Perempuan Hebat
Oleh: Aris Amlupu
Hujan bulan Juni, perkampungan yang padat penduduk terlihat basah kuyup. Gigil gigih menyelimuti tubuh para penduduk desa.
Sejam membahasi bumi, hujan tampak begitu lelah sehingga guyurannya tak sederas awal kedatangan. Pada debar rintik yang tak begitu riuh, aku bangkit dari tempat duduk, berjalan santai kedepan rumah.
Terlihat anak-anak kecil bertelanjang dada berlari menuju kubangan air. Bermain sebebasnya. Terdengar suara para ibu memanggil penuh kecemasan.
Para lelaki tua terlihat bersantai di balai-balai sambil menikmati secangkir kopi dan sebatang rokok Koli. Di belakang rumah nampak asap dapur yang mengepul. Aroma masakan membikin perut keroncongan.
Setelah menunggu redanya hujan selama beberapa lama hingga benar-benar reda, aku keluar dari rumah.
Sepeda motor Smash yang telah dimodifikasi kenal potnya, dengan bunyi yang selalu membikin telinga sakit, membelah rumah-rumah orang miskin.
Kabut tipis menutup mata, membikinku tak dapat melihat dengan jelas. Menuju tempat tujuan, pada sebuah tikungan kecil, tiba-tiba sepada motorku menabrak seekor anjing kurus.
Suara lolongan membikin pemiliknya berlari keluar mencari tahu ada apa yang terjadi dengan peliharanya. Saking terkejutnya, aku hilang akal sehingga tidak dapat mengendalikan sepeda motor.
Pohon-pohonn pisang yang kuyup menjadi korban berikutnya sekaligus menjadi penahan terkuat atas lajunya Smash putihku.
Dengan sedikit luka yang tak kuhiraukan, aku bangkit dari jatuh, berjalan menuju pemilik anjing
“Maafkan saya. Saya tidak bermaksud menabrak peliharaanmu”. Ucapku dengan suara sedikit cemas.
“Jangan cemaskan peliharanya, tetapi yang mesti dicemaskan ialah keadaanmu. Kaka tidak apa-apa?” Suaranya memelas.
Masih dalam suasana ketakutan, aku membersihkan luka-luka di sekitar lengan dan lutut.
”Tidak apa Ade, hanya sedikit goresan pada lutut dan lengan” Jawabku singkat. Meringis.
Dalam suasana berkabut, aku melihat senyum lahir dari bibirnya.
Kaka hendak ke mana? Tanyanya.
Aku hendak pergi ke kampung sebelah, ada sedikit urusan yang mesti diselesaikan.”
“Kalau Kaka tidak keberatan, Mampirlah sebentar di rumahku, bersihkan dan obati terlebih dahulu lukanya sebelum melanjutkan perjalanan. Sebagai sesama manusia aku juga berhak menolong orang yang sedang berkesusahan”
Aku terkejut. Membisu. Sejenak menimbang-nimbang dalam batin. Diantara sekian banyak manusia, ternyata masih ada yang berhati malaikat.
Aku telah membunuh peliharanya namun ia masih menawarkan kebaikan untuk mengobati lukaku.
Bukankah seharusnya aku yang mengobati luka di hatinya lantaran telah menabrak mati sesuatu yang sangat dicintainya?
Tanpa menjawab, hanya anggukkan kepala tanda menyetujui tawarannya. Senyum kembali merekah dari wajahnya.
Kami memasuki rumah. Ibunya yang tampak tua dengan rambut memutih dan balutan Tais yang telah memudar seolah memberitahukan bahwa hanya itu yang ia gunakan setiap harinya.
Menatapku tajam seolah menuduh lantaran aku masuk bersama gadis satu-satunya. Ibunya barulah tenang setelah melihat luka di sekujur tubuh dengan berjalan tertatih-tatih.
Aku duduk di sebuah bangku kecil. Tak lama kemudian ia muncul dengan semangkuk air hangat. Berlutut di depanku lalu membersihkan luka-luka dengan sedikit hati-hati.
“Saya Asti” Ia memperkenalkan diri saat tengah membersihkan luka-lukaku
Aku kaget. Seorang yang asing kini menjadi semacam benar-benar kenal. Tidak peduli pada luka, terlintas sebuah gambaran masa depan cerah ada dalam benakku.
