Oleh: Yohanes Mau
Sampai detik ini manusia takluk dan tak berdaya di hadapan virus corona. Pintu-pintu rumah ibadat tertutup oleh mewabahnya Covid-19.
Kantor-kantor tempat para elite politik bersandiwara pun tertutup rapat-rapat. Para pemimpin negara tak pernah berkutik banyak. Mereka pun terkapar bagai kaum lemah yang tak ada pilihan bijak.
Mereka hanya menanti sampai kapan semesta ini bersahabat kembali. Hasrat hati umat beriman tinggi meluap untuk jumpa Tuhan di baitNya yang suci namun sayangnya pintu bait Tuhan itu sedang tertutup.
Sesampainya di pintu itu manusia sebagai makluk lemah berdiri dan mengetuk pintu Rumah Tuhan. Pintu sudah tertutup. Lantas di manakah Tuhan?
Rindu melangit untuk jumpa Tuhan tapi Tuhan dikunci oleh pemimpin agama di dalam rumah ibadat. Dimanakah Tuhan dicari? Para pemimpin agama tunduk seribu bahasa di bawah pemimpin negara dengan alasan agar hidup ini terlestari hingga keabadian.
Manusia berasumsi, beriman dengan akal budi bukan hanya andalkan iman semata tetapi harus memiliki pemahaman yang radikal akan pengetahuan.
Alasannya jelas karena melalui pengetahuan manusia bisa beriman secara baik dan benar. Sebaliknya kalau manusia tidak punya pengetahuan maka manusia tak kan mungkin bisa beriman secara baik.
Inilah asumsi dasar yang membuat manusia takluk bahkan hati para pemimpin agama pun tanpa suara. Suara kebebasan tidak diperdengarkan lagi seperti kemarin dan hari-hari sebelumnya.
Suara kebebasan telah bungkam oleh pandemi Covid-19. Suara itu lenyap tanpa jejak. Sirna di tengah derasnya propaganda virus corona.
Ya, itulah para pemimpin agama mematikan Tuhan di dalam rumah ibadat. Manusia menangis sejadi-jadinya di pelataranNya. Tuhan telah mati. Tiada lagi harap akan fajar baru di esok yang baru.
Tiada lagi ungkapan syukur lewat doa, Ekaristi dan Sholat. Tuhan tak bisa dirayu lagi. Tuhan telah mati di dalam rumah ibadat. Rumah-rumah ibadat terkunci. Pintu-pintu hati tertutup dan tak mengalirkan cinta seperti kemarin.
Dunia menangis sedih mencari Tuhan di dalam rumah ibadat tapi sayang Tuhan telah mati terkunci di sana. Bahagia dan kegembiraan dalam hidup sirna dilekang oleh derasnya badai topan Covid-19.
Hidup yang sebenarnya adalah hidup yang dibaluti dengan cinta damai dan bahagia. Semuanya itu telah mati. Kini segalanya telah tiada. Segalanya mati dan pergi. Entahlah ke mana lagi Tuhan dicarinya.
Katanya para pemimpin agama-agama itu mampu menghadirkan Tuhan. Namun di hadapan corona ini mereka takluk. Roh memang kuat tapi daging lemah.
Mereka tak mampu menghadirkan Tuhan seperti kemarin sebelum adanya aturan locked down. Sekarang para pemimpin agama juga mati secara perlahan bersama para pemimpin negara.
Aturan dibuat oleh manusia untuk menyelamatkan manusia. Bahkan merayakan kehidupan atas hidup yang bertahan hingga detik ini pun tak dibolehkan. Padahal itu demi jaminan hidup bahagia di akhirat nanti.
Katanya mengunci rumah-rumah ibadat inilah cara terbaik yang sedang ditempuh oleh elite politik bersama para pemimpin agama untuk selamat. Harapan saya semoga selamat sampai di surga.
Pemimpin agama seharusnya menolak adanya locked down yang membatasi ruang gerak umat untuk masuk rumah ibadat. Rumah ibadat adalah tempat bertemunya umat dengan Tuhan lewat perayaan sakramen-sakramen.
Perayaan itu adalah perayaan keselamatan. Mengapa tidak membiarkan keselamatan itu terjadi dalam hidup manusia secara hari ini?
Membiarkan locked down berlangsung dalam waktu yang tak menentu sama dengan membatalkan keselamatan itu terjadi atas pribadi-pribadi manusia yang beriman. Mereka memutuskan relasi Tuhan dan manusia.
Mengapa mereka membiarkan Tuhan terkunci di dalam rumah ibadat? Semuanya terjadi karena hati para pemimpin agama-agama dan para pemimpin negara masih ragu dan bimbang.
Mereka tak yakin bahwa Tuhan ada di dalam rumah ibadat. Iman mereka tak kokoh hadapi derasnya terpaan badai corona. Badai corona berhembus dan menggoyang- luluhlantakan yang mapan dan tak tergoyah selama ini diam tanpa kata.
Menghadapi realitas suram seperti ini sudah saatnya manusia melihat secara jernih ada apa di balik Covid-19 ini? Kalau hanyalah sandiwara ekonomi dan politik bisnis mengapa dunia harus tunduk?
Saya berani katakan demikian karena hal ini hanyalah sandiwara konyol oleh orang-orang tertentu yang mempunyai hasrat rakus di balik pandemi Covid-19. Ada manusia yang sedang berjuang untuk mengais keuntungan.
Negara-negara maju menciptakan produk-produk baru demi menangkis dan memberantas penyebaran Covid-19.
Kematian yang terjadi oleh Covid-19 adalah kematian yang terjadi oleh adanya rasa cemas dan takut yang tinggi ketika dengar isu di sana corona telah melenyapkan jutaan nyawa manusia.
Hal itu yang menyebabkan imun manusia menurun dan jatuh sakit hingga mati. Bahkan Tuhan pun dikunci dan dibiarkan mati di dalam rumah ibadat.
Pemimpin agama dan pemerintah tak punya ruang hati lagi untuk membuka keselamatan bagi manusia yang kini sedang dalam situasi hidup tak menentu.
Ini juga efek dari meningkatnya angka kematian karena manusia dibiarkan jauh dari Tuhan yang adalah sumber hidup. Ibarat ikan tanpa air maka matilah ikan.
Para pemimpin agama mengunci Tuhan di dalam baitNya hingga napas selesai. Tidak ada lagi perjumpaan sejati lewat Sakramen.
Perayaan sakramen adalah perayaan perjumpaan dengan Tuhan. Kalau meniadakan perayaan sakramen artinya memutuskan relasi antara manusia dengan Tuhan.
Yang Kudus dan misteri menyata dalam Sakramen. Namun segala yang sahaja telah hancur lebur oleh Covid-19 dan hati para pemimpin agama yang mati.
Sampai kapan Tuhan akan bangkit untuk yang kedua kalinya? Tunggu saja hingga hati manusia sadar suatu saat nanti. Cukuplah buka hatimu dan percaya.
Tuhan tidak mati hanya manusia saja yang membiarkan diri mati oleh gaung Covid-19 yang tiada henti.
Penulis warga Lamaknen- Belu Utara-NTT-Indonesia, Bertualang di Zimbabwe-Afrika