Kupang, Vox NTT- Jawaban Kepala Dinas Perikanan NTT, Ganef Wurgiyanto, berubah-ubah terkait budi daya ikan Kerapu di Wae Kelambu, Kecamatan Riung, Kabupaten Ngada.
Saat dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp-nya, ahad lalu, Ganef
mengaku pihaknya melakukan panen ikan Kerapu di Wae Kelambu pada Senin, 14 Juni 2021. Hasilnya, sekitar 1,9 ton atau sekitar 4.000 ekor.
“Ikan Kerapu yang dipanen sekitar 1,9 ton. Yang diangkut ke Bali sebanyak 1,21 ton. Yang di-lokalkan sebanyak 690 kg atau 400 ekor karena ada yang luka,” kata Ganef.
Menurutnya, harga jual di Bali per kg sebesar Rp45.000 diambil di tempat (Teluk Wae Kelambu). Sementara lokal, dijual ke penampung ikan di Riung bervariasi sekitar 35.000/kg.
BACA JUGA: Kerapu-ku Sayang, Kerapu-ku Malang
Berdasarkan perhitungan VoxNtt.com dari data tersebut, sebanyak 1.210 kg dijual dengan harga Rp45.000, maka menghasilkan Rp54.450.000.
Sedangkan, sebanyak 690 kg dijual dengan harga Rp35.000, maka menghasilkan Rp24.150.000.
Jawaban Kadis Ganef tersebut, berbeda dalam laporan sea ranching dan budi daya sistem keramba jaring apung (KJA) Teluk Labuhan Kelambu, Kecamatan Riung, Kabupaten Ngada, yang salinannya diterima VoxNtt.com, Kamis (24/06/2021) siang.
Dalam laporan, ia menyebut sesuai hasil kajian, Teluk Labuhan Kelambu potensial untuk sea ranching”/restocking dan budi daya ikan jenis Kerapu.
Alasannya, pertama, kondisi perairan sangat subur berdasarkan kajian parameter perairan. Kedua, teluk sangat ideal dengan luas sekitar 235 hektare. Ketiga, memiliki alur keluar teluk (mulut teluk) sekitar 180 meter. Keempat, tidak ada penebangan mangrove. Kelima, jumlah nelayan sangat sedikit, sehingga sangat ideal untuk sea ranching/restocking dan budi daya ikan jenis Kerapu.
“Maka dianggarkan APBD Perubahan tahun 2019 dan pada bulan Oktober dilaksanakan kegiatan restocking dan budi daya ikan jenis Kerapu,“ kata Kadis Ganef.
Ia mengatakan, khusus untuk penebaran benih dilaksanakan pada bulan Desember 2019.
“Berkat dorongan DKP provinsi masyarakat Desa Sambinasi Barat, Sambinasi dan Sambinasi pemekaran telah membentuk koperasi ‘Waning Baar’,” terang dia.
Ganef menjelaskan, budi daya ikan Kerapu merupakan kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Sebab itu, seluruh fasilitas termasuk ikan 1 juta ekor lebih, baik yang ditebar di perairan maupun di KJA dihibahkan kepada masyarakat melalui koperasi ‘Waning Baar’.
Sedangkan DKP Provinsi NTT memberikan bimbingan teknis dan pengelolaan.
Sea Ranching/Restocking dan Budi Daya Ikan Sistem KJA
Masih dalam laporan, Ganef menjelaskan, kegiatan sea ranching/restocking adalah pengkayaan sumber daya ikan pada perairan tertentu.
Hal itu dengan cara menebarkan jenis ikan tertentu sesuai hasil kajian. Tujuannya tentu saja untuk meningkatkan stok ikan.
Jika stok berlimpah, maka dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk peningkatan ekonomi dan penyediaan induk ikan yang berkualitas Balai Benih Ikan Pantai (BBIP), terutama Tablolong.
Kegiatan sea ranching akan mendapatkan manfaat setelah 4 sampai 5 tahun setelah ikan tersebut matang gonat (berkembang biak).
Pada Desember 2019, jelas Ganef, benih ikan Kerapu yang dikirim sekitar 1.110.000 (1,1 juta) ekor.
Kemudian terjadi kematian saat pengangkutan sekitar 80.000 ekor. Lalu ditebar di Perairan Taluk Labuhan Kelambu sekitar 1 juta ekor senilai Rp3.410.600.000 (3,4 miliar).
Kemudian pakan ikan awal sebanyak 1 ton senilai Rp450.000.000.
Selanjutnya, kegiatan budi daya sistem KJA adalah fasilitas yang dibangun untuk kepentingan budi daya ikan dengan sistem keramba.
Ini dibuat terapung di permukaan perairan dan dapat dipanen setelah 1 sampai 2 tahun.
Pada November 2019, biaya investasi pemasangan 8 unit keramba jaring apung (KJA) sebesar Rp2.710.000.000. Bagan kelong senilai Rp317.000.000.