“Saya Aris” jawabku singkat, kikuk.
Setelah membersihkan lukaku, ia memberi sedikit obat herbal yang diracik ibunya. Katanya ampuh. Dalam beberapa hari lukanya akan mengering.
Matahari telah hilang ditelan bumi. Hari mulai gelap. Dari jauh terdengar kokok ayam seperti menyetujui bahwa malam telah tiba.
Terlihat kelap kelip lampu dan pelita memantulkan cahaya yang remang-remang. Aku duduk menatap wajah gadis di depan mata dengan sembunyi-sembunyi.
Ia gadis yang menawan. Dengan rambut sebahu, tinggi yang pas-pasan dan pipi yang memerah tanpa makeup. Alami. Kami duduk mematung. Tenggelam dalam diam masing-masing.
Tiba-tiba suaranya memecahkan keheningan.
“Saya baru putus kuliah. Pulang tanpa membawa ijazah dan titel serjana lantaran dihamili mantan kekasihku. Malam itu ia berjanji akan menikahi ku jika ada sesuatu yang terjadi. Tapi apa yang terjadi. Setelah mengetahui bahwa aku telah berbadan dua, ia malah kabur meninggalkanku dengan darah dagingnya dalam kandung. Aku tak tahu harus bagaimana lagi. Kaummu memang kejam. Hanya tahu mencintai sebatas isi celana dalam lalu pergi tak mau bertanggungjawab” air mata membasahi pipinya.
“Semenjak tahu bahwa aku telah berbadan dua, aku memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan studi dan kembali ke rumah. Pernah ia memintaku untuk menggugurkan kandungan namun aku menolaknya dengan keras. Sebab aku tidak ingin membunuh darah dagingnya sendiri. Aku adalah orang yang beragama dan bukankah semua ajaran mengajarkan bahwa membunuh adalah dosa . benarkan demikian? “
Aku terdiam. Hanya menatap dengan penuh kasihan.
“Asty, aku mewakili kaumku meminta maaf. Sejujurnya aku malu menatapmu. Engkau adalah korban dari kaumku yang hanya pintar mencari dan menikmati selangkangan namun menjadi pengecut tentang tanggung jawab. Harus kuakui bahwa engkau adalah perempuan hebat yang tegar merawat lara dan pandai memeluk luka di relung kalbu. Tak semua perempuan seperti dirimu yang tetap sabar dalam menghadapi situasi pahit seperti ini. Lihatlah banyak perempuan di luar sana yang memilih bunuh diri atau menggugurkan kandungan ketika menghadapi situasi semacam ini. Tapi engkau tidak. Engkau lebih memilih untuk membesarkan anakmu walaupun tanpa seorang ayah. Engkau yang akan menjadi ayah sekaligus ibu untuknya”
“Kaka saya kira semua insan menginginkan sebuah keluarga yang bahagia. Keluarga yang lengkap dengan ayah, ibu dan anak-anak yang imut. Sejujurnya tak ada yang dapat membikinku seluka ini kalau bukan harap yang terlalu dan rindu yang aduh akan sebuah perkawinan yang romantis. Kaka apalagi yang abai lebih abadi selain sakit diingkari janji. Apalagi yang abadi selain luka karena terlalu mempercayai janji. Kaka goyang janji goyang cinta.”
Tak lama berselang, ibunya keluar dan memberi isyarat agar ia kembali ke kamarnya. Melihat hal tersebut akupun pamit untuk melanjutkan perjalanan. Sepanjang perjalanan aku terus merenung.
Sejatinya Asty adalah perempuan hebat. Tapi apakah ia menyadari hal tersebut? Ia adalah perempuan setabah Maria dengan hati sekuat karang. Asty adalah perempuan yang terjebak dalam perangkap hawa nafsu lelaki liar.
Benar bahwa kesalahan terbesar wanita terdapat pada telinga dan dosa terbesar laki-laki adalah lidah. Lelaki pandai mengumbar janji namun selalu melupakan dan perempuan adalah yang pintar menyimpan harap dan susah melupakan janji.
Semenjak pertemuan tak terduga itu, aku pulang dengan membawa sejuta pelajaran penting.
(Di suatu malam, Saint Conrad Ende, 26 Juni 2021)