Oleh: Yohanes Mau
Nanda gadis cantik anak semata wayang ibu Selly dan Bapak Paulus hidup dalam keluarga yang sederhana. Pengalaman hidup sedari kecil hingga remaja dilewatinya dengan duka yang dalam.
Hari-hari hidupnya hanyalah sebagai pemungut sampah di sekitaran pasar dan tempat-tempat ramai. Sisa makanan yang masih layak dimakan dikumpulkan di dalam satu tas plastik untuk dibawahkan kepada ibunya yang sedang terbaring sakit di dalam pondok rewot.
Itulah aktivitas hariannya selama ia masih berusia remaja. Segalanya dijalani dengan penuh syukur walaupun nampaknya hina. Namun baginya inilah cara paling mulia untuk bertahan hidup dalam menghadapi derasnya realitas hidup.
Benar apa yang dikatakan orang bijak, “Hidup berawal dari langka pertama untuk menjejaki tapak-tapak selanjutnya menggapai hal yang lebih baik dari kari kemarin dan hari ini.”
Paulus ayahnya itu hanyalah seorang buruh sederhana tukang bangunan yang tidak mempunyai penghasilan cukup untuk membiayai makan dan minum setiap hari dalam keluarganya. Apalagi untuk pengobatan istrinya yang telah lama menahan sakit selama ini.
Ibu Selly sakit dan tak berdaya di ranjang pondok sederhana itu. Nanda si remaja kecil yang berhati polos ini tak bisa menahan pilu air mata menyaksikan derita kedua orangtuanya.
Kala petang tiba ayahnya pun pulang dari kerja namun tak membawa makan untuk makan malam padahal Nanda dan ibunya berharap ayah pasti bawa dengan makanan untuk makan malam bersama.
Hari demi hari Ibu Selly dan rasa sakitnya tak tertahankan. Kadang tiada makanan sedikit pun untuk dimakan. Puasa sampai satu- dua hari penuh kalau nasib tak beruntung. Kantong kosong.
Uang tidak ada untuk biaya mengobati sakitnya itu. Sedih dan merana hidup keluarga Nanda gadis kecil yang tak pernah kalah hadapi badai musim dengan aneka tawarannya.
Tangis dan air mata adalah rejeki baginya sehari-hari. Kadang tiada lagi sisa makanan yang masih layak dimakan di kotak-kotak sampah yang dikoreknya. Bahkan dari sudut kota sampai ke ujung-ujungnya pun tak ditemukan lagi sisa makanan. Ah, betapa ganasnya hidup ini. Entalah dengan cara apakah mesti dilunakkan.
**********
Kala itu senja makin mendekat sedikit lagi hari akan berlalu. Namun sayangnya belum ada sedikit makanan yang ia kumpulkan untuk dibawah ke rumah. Pada senja yang lenggang itu ia berjalan melewati lorong pasar itu seperti biasanya.
Terlihat di sana para pedagang sibuk mengatur barang-barang jualan. Nanda pun tanpa peduli pada orang banyak itu. Matanya tertuju pada tumpukan sayuran hijau di sudut bale-bale milik pedagang muda bersama istrinya itu. Ia menoleh ke kiri dan kanan.
Para pedagang tampak hanyut dalam sibuk. Nanda pun mengambil ikatan sayur di sudut itu dan bawa pergi tanpa peduli amat. Ekor mata dari bapak pemilik sayur itu melihatnya namun bapak itu hanya diam saja. Lantas istrinya melihat tumpukan sayur itu sudah berkurang.
Lalu ia mendesak suaminya untuk melihat situasi kompleks pasti ada yang telah mencurinya. Suaminya pun bergegas untuk menemui gadis kecil itu. Namun oleh karena belaskasihan akan gadis gadis mungil itu ia pun membiarkannya pergi seolah-olah sengaja tidak melihatnya.