Pembangunan jetty sebesar Rp164.500.000. Rumah jaga sebesar Rp50.000.000. Jumlah biaya sebesar Rp4.241.500.000
Selanjutnya, biaya operasional berupa penambahan pakan atas persetujuan Komisi II DPRD NTT sebanyak 300 kg dengan nilai sebesar Rp150.000.000.
Benih Kerapu 10.000 ekor sebesar Rp34.106.000. Penjaga keramba 4 orang 600.000 dikali 12 bulan sebesar Rp28.800.000. Jumlah biaya sebesar Rp212.906.000
Kemudian dibudidayakan di KJA sekitar 10.000 ekor. Kematian 50% sekitar 5.000 ekor sisa di KJA. Lalu sekitar 5.000 ekor mati akibat musibah badai Seroja.
Badai juga menyebabkan kerusakan jaring dan ikan hilang sekitar 3.500 ekor. Sisa di keramba sekitar 1.500 ekor.
Selanjutnya, hasil panen antara lain, ikan yang di Keramba sebanyak 1.505 ekor dengan berat sekitar 2.035 kg (2 ton).
Kemudian, Kerapu Kertang Super ukuran 1,5-2 kg sebanyak 741 ekor, dengan berat 849,8 kg. Nilai uangnya mencapai Rp38.241.000.
Lalu, Kerapu Kertang UP (≤ 2 kg – 3,6 kg) sebanyak 53 ekor dengan berat 126,5 kg, nilainya sebesar Rp5.060.000.
Total panen 794 ekor dengan berat 976,3 kg. Hasil penjualan sebesar Rp46.861.000.
Ganef menyebut hasil penjualan ditranfer langsung dari pembeli ke rekening koperasi ‘Waning Baar’.
Selanjutnya, sisa yang belum dipanen sebanyak 711 ekor dengan bobot sekitar 1,059 kg.
Lalu, ikan Kerapu belum dipanen disebabkan pembeli belum mau menerima. Sebab, kondisi ikan mengalami luka pada bagian mulut dan sirip, sehingga menunggu pemulihan baru akan diambil pembeli.
Ganef mengungkapkan, ikan hasil panen dibawa ke Bali kemudian diekspor ke Hongkong. Sebab itu membutuhkan kondisi ikan yang sehat dan sempurna.
Masih dalam laporan, Kadis Ganef menyatakan bahwa budi daya ikan Kerapu ini tidak gagal.
Ia beralasan, pertama, dapat dilakukan mulai penebaran benih sampai dengan panen dengan berat (bobot) antara 1,5 sampai 3,6 kg.
Kedua, ikan dalam kondisi sempurna, tidak ada yang bengkok (simetris).
Hal ini menandakan bahwa perairan tersebut subur dan cocok.
Meski memang, kata dia, ada yang luka. Hal itu karena penanganan yang kurang sempurna pada saat grading (pemisahan ikan sesuai ukuran) maupun loading (memindahkan ikan).
Ketiga, komoditas ikan hidup dan masuk dalam grade ekspor.
Keempat, penundaan jadwal panen sekitar 2 bulan dikarenakan menunggu kesiapan kapal angkut.
Kelima, pada saat ini setelah panen masih mengalami kerugian yang disebabkan karena tidak semua ikan diambil pembeli (kondisi ikan luka = 711 ekor) dan kehilangan ikan akibat musibah badai Seroja (hilang 3.500 ekor).
Keenam, besaran biaya pada biaya investasi sebesar Rp4.241.500.000. Sedangkan biaya operasional hanya Rp184.106.000.
Ketujuh, penerima manfaat adalah masyarakat setempat.
Kedelapan, kegiatan budi daya ini berkelanjutan dengan nilai usia 15 – 20 tahun.
Berubah-ubah
VoxNtt.com mencoba menghitung laporan Kadis Ganef, kemudian membandingkan hasil wawancara pada pekan lalu.
Menurut Ganef, ikan Kerapu yang dihasilkan sekitar 1,9 ton atau sekitar 4.000 ekor.
Namun, dalam salinan laporan yang diterima VoxNtt.com menyebut, jumlah ikan Kerapu yang dipanen, antara lain, ikan yang di keramba sebanyak 1.505 ekor dengan berat sekitar 2.035 kg (2 ton).
Kerapu Kertang Super (ukuran 1,5-2 kg) sebanyak 741 ekor dengan berat 849,8kg, nilainya sebesar Rp38.241.000.
Kerapu Kertang UP (≤ 2 kg – 3,6 kg) sebanyak 53 ekor dengan berat 126,5 kg, nilainya sebesar Rp5.060.000.
Total panen sebanyak 794 ekor dengan berat 976,3 kg dan hasil penjualan sebesar Rp46.861.000.
Penulis: Ronis Natom
Editor: Ardy Abba