Kupang, Vox NTT- Budi daya ikan Kerapu di Teluk Wae Kelambu, Kecamatan Riung, Kabupaten Ngada bak jauh panggang dari api.
Budi daya ikan Kerapu ini diprogramkan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur melalui Dinas Perikanan dan Kelautan.
Data yang diperoleh VoxNtt.com, hasil panen ikan Kerapu di Teluk Wae Kelambu hanya sekitar Rp109,6 juta atau hanya sekitar 1%.
Padahal total dana yang diinvestasikan Pemprov NTT untuk budi daya ikan Kerapu sekitar Rp 7,8 miliar. Atau dengan kata lain, Pemprov NTT mengalami kerugian sekitar Rp7,7 miliar.
Duit sebesar itu, lenyap begitu saja ke dalam laut Teluk Wae Kelambu.
Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan NTT Ganef Wurgiyanto yang dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp, ahad lalu, menjelaskan pihaknya melakukan panen ikan Kerapu di Waekulambu pada Senin, 14 Juni 2021. Ikan Kerapu yang dihasilkan sekitar 1,9 ton atau sekitar 4.000 ekor.
“Ikan Kerapu yang dipanen sekitar 1,9 ton. Yang diangkut ke Bali sebanyak 1,21 ton. Yang di-lokalkan sebanyak 690 kg atau 400 ekor karena ada yang luka,” kata Ganef.
Menurutnya, harga jual di Bali per kg sebesar Rp45.000 diambil di tempat (Teluk Wae Kelambu). Kalau lokal, dijual ke penampung ikan di Riung bervariasi sekitar Rp35.000/kg.
Berdasarkan perhitungan VoxNtt.com, sesuai data yang dipaparkan Kadis Ganef sebanyak 1.210 kg dijual dengan harga Rp45.000, maka totalnya sebesar Rp54.450.000.
Sedangkan, sebanyak 690 kg dijual dengan harga Rp35.000, maka totalnya sebesar Rp24.150.000.
Dengan demikian total penjulan ikan Kerapu dari budi daya Pemprov NTT tersebut hanya sebesar Rp78.600.000.
Dari data tersebut menunjukan bahwa Pemprov NTT mengalami kerugian sekitar Rp7,7 miliar (investasi Rp7,8 miliar dikurangi hasil panen sekitar Rp78,6 juta)
Atau dengan kata lain, Pemprov NTT ‘membuang’ uang sekitar Rp7,7 miliar ke dalam laut Teluk Wae Kelambu secara cuma-cuma.
Nilai penjualan hasil panen ikan Kerapu tersebut sangat kecil atau hanya sekitar 1% (persen) jika dibandingkan dengan total anggaran budi daya yang mencapai Rp 7,8 miliar.
Dana tersebut berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Murni NTT tahun anggaran 2019 sebesar Rp7,5 miliar dan pada APBD Perubahan NTT tahun anggaran 2020, ditambahkan anggaran sebesar Rp300 juta (September 2020) untuk pembelian pakan ikan Kerapu.
Namun berat ikan tidak mencapai harapan alias mengalami stunting.
Buktinya, dari sekitar 4.000 ekor ikan Kerapu yang dipanen hanya mencapai berat sekitar 1,9 ton.
Dengan kata lain, berat rata-rata ikan Kerapu yang dipanen hanya sekitar 0,5 kg/5 ons/setengah kg.
Padahal sesuai rencana, ikan tersebut akan dipanen dalam jangka waktu 8 bulan setelah dibudidaya dengan berat per ekor sekitar 800 gram/8 ons/0,8 kg.
Anehnya, dari 1 juta ekor benih ikan Kerapu yang diadakan dengan anggaran sekitar Rp 6,4 miliar sesuai nilai tender pengadaan benih Kerapu, hanya sebanyak 5 ribu ekor yang dipelihara dalam 1 unit keramba di Teluk Wae Kelambu.
Sedangkan sebagian besar benih atau sebanyak 995.000 ekor benih Kerapu lainnya ditebar ke laut.
Informasinya, sebanyak 995 ribu ekor ditebar/dilepas di dalam laut Teluk Wae Kelambu, Riung. Sedangkan sebanyak 5 ribu ekor Kerapu ditebar ke dalam laut Mulut Seribu, Kabupaten Rote-Ndao.
Sesuai rencana, ikan Kerapu tersebut akan dibudidaya dengan pola pemberdayaan masyarakat di sekitar Teluk Wae Kelambu melalui koperasi setempat.
Namun berdasarkan informasi yang diperoleh di Wae Kelambu pada pertengahan Desember 2020, tidak ada pemberdayaan/keterlibatan masyarakat dalam proyek tersebut karena hanya 5 ribu ekor benih yang ditebar di dalam keramba.
Informasi VoxNtt.com menemukan, Dinas Perikanan dan Kelautan NTT mengangkat 3 orang anggota koperasi menjadi tenaga honor dengan gaji hanya Rp500 ribu per bulan untuk menjaga dan memberi makan ikan dalam keramba.
Ada 1 unit keramba dan 1 unit rumah jaga yang tampak mengapung dalam teluk dengan luas sekitar 200 hektare tersebut.