Nanda menjumpai ibunya di pondok itu dalam nuansa penuh cemas. Ibunya batuk tanpa henti dan diklaim oleh tetangganya ia terjangkit kena virus corona. Sandiwara gosip ini tak dihiraukan. Nanda dan Ibu Selly masak bareng malam itu dan makan bersama dengan nuansa penuh bahagia.
Pada keesokan harinya ia pergi lagi ke pasar itu dan berniat untuk mencuri sayuran dan buah yang ada di sana. Sasaran yang dituju masih sama seperti kemarin.
Setibanya di sana ia melihat adanya sayuran dan buah yang sudah terisi di plastik. Nanda melihat Pemiliknya itu sedang sibuk atur barang-barangnya ke sana-ke mari. Tanpa peduli banyak Nanda pun langsung ambil sayuran itu dan pergi. Beberapa anak kecil seumuran sebayanya yang melihat dia dan meneriakinya, “maling, maling, maling sambil mengejarnya!” Ia bersembunyi dan lolos dari tangan anak-anak kecil itu.
Ia pun tiba di rumah dan menjumpai Ibu yang sedang terbaring masih seperti kemarin juga. Nanda membuka isi tas plastik itu, di sana ada beberapa jenis sayur dan buah-buahan. Selain itu terselip juga sepotong kertas kecil yang bertuliskan, “Nak, bapak sengaja siapin itu untuk kamu, jangan lagi pungut makanan di kotak sampa ya!” Air mata Nanda meleleh membaca tulisan di kertas itu.
Mamanya tanya, “nak mengapa kamu menangis?” “Tidak mak, aku dapat sayur, ayo kita masak bareng ya mak!” Mamaknya merangkul hangat tubuh kecil Nanda.
Tak lama kemudian datanglah Paulus ayahnya tanpa membawa uang sepeser pun. Nanda hanya diam tanpa kata. Ia bersama Mamanya masak sayuran hasil pemberian dari seorang bapak yang baik hati itu dengan penuh semangat.
Selanjutnya ketiganya menikmati makan malam apa adanya. Sedih menyayat hati karena hasil kerja dari Paulus tak menentu bahkan tak bisa menjamin bahagia hidup keluarga kecilnya itu.
***********
Nanda adalah figur sederhana yang tidak mau kalah dengan situasi. Ia tekun dan pekerja keras. Sepuluh tahun Kemudian Nanda telah menjadi orang sukses. Ia menjadi orang kaya yang memiliki segalanya. Semua persawahan dan perkebunan kelapa yang mengitari pinggiran kota itu adalah miliknya.
Bahkan ia menjadi bos di kota itu. Pasar dan bangunan lapak untuk para pedagang itu menjadi miliknya. Nanda kini menjadi gadis yang sukses. Ibu dan ayahnya sangat bahagia menyaksikan sukses yang diraih oleh Nanda.
Banyak cowok yang datang mendekatinya untuk menjadi kekasih hatinya. Namun Nanda masih fokus urus bahagiakan kedua orangtuanya.
Suatu senja menjelang malam teringatlah akan bapak yang pernah membiarkan dia mencuri sayurannya di lapak pasar kelolaannya kini. Ia berusaha menghadirkan lagi kisah pilu itu. Menangis pedih tak tertahankan. Ia berniat ingin mencarinya.
Mentari pagi ini nampak cerah. Semua orang hanyut dalam kesibukannya. Nanda pun keluar dari tempat kerjanya untuk sekadar jalan-jalan di sekitar pasar sambil mengontrol situasi aktivitas pasar pasar di awal hari ini.
Di sana terdengar teriakan suara, “maling, maling, maling,” teriakan sekelompok orang sedang mengajar pencopet. Tak sengaja Nanda melihat seorang anak bocah laki-laki yang sedang bersembunyi di balik kotak sampa.
Ia pun mendekatinya secara perlahan-lahan dan menangkapnya, “heii, kamu yang mencopet ya!” Iya kak, aku yang mencopet, aku butuh uang ini untuk biaya pengobatan ayahku yang kini sedang sakit!” Jawab bocah kecil itu.
