*Cerpen
Oleh: Yohanes Boli Jawang
Tidak seperti biasanya karena hari-hari berikut ini rasanya terlalu berat. Tapi satu yang perlu untuk kita adalah selalu untuk menanti diujung waktu.
Bukan untuk sebuah akhir tapi untuk menyambut harap yang baru dipenghujung waktu. Tentang kita yang sudah lama didera dalam kesusahan, kecemasan, bahkan kehilangan harapan.
Kita sepertinya terlalu mudah untuk menyerah. Kita sudah terbawa oleh situasi yang terlalu dalam. Mungkin kita perlu banyak waktu untuk menyambut secuil harap diujung waktu.
Tak mengapa untuk waktu yang terlalu lama bagi kita untuk menunggu. Hanya saja untuk kali ini tak perlu kita hiraukan. Kita punya sesuatu untuk sebisa mungkin maju langkah demi langkah menuju harap kita.
***
Hari-hari kita yang saling bersahutan. Untuk hari yang kita lewati itu terlalu cepat, tapi waktu punya kesempatan untuk kita. “Ada apa dan mengapa? demikian mereka terus bertanya.
Dalam duka dan kecemasan. Alam seakan membisu, sedangkan banyak korban sudah berjatuhan. Terlalu berlebihan bila itu dikatakan sebagai takdir Tuhan.
Yang terbaik itulah yang Tuhan inginkan. Mungkin kita terlalu cepat untuk berprasangka. Kita tidak tahu apa yang harus diperbuat, karena semuanya sudah dan sedang berlansung.
Mulut terbungkam dan mata terus memandang. Entah apa yang harus dikatakan. Air mata dunia terus mengalir dilanda duka yang datang silih berganti.
Dunia seakan sepih tak berpenghuni didera dalam duka yang tak pernah mau berhenti. Kaki-kaki masa terhenti, jalan-jalan kota terlihat sepih. Semuanya terusik dan terusir.
Menyepi dan tetap tinggal untuk sementara waktu itu adalah jalan yang terbaik. Tapi entalah, sampai kapan itu akan berakhir karena semuanya masih menunggu. Sedang duka sudah mulai melebar kemana-mana dengan korban yang terus berjatuhan.
Mentari menyapa difuk timur dari balik awan. Dunia tetap terdiam. Untuk saling menyalahkan bukan waktunya karen kita juga tidak terlalu tahu untuk hal ini.
Fatamorgana hampa seakan menyelimuti bumi, sambil menangisi duka. Dunia ku oh… duniaku. Andai saja alam bisa berbicara mungkin ia ingin sekali untuk mengatakan sesuatu.
Tapi sayangnya, kita tak pernah mendengar, walau kadang ia menyapa dengan caranya sendiri. Kemanakah kita akan pergi? untuk satu langkah pun itu sulit, lalu bagaimana untuk beberapa langkah lagi?
Rasanya itu sangat tidak mungkin. Dunia dijaga, jalan-jalan pun dijaga, dan semuanya dijaga. Untuk satu langkah perlu beberapa aturan dan peringatan. Kita tidak segampang dulu, selalu dijaga bahkan diintai untuk setiap langkah.
***
Entah berapa jauh sudah kita melangkah, kita tentu tak bisa menghitung. Karena sudah berapa jauh itu tidak terlalu penting, yang terpenting adalah bagaimana kita sekarang ini.
Lelah, resah, dan bahkan jengkel selalu mendominasi karena dunia tak lagi yang seperti kita kira. Dunia semakin sedih dan korban masih saja berjatuhan. Tetapi juga tenang sabar, bahka cemas juga selalu ada.
“Sipakah yang salah? Itu tidak pantas untuk dipertanyakan. Semuanya masih menyimpan tanya. Untuk saat ini, kita tidak perlu untuk menyusahkan diri dengan hal itu. Toh! akan ada saatnya juga kita semua ini pasti berlalu.
Kita hanya punya cara untuk tenang dan berhenti sejenak. Mungkin kita sudah terlalu bosan, karena kita yang terlalu dikekang. Dunia diam seribu bahasa, sesekali mereka berspekulasi. Tapi ini perlu aksi bukan bersaksi.
Dan lagi kita hanya terus menanti. Pertunjukan-pertunjukan wacana yang terus menyebar mempertontonkan dunia yang sedang risau.