Tampak juga 1 unit bagan apung mini untuk menangkap ikan kecil sebagai pakan 5 ribu ekor ikan Kerapu yang dibudidaya dalam keramba.
Padahal sesuai rencana, sebanyak 1 juta ekor ikan Kerapu tersebut akan dipanen dalam waktu 8 bulan dengan berat rata-rata 800 gram/8 ons/0,8 kg per ekor.
Namun hingga September 2020, saat dilakukan perubahan APBD 2020, ikan Kerapu tersebut belum juga dipanen.
Alasan pihak Dinas Perikanan dan Kelautan NTT saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPRD NTT saat itu, karena berat ikan belum mencapai target. Penyebabnya adalah kekurangan makanan.
Dengan alasan tersebut, DPRD menyetujui penambahan dana sebesar Rp300 juta pada perubahan APBD tahun 2020 untuk pembelian pakan ikan Kerapu di Teluk Wae Kelambu.
Pihak Dinas Perikanan NTT dan Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat pun sempat sesumbar untuk segera melakukan panen sejak tahun 2020 lalu, namun tidak kunjung dilakukan.
Panen baru dapat dilakukan pada Senin, 14 Juni 2021 atau sekitar 2 tahun setelah anggaran budi daya Kerapu tersebut dialokasikan.
Informasi yang dihimpun VoxNtt.com, Penyidik Tipikor Polda NTT telah melakukan penyelidikan sejak September 2020.
Bahkan, Kontraktor pelaksana proyek, PT Cendana Tirta Persada telah dipanggil pada 30 September 2020 dan diperiksa pada 5 Oktober 2020.
Namun kasus dugaan korupsi dalam penggadaan benih ikan yang jumlahnya tidak sesuai kontrak (diduga hanya sekitar 300 ribu ribu ekor,) tersebut ‘tenggelam’ di Polda NTT hingga saat ini.
Beberapa anggota DPRD NTT meminta pihak Kejati NTT dan Penyidik Polda NTT untuk mengusut kasus dugaan korupsi dalam proyek budi daya ikan Kerapu tersebut.
Sebelumnya, Pemprov NTT melalui Dinas Perikanan NTT mengalokasikan anggaran melalui penggunaan anggaran sebelum/mendahului perubahan anggaran tahun 2019 sebesar Rp7,5 miliar untuk budi daya satu (1) juga ekor ikan Kerapu di Teluk Wae Kelambu.
Alokasi anggaran tersebut diusulkan Dinas Perikanan dan Kelautan NTT ke DPRD NTT setelah Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat berkunjung ke Wae Kelambu.
Dalam pandangan umum Fraksi Demokrat DPRD NTT, menilai proyek tersebut diusulkan Dinas Perikanan dan Kelauatan NTT karena Gubernur Bungtilu Laiskodat ‘bersabda’ untuk melakukan budi daya ikan Kerapu saat berkunjung ke Teluk Wae Kelambu.
Sempat terjadi tarik ulur dalam rapat Badan Anggaran (Banggar) DPRD NTT. Namun akhirnya, pimpinan DPRD NTT saat itu menyetujui usulan Pemprov NTT. Padahal saat itu, anggaran masih dibahas dan belum ada keputusan DPRD NTT.
Konsep Pemberdayaan Kurang Tepat
Dr. Tian Liufeto, S.Si, M. Si, Dosen Program Studi Budi Daya Perairan Fakultas Kelautan Perikanan Undana kepada VoxNtt.com, Selasa (22/06/2021), mengaku dirinya sejak awal mengikuti proses budi daya ikan Kerapu yang dicanangkan Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat melalui Dinas Perikanan dan Kelautan.
Menurut Tian, Dinas Perikanan dan Kelautan NTT sebagai pelaksana teknis perlu menjelaskan secara transparan soal konsep pengelolaan ikan Kerapu dengan jumlah anggaran yang tidak sedikit.
“Kalau ikan ditebarkan kembali ke laut dengan konsep restoking harus diikuti dengan keterlibatan masyarakat. Untuk menangkap ikan-ikan jika usia panen juga melibatkan koperasi masyarakat setempat saat panen,” katanya.
Tian mengaku kurang menangkap dengan baik apa yang mau dikonsepkan oleh Dinas Perikanan dan Kelauatan NTT.
Kata dia, kalau 995 ribu dilepaskan ke alam masuk ke konsep restoking, maka mungkin ada niat untuk mengembalikan ekosistem.
“Tapi kalau Pemprov tidak punya konsep begitu secara ekonomi kurang pas. Tidak secara fulgar dijelaskan oleh orang-orang dinas soalnya konsepnya yang mana,” katanya.
Menurut dia, pilihan budi daya ikan Kerapu menjanjikan secara pasar. Namun dengan anggaran yang begitu besar dan konsep kurang matang akan sia-sia.
“Sejak awal pemerintahan Pak Viktor dengan dinas. Selama ini kalau soal budi daya misal dibandingkan Kakap dan Kerapu itu minatnya lebih besar dibandingkan ikan lain. Sejak awal menurut saya pas kalau soal perhitungan ekonomis,” kata Tian.
