Oleh: Yohanes A. Loni
Covid-19; saya sebut sebagai tragedi yang mengahyutkan nyawa manusia. Disebut sebagai tragedi karena pristiwa ini menciptakan penderitaan dan kesedihan yang amat dalam bagi banyak orang.
Pristiwa ini juga menyadarkan bahwa hidup kita ini pendek dan rapuh. Namun pristiwa ini juga bisa menjadi saat yang baik untuk merefleksikan, sehingga tidak mengulangi hal yang sama di masa depan.
Proses pemahaman dan makna hidup terjadi dalam setiap aliran waktu. Santo Agustinus telah memberikan suatu pemahaman kepada manusia bahwa hidup dalam aliran dan permainan waktu.
Santo Agustinus menerangkan bahwa “aku tahu apa itu waktu, asalkan orang tidak bertanya kepadaku, namun, saat orang bertanya kepadaku: apa itu waktu? Aku menjadi bingung”.
Terlepas dari pertanyaan Agustinus ini, ingin mengafirmasi bahwa hidup dalam tiga struktur waktu yang bersifat statis yakni; masa lampau (warisan), masa depan (proyek) dan masa sekarang (ikhtiar). Ketiga struktur waktu ini sangat erat kaitannya dan saling mempengaruhi.
“Aku dan yang lain sejauh merupakan substansi yang berdikari (otonom) sejauh itu pula berhubungan timbal balik dan saling memberi arti untuk saling mengadakan.
Manusia adalah makhluk menyejarah yang selalu berproses dalam segala dimensi waktu. Dikatakan sebagai mahkluk menyejarah, karena manusia merupakan makhluk yang dinamis, yang selalu dan terus menerus membuat perubahan dan transformasi dalam hidupnya.
Manusia membutuhkan yang lain untuk memahami dirinya secara holistik dan integral.
Sekali lagi mengafirmasi bahwa kehadiran yang lain memberikan suatu kontribusi positif bagi keberadaan untuk memahami diri dan sesama.
Proses pemahaman diri manusia hanya ditemukan dalam dunia pluralitas. Karena dunia itu sendiri menyimpan keanekaragaman yang tak dapat disangkal, sebaliknya diterima, dipelajari, dihayati dan diteruskan ke generasi berikutnya.
Pandemi Covid-19 adalah Waktu ‘Sekarang’
Situasi sekarang sedang dilanda wabah pandemi virus Corona yang tidak pernah berahkir.
Pandemi memaksa manusia untuk sejenak menarik diri dari situasi keramaiaan, menjaga jarak dengan orang lain, menghentikan aktivitas di sekolah, tempat kerja atau di temapt-tempat yang mengumpulkan banyak orang.
Semua anjuran yang disampaikan oleh pemerintah dan tim medis merupakan suatu bentuk perhatian yang perlu diperhatikan dan dijalankan oleh seluruh elemen masyarakat tanpa terkecuali.
Situasi pandemi Covid-19, memaksa setiap individu untuk mengajarkan segala sesuatu yang perlu dan selalu mengusahakan pola hidup sehat.
Sebagai mahkluk sosial, manusia membutuhkan sesama untuk mewujudkan dirinya secara integral dalam hidup. Artinya manusia dapat merealisasikan dirinya secara holistik hanya dan melalui hubungannya dengan yang lain.
Kehadiran yang lain memberikan kontribusi positif dalam menemukan nilai, makna dan jati diri yang otentik. Namun, sekali lagi menganfirmasi bahwa dalam situasi sekarang, setiap orang diwajibkan untuk menjaga jarak dengan yang lain.
Adapun pertanyaan yang muncul dari benak kita, yakni apakah situasi pandemi Covid-19 ini, menjadi suatu tantangan dalam pencarian dan perwujudtan jati diri? Bagaimana mungkin dapat merealisasikan kita jika tidak diarahkan kepada yang lain?
Apakah hal ini akan menjadi mungkin? Dalam permenungan pribadi, pada hemat saya bahwa pandemi Covid-19 adalah waktu “sekarang”. Waktu sekarang dalam bidang kajian epistemologi (filsafat manusia) dipahami sebagai pertemuan antara masa lampau dan masa depan.
Berdasarkan dalam masa sekarang, begitu banyak orang mengalami kecemasan dalam situasi pandemi Covid-19 saat.
Kecemasan bisa dilampaui dengan baik, jika kita mampu berpikir jernih, jauh dari kecemasan dan penyesalan yang kerap mencengkaram pikirannya. Hal kecil akan menjadi sulit dan rumit ketika pikiran orang dipenuhi dengan kecemasan dan penyesalan.
Beban pikiran dan kecemasan yang berlebihan membuat orang tak mampu menyadari, betapa indah dan sederhana hidup manusia itu sebenarnya.
Kunci untuk mencegah hal ini adalah dengan memahami hakekat dan gerak pikiran manusia dalam pemikiran filsafat Socrates yang berkisar antara pertanyaan dasar: Siapakah itu manusia? Apa hakikat manusia?