Dunia risau dan massa mulai berbicara dengan gayanya sendiri. Untuk menunggu sekiranya itu tidak perlu, karena yang kita punya hanyalah perlawanan. Kita perlu melawan bukan menangis, kita perlu berubah bukan bersembunyi, dan kita perlu kebaruan bukan keburukan.
Dunia juga menanti, sama halnya kita yang terus menanti. Dunia punya kita dan kita punya dunia, kita perlu untuk berubah untuk yang tidak terlalu baik bagi dunia kita. Waktu selalu menanti, tapi kita yang harus beraksi untuk bisa menemukannya.
***
Sudah separuh jalan kita berjalan. Ia tak kunjung selesai. Menambah itu sudah terlalu mungkin, tapi adakah mungkin untuk pengurangan. Kaki-kaki massa seakan mulai memberontak. “Akh, kami sudah terlalu lelah?
Karena untuk melangkah saja harus bersyarat. Bagaimana mungkin mereka harus terusir dari keramaian, sebab itu terlalu biasa untuk mereka. Karena yang lebih penting bagi mereka adalah bagaimana menghidupi hidup.
Jalan-jalan mulai merasakan hiruk-pikuknya, dan keramaian kota mulai meluap-luap. “Sungguh…mereka sudah tak sanggup beratahan dalam kesendirian. Mungkin bagi mereka mati adalah sebuah kepastian yang tidak mungkin dihindari.
Semuanya menjadi kaku. “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh” demikian slogan yang pernah ada. Tapi maaf kali ini harus balik “bersatu kita mati, bercerai kita selamat” mungkin ini yang pas untuk yang sekarang.
Kita tidak punya pilihan selain harus menyendiri dengan rasa yang masih mendua. Rasanya terlalu berbeda bagi kita, tapi kita tidak tidak punya waktu untuk bersantai. karena lawan itu yang perlu bagi kita.
***
Hampir beberapa tahun ini, kita masih jalan dalam ke tak pastian. Situasi kita masih saja tetap mendua. Keramaian sempat memecahkan kehingan di setiap sudut-sudut kota, namun kini kembali duka mulai datang perlahan mengusik.
Hiruk-pikuk mulai terbatas, hingga jalan-jalan pun menjadi sepih kembali. Semua kembali pada sebuah penantian panjang. Sementara waktu terus berlalu, tanpa henti. Di awan mentari bersinar cerah pada pagi menyambut hari.
Semua masih dalam hening sambil menanti penuh harap. Dari sudut-sudut kota mulai terlukis kisah duka yang mendalam. Hiruk-pikuk mulai terasa dalam kecemasan. Hati mulai gelisah, cemas karena datangnya yang tak pernah disangka.
Bumi masih terdiam dan alam masih berseri-seri, tapi tangis duka selalu menghiasi hari-hari. Jarak menjadi perhatian utama dalam hari-hari yang masih penuh penantian. Kita harus menyendiri dan bahkan harus menghindar.
Tak perlu lagi keramaian, karena kita perlu ketenangan. Kebersamaan harus pupus dan hilang untuk beberapa waktu yang tak tentu. Kita perlu beranjak dari kebersamaan menuju kesendirian.
Orang-orang terbungkam, dilemah, dan mungkin juga pasrah. Dimana-mana ada duka, bahkan kecemasan yang tak kunjung berakhir. Masih di sini, di tempat yang sama dalam sebuah penantian panjang.
Hati mungkin berkeluh dan menangis dalam diam, tapi bumi masih terus berdiam. Mungkin semua akan tetap pada tanya yang sama “kapan”, tak ada yang pernah tahu.
Semua masih menyimpan tanya dalam diam. Memulai kisah penuh kecemasan dan kekhawatiran. Mungkin lelah dan risau, tapi kita hanya punya satu tujuan, kapan hingga dunia menjadi pulih.
Dalam keheningan yang khusus, kita selalu punya lantunan doa seraya meneti di ujung waktu, menanti sebuah kepastian dari realiatas yang masih terus berlangsung dalam duka. Kita punya impian yang mungkin masih menjadi mimpi, tapi kita punya harapan yang bisa menyatakan mimpi.
#Pemulung Kata
# Refleksi Pandemi
Yohanes Boli Jawang adalah Mahasiswa S1 Filsafat Univesitas Parahyangan Bandung