Ia menjelaskan, dalam teori budi daya dikurung di dalam keramba dan ditebar untuk restoking.
Jika ditebar di laut berarti kategori restoking karena populasi ikan Kerapu atau organisme yang berasosiasi dengan terumbu karang itu jumlahnya berkurang.
“Itu kategori restoking atau apa? Kalau kita nilai 1 juta ekor dengan panen 4000 itu tidak ekonomis. Kalau kita lihat 995 ribu ditebar kembali ke laut itu maksudnya apa kenapa tidak panen di situ? Kalau yang memungkinkan untuk panen itu kan keramba apung itu yang 5000 ekor,” ujarnya.
Menurut Tian, biaya yang dikeluarkan sebesar 7.8 miliar kalau jalan normal bisa mendapat keuntungan sampai kurang lebih Rp22 miliar. Itu dengan target berat ikan saat panen 500 gram.
“Seharusnya dia panen 500 ton. Kalau yang dipanen di keramba apung, sebanyak 5000 ekor dengan total panen 4000-an ekor, pelihara barang hidup itu ada tingkat kematian hingga 30%. Jadi kalau panen 1200-1300 lalu panen 4000 itu lumayan tetapi harusnya 8 bulan panen. Akan tetapi kalau sampai dua tahun itu ada masalah secara teknis,” pungkasnya.
Tambahan Anggaran
Baru-baru ini, VoxNtt.com memuat berita soal investasi abu-abu oleh Pemrov NTT.
Investasi dengan pengelolaan dan skenario pengembalian dana dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) senilai Rp491.776.240.001.
Dalam program yang telah ditetapkan sebagai APBD NTT tahun anggaran 2021 tersebut dibiayai dari Pinjaman Dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dengan bunga sekitar Rp 30.440.949.256 per tahun atau sekitar Rp243.527.594.048 miliar selama 8 tahun.
Berdasarkan RKPD yang kopiannya diperoleh VoxNtt.com, Jumat, 21 Mei 2021 siang, ada program investasi yang dibiayai Pemprov NTT dari pinjaman daerah, dana PEN tahun 2021.
Dana tersebut, termasuk pinjaman daerah yang disalurkan Pemerintah Pusat (Pempus) oleh PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) senilai Rp1,5 triliun pada tahun anggaran 2021.
Selain untuk membangun jalan, jembatan, dan irigasi, dana PEN tersebut juga digunakan untuk program investasi ‘suram’ dengan nilai sekitar Rp491 miliar.
Investasi tersebut, terdiri atas beberapa kegiatan, antara lain untuk: Budi daya ikan Kerapu dan kakap senilai Rp152 miliar; Budi daya jagung (TJPS) senilai Rp100 miliar; Budi daya Ternak (Sapi, Babi, Kambing, Ayam) senilai Rp100 miliar; dan Budi daya Porang senilai Rp139 miliar.
Untuk budi daya ikan laut, dialokasikan dana sekitar Rp152,7 miliar dengan jumlah 1.390.000 ekor ikan.
Ada 3 jenis ikan yang akan dibudidaya yakni Kerapu Cantang, Kerapu Tikus dan Kakap Putih di tiga lokasi yakni di Mulut Seribu (Rote Ndao), Semau (Pulau Kambing) dan Teluk Hadakewa (Lembata).
Namun anehnya, berdasarkan pengamatan VoxNtt.com, alokasi dana untuk 3 jenis ikan dengan 3 lokasi berbeda itu sama persis.
Untuk pertanian tanaman pangan, dialokasikan dana Rp100 miliar untuk budi daya jagung/TJPS seluas 30.000 hektare sebesar Rp93,3 miliar dan kelor sebesar Rp9,7 miliar.
Untuk peternakan, antara lain dialokasikan untuk pengembangan ternak Sapi Wagyu Rp45 miliar (1.000 ekor), Kambing PE sebesar Rp12 miliar (1.100 ekor), Babi sebesar Rp22 miliar (1.100 ekor), Ayam sebesar Rp2,5 miliar (22 ribu ekor), dan Sapi sebesar Rp4,5 miliar (50 ekor).
Lasarus Jehamat, Dosen Fisip Undana Kupang menyebut bahwa program Pemerintah Provinsi NTT terindikasi gagal.
“Gagal karena setiap proyek itu tidak diikuti komitmen yang cukup pengambil kebijakan. Dan inilah yang disebut dengan permainan imajinasi naratif elite kekuasaan untuk mengelabui masyarakat yang memilihnya,” ujar Lasarus, Selasa (22/06/2021).
Dari program budi daya ikan Kerapu misalnya, Lasarus tidak mau menyebut peningkatan PAD jika saja, program tersebut tidak dikelola maksimal.
“Untuk apa menyebut PAD kalau tidak ada hasil. Distrust pada elite kekuasaan. Ini yang paling buruk. Selain proyektisasi program, yang paling utama ialah efek distrusting pada pengambil kebijakan,” tutupnya.
Penulis: Ronis Natom
Editor: Ardy Abba