyak literasi yang berdaya guna merubah pola berpikir yang lebih kritis.
Kita melihat situasi saat ini banyak mahasiswa generasi muda menghabiskan waktunya online di depan layar handphone ataupun berkecimpung dengan hal-hal yang seyogyanya membuang banyak kesempatan berharga sebagai orang muda.
Satu hal yang juga menjadi perhatian adalah kebiasaan membaca apa saja entah buku ataupun artikel-artikel menjadi modal bagi mahasiswa masa kini merestorasi idealisme dalam upaya pergerakan aktivisme dan menumbuhkan benih kritis dalam menanggapi setiap polemik yang terjadi dalam realitas.
Soe Hok Gie adalah salah satu tokoh aktivis yang patut untuk diteladani. Dalam keadaan carut marut situasi politik ekonomi rezim Orde Lama, ia banyak menghabiskan waktunya untuk bergiat membaca dan berhasil menelurkan berbagai macam tulisan-tulisan yang sangat menggugah spirit perjuangan.
Kedua, menyoroti militansi dan kepekaan terhadap situasi sosial. Generasi muda intelektual perlu mengambil peran melawan dan mengkritisi setiap penyelewengan kebijakan yang merugikan banyak orang.
Di sini sangat dibutuhkan kepekaan dan kepedulian aktivis mahasiswa dalam meminimalisasi setiap persoalan yang terjadi dalam skala daerah maupun skala nasional.
Kita lihat bagaimana Soe Hok Gie dalam perjuangan dan keberpihakan terhadap masyarakat yang tertindas merupakan bukti dari kepekaan dan aktif terhadap dinamika hidup sosial.
Pada tahun 1966-1969, mahasiswa Indonesia ikut berpartisipasi aktif dan tak terhindarkan, bukan hanya dalam debat, tetapi segera dalam sebuah formulasi bertahap namun pasti, dari doktrin dan strategi yang dipakai Orde Baru.
Militansi dan konsistensi harus di bentuk sedemikian rupa sehingga setiap perjuangan pergerakan itu murni demi kepentingan dan kemaslahatan bersama dan bukan atas dasar kepentingan segelintir pihak.
Situasi yang terjadi hari hari ini, tak sedikit pergerakan aktivis mahasiswa lebih mudah terprovokasi dan kerap diboncengi oleh kepentingan politik.
Ketiga, keterlibatan dan keberpihakan terhadap kaum tertindas. Satu hal yang harus diperhatikan bahwa gerakan aktivis adalah gerakan milik bersama.
Aktivisme harus dibangun dengan prinsip anti-elitisme. Ia bukan semata-mata gerakan milik mahasiswa atau kaum berintelek saja.
Dalam arti tertentu ia mesti melewati batas tembok-tembok kampus dan dibumikan dalam sanubari rakyat yang akhir-akhir ini keracunan apatisme terhadap para praktisi politik.
Penulis adalah aktivis PMKRI Cabang Maumere