Kupang, VoxNtt.com-Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) Pewakilan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) tertanggal 17 Mei 2021 menyebutkan, pada tahun 2020, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi NTT menganggarkaan Belanja Modal Rp 8,3 Miliar dan telah direalisasikan Rp 7,2 M atau 87,3 %.
Berdasarkan pengujian atas realisasi Belanja Modal di DLHK, diketahui terdapat Pekerjaan Insenerator dan Fasilitas Pedukungnya yang terlambat diselesaikan, sehingga harus dikenakan denda keterlambatan sesuai dengan ketentuan perjanjian dalam surat perjanjian kerja (SPK).
Dalam laporan tersebut, BPK merincikan, pengadaan Insenerator dan Fasilitas Pendukungnya direalisasikan melalui belanja modal sesuai kontrak nomor DLHK.007/248/III/2020 pada Tanggal 02 Mei 2020, senilai RP 5,9 Miliar dengan jangka waktu pelaksanaan selama 90 hari kalender kerja, yakni mulai Tanggal 29 Mei 2020 sampai dengan tanggal 26 Agustus 2020.
Kontrak tersebut mengalami empat kali adendum yakni, Pertama, Nomor adendum DLHK.027/473.a./sekret/2020 Tanggal 26 Agustus sampai dengan 25 Oktober 2020. Bunyi adendum tersebut yakni, belum terbitnya izin lingkungan hidup.
Kedua, adendum dengan nomor DLHK.027/968.a/III/2020 Tanggal 3 Oktober 2020 dengan jangka waktu 25 Oktober sampai dengan 8 Desember 2020 dengan bunyi, adanya pandemi covid -9, belum terbitnya izin lingkungan dan adanya CCO berdasarkan justifikasi teknis.
Ketiga, adendum dengan Nomor DLHK.007/834/sekret/2020 Tanggal 4 Desember 2020 dengan jangka waktu 8 Desember sampai dengan 31 Desember 2020, dengan bunyi adendum adanya pandemi covid-19 dan belum terbitnya izin lingkungan hidup.
Keempat, adendum dengan Nomor DLHK.007/834/sekret/2020 tan#ggal 18 Desember 2020 dengan jangka waktu 8 Desember sampai dengan 31 Desember 2020, dengan bunyi adendum adanya CCO.
Berdasarkan laporan kemajuan pekerjaan tanggal 31 Desember 2020, demikian BPK, realisasi fisik pekerjaan mencapai 97 % pada tanggal 30 Desember 2020 telah dilakukan PHO, berdasarkan BAST pertama hasil pekerjaan nomor DLHK.008/913/sekret/2020.
“Berdasarkan dokumen PHO tersebut, telah dilakukan permohonan pembayaran 100% kepada Bakeuda Provinsi NTT. Atas permohonan tersebut belum dilakukan pembayaran karena telah melewati batas pengajuan Permohonan Surat Perintah Membayar (SPM) sesuai keputusan Gubernur NTT Nomor 190/KEP/HK/2020, tentang Pelaksanaan dan Penatausahaan Belanja Daerah Akhir TA 2020 yang menyatakan bahwa batas akhir penyampaian Surat Perintah Membayar Langsung Barang dan Jasa Konstruksi DAK fisik paling lambat 18 Desember 2020 Pukul 16.00 WITA,” terang BPK dalam laporanya.
Terhadap sisa pekerjaan yang belum selesai, demikian BPK, PPK memberikan kesempatan perpanjangan waktu kepada penyedia (tanpa dituangkan dalam Kesepakatan Pemberian Kesempatan).
“Pada tanggal 15 maret 2021 pekerjaan telah selesai 100 % berdasarkan laporan mutual check seratus (MC-100). Sampai dengan pemeriksaan berakhir belum dikenakan denda keterlambata kepada penyedia,” papar BPK.
Berdasarkan keterangan dari Kepala Bidang Pembinaan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, seperti dalam laporan BPK, insenerator tersebut telah dioperasikan mulai Tanggal 9 Februari tanpa adanya AMDAL.
Kepala bidang pembina DLHK menerangkan bahwa pengoperasian tersebut mengacu kepada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.38/MENLHK/SEKJEN/KUM.1/7/2019 tentang Jenis Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan hidup Pasal 7 huruf d yang menyatakan bahwa dikecualikan dari kewajiban Amdal jika Rencana Usaha dan/atau kegiatan yang dilakukan dalam kondisi tanggap darurat bencana,” sebut BPK merinci.
“Padahal menurut Surat Edaran Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid 19 Nomor 6 Tahun 2020 Tanggal 7 Mei 2020 tentang Status Keadaan Darurat Bencana nonalam Covid-19 sebagai Bencana Nasional pada Nomor 4 menyatakan, status keadaan darurat bencana nonalam akan berakhir pada saat ditetapkanya Keputusan Presiden tentang penetapan berakhirnya status bencana nonalam covid-19 sebagai Bencana Nasional, sehingga harus terdapat izin Amdal sebelum berakhirnya status tanggap darurat bencana.
Sampai dengan pemeriksaan berakhir, DLHK masih dalam proses mengurus izin amdal kepada Kementerian Lingkungan Hidu,” sambung BPK dalam laporanya merinci.
BPK, dalam laporannya menilai kondisi tersebut tidak sesuai dengan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Pasal 22 ayat , Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 pada Pasal 7 ayat 1, Pasal 11 ayat 1, Pasal 17 ayat 2, Pasal 53 ayat 1, Pasal 56 ayat 1 dan 2, Pasal 57 ayat 1 dan juga Pasal 78 ayat 3.
BPK juga menilai DLHK Provinsi NTT dalam pelaksanaan proyek tersebut melanggar Surat Edaran Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Nomor 6 Tahun 2020 Tanggal 7 Mei 2020.
Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan Gubernur NTT agar menginstruksikan Kepada DLHK untuk memeroses izin Amdal dan memperhitungkan denda keterlambatan pada rekanan untuk menyetorkannya ke khas daerah.
Sebelumnya, VoxNtt.com menurunkan berita pada Kamis 03 Desember saat gelar aksi di depan Kantor DPRD NTT, kelompok Aliansi Kemahasiswaan mendapati informasi alokasi anggaran untuk belanja modal pengadaan insinerator dan pembangunan fisik konstruksi sebagai fasilitas pendukung pengolahan limbah B3 medis sebesar Rp 6.020.000.000.
“Dana itu dari APBD Provinsi NTT tahun 2020. Untuk anggaran kegiatan AMDAL pembangunan UPTD Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 yang dialokasikan dalam APBD perubahan Provinsi NTT tahun 2019 sebesar Rp 954.850.000, telah dicairkan pada bulan Desember 2019,” beber salah satu peserta aksi unjuk rasa. Menurutnya, anggaran untuk Amdal telah digelontorkan.
Penulis: Ronis Natom
Editor: Boni J