Nanda langsung mengambil dompet itu dari tangannya dan menyerahkan kepadanya sejumlah uang dari sakunya. “Sekarang Kamu jangan mencopet lagi ya!” “Iya Kak.” Jawabnya. “Oh ya, dimanakah kamu tinggal?” Tanya Nanda.. “Kak, aku tinggal di sana, sambil tunjuk ke arah selatan dari pasar itu!”
Lalu keduanya berjalan melewati keramaian pasar itu menuju rumah bocah kecil. Tepat melewati lorong lapak tempat ayah dan bundanya berjualan ia tunjuk lapak jualan ayah dan ibunya itu kepada Nanda, “kak, ini lapak tempat ayah dan bundaku dulu berjualan di sini, sekarang tidak lagi seperti yang dulu karena ayahku jatuh sakit dan lapak ini sudah diambil oleh pemiliknya.” Mendengar itu sedihlah hati Nanda.
Nanda teringat lagi saat ia mencuri sayuran di lapak itu dan kebaikan bapaknya yang selalu membiarkan dia mengambil sayur. Hati Nanda tersayat petir di awal hari dan Air matanya menetes tanpa menangis.
Keduanya terus berjalan hingga pinggiran pasar itu. Dari kejauhan nampaklah gubuk reot. Keduanya makin bergegas. Setibanya di sana terdengar suara batuk panjang ayah si bocah yang sedang sakit.
Nanda memutuskan untuk pulang kembali walaupun bocah kecil itu mengajaknya mampir sejenak. Nanda pulang dengan hati penuh berbelaskasih dan air mata masih tersisa di pipi.
Sesampainya di rumah Nanda bercerita akan semuanya yang terjadi itu dengan ayahnya. Lalu suatu hari Nanda dan ayahnya memutuskan untuk pergi ke pondok rewot di pinggiran pasar itu.
Nanda dan ayahnya pergi ke gubuk rewot itu di sana mereka bertemu dengan bapak dan ibu yang dulu pernah berjualan di lapak pasar miliknya sekarang. “Selamat pagi” “selamat pagi juga.” “ Apakah kami boleh masuk!” Demikian pinta Nanda. “Masuklah!” Bapak mempersilahkan mereka masuk. Sambil menangis Nanda mengakui, “Bapak, ini aku si bocah kecil yang dulu pernah bapak biarkan mencuri jualan sayur di lapak itu.
Apakah Bapak masih ingat saya kan?” “Kamu yang waktu itu mencuri sayuran di lapak itu kan, dan aku sengaja membiarkan kamu ambil karena hatiku tak tegah melihat kamu pungut makanan di kotak sampah.”
“Iya bapak, sebagai ungkapan terima kasih dariku untuk kebaikanmu itu aku berikan sedikit uang untuk bantu biaya pengobatan bapak, dan ini kunci lapak. Kalau sudah sembuh boleh kembali berjualan lagi di sana ya!” Sambil menyerahkan amplop dan kunci lapak. “Terima kasih banyak nak, semoga Tuhan membalas amal kasih anak ya!”
Memberi sesuatu kepada seseorang jangan karena ada apanya dia tapi berikanlah apa yang ada padamu kepada siapa pun dengan apa adanya karena hidup tidak selesai hari ini.
Riverside-Zimbabwe-Afrika, 05/07/2021.
Catatan:
- Nanda, Selly dan Paulus bukanlah nama sebenarnya.
- Bale-bale adalah sebutan untuk tempat jualan yang terbuat dari bamboo atau kayu.
- Lapak adalah sebutan untuk tempat yang digunakan oleh penjual untuk meletakkan barang-barang jualan.
Penulis Alumnus Stipar Atma Reksa Ende-Flores. Penikmat sastra
Kini sedang bertualang di Zimbabwe-Afrika