Menurut Socrates manusia adalah jiwa atau roh, yang membedakan dari segala sesuatu yang lain. Roh inilah yang menjadi pusat kemampuan berpikir dan penilaian tindakan etis manusia.
Jiwa adalah aku yang sadar sebagai makhluk rasional dan moral. Karena hakikat manusia adalah jiwa maka dia harus memperhatikan perkembangan jiwanya.
Tubuh hanyalah alat bagi jiwa untuk mengekspersikan dirinya. Badan melayani jiwa. Sebagaimana tubuh adalah satu bagaian dari dunia materil, demikian pun jiwa kita adalah bagaian dari rasio universal.
Daya rasio universal dapat dibaca dalam diri kita sendiri: seperti jiwa menguasai tubuh kita, rasio universal menguasai universum.
Socrates menginterpretasikan tulisan pada kuil Delphi “Gnoti Seauton” (Kenalilah dirimu sendiri) menunjukan sebuah kepentingan kemanusiaan yang bersifat fundamental dalam hal memahami pikiran, yang merupakan salah satu keberadaan yang khas manusia.
Hubungan dengan Sesama Manusia di Tengah Pandemi
Sampai di mana kita benar-benar belajar menjadi manusia cerdas yang terus bertanya, merasakan apa yang dialami oleh orang lain, dan merumuskan jalan keluar bersama.
Atau sebaliknya, seberapa dalam kita masih terjebak dalam pembodohan berlapis-lapis dan keangkuhan moral atas hidup dan mati sesama.
Jumlah nyawa manusia yang melayang akibat sebab hentakan pandemi saat ini, yang menjadikan kita sadar atas kesalahan tingka laku kita, atau justru sering menyalakan waktu dan situasi?
Pandemi Covid-19 menujukan batas-batas diri manusia modern. Ketika semua kesibukan dipaksa berhenti, mobilitas yang tinggi dipaksa untuk diam, kebingsingan dan hiruk pikuk dipaksa senyap, dan segala rutinitas keseharian diputus mata rantainya, kita, masyarakat modern terlempar keterasingan yang mengerikan.
Virus setan bermahkota duri, belum diketahui secara pasti kapan berahkir. Rasanya virus-19 sudah mulai merajahi hati dan pikiran kita saat ini.
Harus diakaui, masyarakat modern adalah masyarakat yang tenggelam dalam rutinitas keseharian yang padat, nomad sejati yang selalu bergerak, tak kenal diam.
Didorong oleh idealisme untuk memeluk kemajuan setinggi mungkin, masyarakat modern tak pernah punya waktu untuk merenungkan palung terdalam eksistensinya.
Situasi ini membuat masyarakat modern tidak mengalami apa yang filsuf eksistensial yang terkenal yaitu Socratessebut sebagai “kecemasan eksistensial manusia”.
Kecemasan selalu eksistensial sifatnya, suatu keadaam di mana seseorang menjadi sadar akan kemungkinan ketidakberdayaan. Tentu saja bisa memilih antara rasa takut atau kecemasan eksistensial.
Rasa takut menuntut kita untuk memperhatikan semua instruksi pemerintah dan tenaga kesehatan agar terhindar dari paparan Covid-19.
Tetapi manusia yang otentik bisa melampaui sekedar rasa takut menuju kepada kecemasan eksistensial.
Dengan berhentinya roda kesibukan dan berkurangnya mobilitas, kita merenungkan palung terdalam kehidupan kita.
—–
Masa Pandemi Covid-19 manusia mengalami “Kecemasan”. Seorang cemas secara eksistensial akan dibenturkan pada pertanyaan-pertanyaan ini: Dari mana saya berasal?
Ke mana saya pergi? Mengapa saya ada? Apa Tujuan hidup saya? Untuk apa saya ada? Dengan adanya pertanyaan-pertanyaan seperti ini kita mesti mengingatkan kembali pemikirannya Socrates “Kenalilah Dirimu? Dalam artian bahwa kita manusia mesti menyadari dan merefleksikan diri masing-masing untuk apa saya ada dan kemana saya akan pergi? Semua pertanyaan seperti ini menjadikan kita untuk semakin dekat dengan Tuhan yang adalah sumber pemberian hidup kita.
Kenalilah Dirimu
Dalam situasi saat ini, seruan filsuf St. Agustinus “Kenalilah Dirimu” sangat relevan dalam menyikapi persoalan pandemik Covid-19 yang menyerang manusia secara menyeluruh.
Situasi ini semacam suatu kesempatan bagi setiap orang untuk berbenah serentak bertanya diri, siapakah aku bagi diri sendiri dan juga bagi orang lain? Mempertanyakan diri sendiri selalu dihubungan aku dan yang lain. Sehingga manusia itu dikatakan makhluk yang memikat dan memiliki sifat sosial dalam dirinya
Seruan ‘kenalilah dirimu’ mengajak kita untuk memurnikan motivasi dan orientasi hidup kita yang mungkin masa lampau kita selalu diarahkan pada diri sendiri (egoisme) dan bersikap apatis terhadap penderitaan orang lain.
Yohanes A. Loni adalah Mahasiswa Awam STFL Ledalero. Mantan Ketua Organisasi IMAMM