Oleh: Yergo Gorman
Dalam geliat pembangunan, seringkali orang membuat pemisahan yang cukup serius antara diskursus dan aksi. Esensi kedua istilah itu seringkali dibenturkan.
Sebagian orang dengan alasan mempercepat perubahan, cenderung signifikan memilih aksi ketimbang diskursus. Sebaliknya, sebagian orang lebih pilih tinggal di dalam diskursus, upaya dan intensitas produksi wacana.
Ada juga sebagian orang justru mengawinkan kedua perspektif itu menjadi satu, tidak dibuat terpisah.
Hemat saya, dikotomisasi diskursus dan aksi secara substantif sah-sah saja. Ada tanggung jawab rasional di balik pilihan setiap orang.
Namun bila analisis keduanya hidup di dalam opsi mana yang lebih berjasa bagi perubahan, tentu tidak relevan. Meski beda praktik, keduanya punya konsekwensi mutlak bagi perubahan.
Diskursus dan Aksi: Sebuah Praksis Pembangunan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diskursus didefinisikan sebagai suatu aktivitas pertukaran ide; gagasan secara verbal, pengungkapan pemikiran secara formal dan teratur; wacana. Sementara aksi diartikan sebagai tindakan atau gerakan.
Kedua istilah itu secara substansi, beda definisi. Namun ketika dua hal itu diletakkan pada konteks pelaksanaan otonomi daerah, perdebatan tentang mana yang lebih tepat dipakai adalah sesuatu yang konyol.
Kita tidak perlu terjebak dalam kerumitan paradigma itu. Keduanya memiliki posisi vital dalam pembangunan.
Diskusi kita hari ini adalah mencari relevansi dan format yang pas bagaimana diskursus dan aksi dapat membumi, memberi implikasi pada penyelenggaraan otonomi daerah. Diskursus dan aksi ibarat dua sisi mata uang, tidak terpisah.
Diskursus adalah proses tukar tambah gagasan, refleksi kritis atas sebuah fenomena pembangunan. Pada diskursus terpantul sebuah dialektika berpikir.
Pada diskursus ada potensi bagi kelahiran paradigma baru melihat pembangunan. Output diskursus biasanya tampil dalam bentuk produksi wacana, penyebaran ide, perspektif baru ke ruang publik.
Aktivitas tersebut diharapkan dapat memperkaya insight masyarakat dalam membaca, analisis dan membuat penilaian terhadap pembangunan, serta bagaimana mengambil sikap di dalam pembangunan itu sendiri.
Diskursus ialah goresan untuk menggambarkan dialektika publik supaya ruang publik lebih aktif dan dinamis, suatu proses politik yang cukup baik untuk mempengaruhi kebijakan publik pemerintah.
Diskursus mengemuka dalam forum kajian pembangunan, seminar, diskusi publik, talk show, dan sejenisnya baik formal maupun informal.
Aksi bertolak dari refleksi kepada tindakan dan atau gerakan terlibat pada isu-isu tertentu. Keterlibatan muncul dari kehendak bagi lahirnya perubahan.
Gerakan aksi dapat berupa kegiatan partisipatif di masyarakat, respons atas suatu peristiwa tertentu, serta gerakan massa sebagai tanggapan atas suatu kebijakan tertentu.
Aksi dapat dibaca dalam dua kadar berbeda. Pertama, sebagai kesatuan antara visi dan aksi, aktualisasi dari konsep, ide dan diskursus ke tahapan aksi nyata/praktik di lapangan.
Kedua, aksi sebagai tindakan terus menerus. Pada poin kedua ini, aksi adalah manifestasi dari proses diskursus dan sudut pandang seseorang yang telah berlangsung lama.
Di sini, terlibat dalam pembangunan bukan lagi sekedar sensasi cari kesibukan, melampaui itu, tugas wajib sebagai subyek pembangunan.
Diskusi soal keberadaan diskursus dan aksi dalam masyarakat, mungkin sedikit terhubung dengan konsep tipe Cendekiawan Gramsci.
Antonio Gramsci, seorang cendekiawan, sastrawan, sekaligus pejuang penggalang solidaritas sosialis Italia yang meninggal di penjara saat rezim fasis Mussolini, memperkenalkan kepada kita empat tipologi cendekiawan.
Tipologi pertama adalah cendekiawan tradisional, yang oleh Gramsci ditunjuk sebagai penyair, filsuf, pemikir. Peran mereka adalah sebagai “disseminator” (penyebar) ide-ide atau visi pembaruan masyarakat.
Tipologi kedua adalah cendekiawan kritis atau para spesialis yang kritis. Posisi mereka di masyarakat adalah secara kritis menelaah kenyataan dan memberikan sumbangannya lewat profesi dan spesialisasinya.
Tipologi ketiga, yang khusus diberikan perhatian oleh Gramsci yaitu “The organic intellectuals”.
Dalam tipologi cendekiawan ketiga inilah diberikan contoh riil mengenai tautan antara visi dan aksi lantaran dalam jenis ini, cendekiawan dipandang sebagai satu kesatuan hidup yang terus menerus antara visi dengan kelompok studinya, atau kelompok penelitian dan pengembangan dengan lingkaran studi akademisinya.
Tipologi keempat adalah cendekiawan universal. Mereka sudah melampaui batas-batas negara sendiri, agama dan golongan sendiri, dan sudah bergerak menjadi pejuang nilai-nilai kemartabatan universal, humanis universal (Sutrisno, Mudji. Ide-Ide Pencerahan. Penerbit Obor: 2004).
Posisi diskursus dan aksi sangat vital dalam geliat otonomi daerah. Beberapa hal yang melatari sebagai berikut:
Pertama, goal akhir desentralisasi dan otonomi daerah adalah pelayanan dan pemberdayaan warga. Daerah-daerah yang baru mekar tentu punya mimpi tentang perubahan.
Kolaborasi serta partisipasi semua elemen ialah prasyarat utama. Masyarakat “dipaksa” untuk mengaktifkan imajinasinya soal kemajuan.
Inisiatif publik dimaksudkan guna membuat perubahan yang dapat dilakukan secara mandiri tanpa intervensi pemerintah.
Kedua, pelaksanaan otonomi daerah yang salah urus memicu fatalisme pembangunan. Di sana bakal terjadi korupsi anggaran, jabatan, kolusi dan nepotisme untuk kepentingan kelompok atau golongan tertentu.
Konflik ini memicu terjadinya pemiskinan sistemik di dalam sistem pembangunan. Akhirnya pelayanan dan pemberdayaan sebagai amanat otonomi daerah tak sampai ke rakyat sebab mandek di tangan pejabat lokal.
Rakyat tidak mengalami perubahan, pembangunan menjadi stagnan. Karena itu gerakan dan konsolidasi massa lewat diskursus dan aksi menjadi mutlak.
Diskursus dan aksi bermula dari kesadaran kritis warga untuk periksa kuasa negara di dalam pembangunan. Apakah kebijakan publik pemerintah searah pada visi awal desentralisasi dan otonomi daerah.
Ketiga, melalui diskursus dan aksi, ada peluang bagi tumbuhnya kesadaran sebagai subyek pembangunan, berdaya, tidak menjadi mandul dan pasrah di hadapan kekuasaan, kritisisme terbentuk, serta konsep pembanding bagi setiap kebijakan dan program pemerintah.
Dengan demikian, diskursus dan aksi merupakan satu garis sudut pandang. Ia tidak dapat dibuat terpisah apalagi mengalami kerapuhan relasional, mana yang lebih berjasa.
Pemisahan keduanya hanya merupakan kesesatan paradigmatik. Tujuan akhir diskursus dan aksi sebagai praksis pembangunan ialah menciptakan ruang publik yang dinamis.
Warga negara ikut terlibat menjalankan pembangunan. Dengan demikian, upaya menciptakan perubahan sosial di masyarakat perlahan dapat tercapai.
Pada kenyataan ini, diskursus dan aksi menjadi relevan di dalam geliat otonomi daerah. Tanpanya, pembangunan tampak statis dan pasif.
Matim sebagai Daerah Otonom Baru
Tanpa spirit keterlibatan hari-hari ini, kita ikut berpartisipasi membuat daerah ini tidak maju-maju, atau bahkan mungkin stagnan. Tanpa diskursus dan aksi di kelompok masyarakat, peluang daerah ini salah kelola akan terus menguat.
Apalagi wacana pembanding pada setiap kebijakan atau program Pemda sangat minim. Paling banter tanggapan terhadap isu kebijakan Pemda bertengger di sosial media tanpa suatu proses dialektika yang utuh.
Ruang-ruang diskursus dan aksi pada konteks Manggarai Timur sebagai daerah otonom baru mesti terus dibuat bernyala.
Matim sebagai daerah otonom baru yang tengah larut dalam kerja pembangunan harus dibimbing dan dikritisi.
Perspektif di balik setiap agenda kebijakan Pemda mesti dibongkar. Melalui desentralisasi dan otonomi daerah, rakyat bergulat dalam kebangkitan sikap kritis, kebebasan berekspresi dan berinovasi.
Rakyat dididik untuk mengembangkan analisisnya terhadap segala bentuk rupa pembangunan, perkembangan maupun sederet krisis faktual di dalamnya.
Kebijakan pembangunan daerah mesti dikritisi secara utuh, tanpa rakyat kehilangan nyali untuk tetap bergerak aktif.
Fenomena ini terlihat pada beberapa kebijakan pemerintah daerah yang mengundang ragam kritik publik, seperti pemberhentian 333 Tenaga Harian Lepas (THL) di lingkup Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur Maret 2021 lalu, konflik tambang di Kecamatan Lamba Leda, problem infrastruktur jalan raya, dan sebagainya.
Tanpa kontrol publik, wajah pembangunan kita akan tampak pasif, jauh dari dinamika demokrasi.
Pembangunan selain garapan infrastruktur, juga tidak kalah penting bagaimana membangun sumber daya manusia generasi Manggarai Timur hari ini dan masa depan.
Bukankah kualitas SDM akan menentukan kualitas pembangunan? Hemat saya, kerja-kerja bangun SDM ini mesti jadi gerakan kolektif rakyat.
Pada bagian akhir, saya ingin mengutip kalimat Bertolt Brecht, seorang penyair Jerman.
Dia berujar “buta terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang buta politik begitu bodoh, sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya seraya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, dan rusaknya perusahaan nasional serta multinasional yang menguras kekayaan negeri.”
Diskursus dan aksi adalah jalan keselamatan supaya orang tidak terjebak dalam buta politik. Apalagi menjadi korban dari keganasan pemiskinan dan ketidakadilan dalam pembangunan itu sendiri.
Penulis adalah Lulusan Studi Kebijakan Publik, Minat Literasi dan Kajian Pembangunan Desa